Saat siang tiba, disirami pancaran mentari dari kulminasinya. Pria berambut gondrong itu tengah bersiap.
Untuk sesi mendadak kemarin, Nerta telah merenggut sesuatu yang baru. Hal yang dunia sebut sebagai kesempatan kedua, atau tepatnya; kesempatan lain.
Dirinya telah mendapat pilihan terbaik dan memilih untuk kembali berkorban.
Rambut hitamnya diikat ke belakang, tubuh tegapnya dibalut jaket kulit nuansa hitam, tetapi dada dengan perut ratanya dibiarkan terpampang, tanpa diritsleting. Dan bagian bawahnya dibalut celana cutbrai nuansa hitam yang kaku, tanpa alas kaki.
Nerta nampak gagah, terlihat tangguh dan maskulin. Walau tak setampan raja bangsa Barat, namun karismatiknya lebih 'wow' ketimbang raja bangsa Barat.
Penampilan kali ini diselaraskan dengan perasaan serta tekadnya yang baru. Ambisi yang baru serta determinasinya, tapi tidak dengan arti hidupnya.
Misi untuk menyelidiki kasus keluarganya, dengan bonus menyebarkan rahasia perang dunia adalah pemacu kejiwaannya untuk kembali melawan dunia.
Nerta yang begitu idealis, mungkin akan menjadi semakin mendekati gila dan lebih gila lagi dari sebelumnya. Bukan secara harfiah, tapi cukup untuk dikatakan; 'pria dengan sejuta mimpi omong kosongnya yang kembali bermimpi'.
Hanya saja, ketika momen itu hendak memacunya pergi jauh. Kakinya tertahan di sana, di rerumputan nuansa pingai.
Ada momentum saat tiupan angin menyadarkan Nerta kalau di belakangnya telah berdiri empat pribadi yang hampir terlupakan.
Mereka hadir secara mendadak dan dimomentum ini hawa mulai berubah drastis, disusul sikap Nerta yang dingin nan malas. Sungguh kebetulan yang lagi-lagi ditakdirkan.
Nerta tahu siapa mereka. Itu menyimpulkan alasan terkuatnya untuk tidak memandang mereka; masih berat menerima.
Angin bahkan berembus kencang saat sepi menjadi eksis dalam realitas. Kehadiran mereka cukup membuat Nerta mengingat masa lalu kelamnya dan sangat malas untuk membahas kepedihan serta kekecewaan itu—lagi.
Mereka —Gorah, Arista, Quin serta anak laki-laki Quin— terpaku dalam takut dan canggung.
Setelah sekian lamanya terpisah. Tak dikira sebelumnya. Nerta yang begitu kukuh memegang idealismenya, yang nyatanya tak sanggup membuat sahabat-sahabatnya melihat betapa pentingnya impian itu. Akhirnya bersua lagi.
Tapi, semuanya itu cepat dibuyarkan oleh anak laki-laki Quin yang sekonyong-konyongnya mendekap kaki kiri Nerta dalam ekspresi gembira dan bersyukur. Bahkan dalam nada bocahnya berani berucap, “Asyik ... aku memeyuk Dewa ....”
Bocah itu memang belum sekolah, masih di taman kanak-kanak, yang mengimplisitkan kalau pribadi sepertinya adalah sosok rentan yang tak segan menganggap dongeng adalah sejarah.
Nerta bergeming dalam napas yang cukup berat. Seni merelakan adalah seni tersulit untuk diimplementasi. Merelakan kalau dirinya Dewa atau pun merelakan 'kedewasaan' sahabat-sahabatnya. Mereka sudah menikah. Hanya Nerta yang jejaka dan mungkin jejaka selamanya.
Bocah lelaki itu belum puas hanya mendekap saja. Dia lompat-lompat dengan bangga dan riang. “Aku memeyuk Dewa ... yeyeye ... aku memeyuk Dewa ....”
Bola mata hitam Nerta berbelok ke kiri pada ranting pohon. Seperti mengimplisitkan; 'tidak ada yang lebih baik kecuali diam'.
“Mamah ... ini 'kan Dewa itu?” tanya bocah lelaki dengan mencubit celana cutbrai Nerta sambil melirik Quin demi kepastian.
Quin mengangguk tanda kalau pertanyaan anaknya bukanlah pertanyaan melainkan pernyataan; membenarkan.
Lebih dari itu, sang bocah lelaki mulai jingkrak-jingkrak kegirangan di hadapan Nerta, mengusik jiwa Nerta yang damai. Memecahkan alunan napas beratnya untuk didesak jadi santai.
“Ayo, Dewa tunjukan keahlianmu ... aku ingin liat ....”
Nerta paham; bocah cilik itu tak tahu apa-apa.
Untuk itulah, selepas Nerta menghela napas dengan dalam, dia berlutut dengan mempertontonkan wajah senang, menutupi segala gambaran kekecewaannya. Berubah drastis. Dia memaklumi, bukan merelakan.
“Wah wah ... apa kau ingin melihat kekuatan seorang Dewa?” tanya Nerta dalam raut muka menyambut dalam senang.
Anak kecil itu bertepuk tangan dan mengiakan. Dia begitu aktif serta ekspresif. Emosinya meletup-letup.
Nerta mengulurkan tangan kanannya. Diposisikan serendah mungkin. Meminta bocah berambut pingai itu supaya telungkup di atas pergelangan tangan Nerta.
Tanpa sungkan dan ceria, dia menelungkup. Maka Nerta dengan keseimbangannya mulai mengangkat bocah itu. Mengangkatnya dengan menopang bobot tubuhnya yang tak begitu berat, hingga membuatnya bangkit berdiri.
Dan 'Woush' dia berputar 360 derajat, membuat seolah-olah bocah lelaki itu tengah terbang.
“WAAAAAAAAAAAAAAA ....” Bocah berambut pingai itu nampak asyik dengan sedikit permainan yang disuguhkan oleh Nerta.
“Terbang ... terbang ... dan terbang berputar!” Nerta dengan menyesuaikan emosinya pada sang bocah membuat sang bocah berputar di udara, terayun-ayun atau berliuk-liuk di udara. Sebisanya menghibur dan tak terlalu kaku; tidak membuat bocah itu kecewa.
Lalu Nerta melambungkan bocah itu ke udara, tidak terlalu jauh, takutnya malah nyangkut di pohon. Dan 'Hap' menangkapnya lagi sekaligus memagutnya.
Bocah itu tertawa polos sambil mengungkapkan rasa asyiknya. “Hebat! Dewa mah hebat ....”
Hal itu pula yang mengakibatkan tubuh Nerta telah menghadap pada ketiga sahabatnya. Dengan wajah semeringah memandang anak lelaki Quin sambil mengacak-acak rambut pingai bocah itu sebagai isyarat keakraban.
“Hahahaha ....”
“Kenapa Dewa diem di ini?”
“Hmm ... kesepian adalah sesuatu yang diminati Dewa ... sekalian berlatih menjadi lebih kuat ...,” balas Nerta sebagaimana adanya dengan bumbu kebohongan untuk anak kecil.
“Tapi ... kata mamah ... Dewa pensiun jadi Dewa ...,” sahut bocah itu dengan lugu.
Nerta masih bisa menyikapinya dengan plegma, tapi kalimat pembelaan yang hendak diucapkannya tersendat di tenggorokan.
Quin sudah buru-buru membela Nerta dan mengambil kembali anaknya. Sudah merasa kelewatan. Namun, Nerta jadi paham kalau bocah itu dibohongi Quin.
“Jangan ngomong begitu, Dewa sedang istirahat,” bisik Quin dengan menggendong anaknya.
“Sedang istiahat? Bukannya kita datang keini jadi ganggu Dewa-nya ya ...?” sahut bocah cilik.
Lalu beberapa kebohongan dari Quin kembali dibisikan pada putranya sendiri, seperti; Dewa istirahat jadi Dewa, sekarang sedang menikmati hidupnya, bukan istirahat dari menemui orang yang membutuhkannya.
Sebuah kamuflase dari Quin demi mengendalikan situasi kembali Nerta dapatkan. Meski berbisik dan berusaha membela, Nerta memahami kalau berkelir adalah cara terbaik untuk mengamankan harga diri.
Maka Nerta berani menimpali, “Tidak apa-apa ... Dewa ini memang pensiun ... tapi, sekarang muncul lagi demi menghibur masyarakat.”
Dari jarak lima meteran itu, seluruh wajah sahabat Nerta nampak merenung dalam impresi penyesalan. Kecuali Gorah.
Pria berotot itu memalingkan wajah angkuhnya, berdiri bersedekap dengan aura arogansi. Dia pria paling tinggi, lebih tinggi dari Nerta serta dua sahabat lainnya. Kira-kira 2,2 meter tingginya. Bertelanjang dada dengan rambut lurus hitam panjang yang tergergerai hingga ke punggung. Sayapnya putih bersih. Tidak lebih tampan dari Nerta.
Gorah nampak tak berubah, atau singkatnya; dia hadir karena terpaksa dan agar tak dijauhi teman-temannya.
Sudah dapat ditebak. Presensi ketiga sahabat Nerta adalah untuk meminta pengampunan dan mengutarakan segala isi hati betapa menyesalnya mereka.
Seperti yang sudah-sudah, insiden yang menimbulkan penyesalan membuat mereka baru tersadar kesalahan mereka. Seperti bocah cilik yamg sudah tahu kalau api itu panas, namun tetap bangga disentuh, lalu dengan sedihnya mengakui penyesalan atas perbuatan dungu tersebut. Lebih-lebih 27 menit habis demi mendengar segala ocehan itu.
Basa-basi. Cukup satu kata itu yang merepresentasikan segala yang diutarakan dalam alunan penyesalan tiga sahabat Nerta. Bahkan sekali pun Gorah sempat mengerling pada Nerta, sikap arogansi pria berotot itu tak pudar barang sekejap saja.
Jiwa Nerta yang telah tertambat kekecewaan dan terkesan tercampakan, bahkan, merasa dikhianati oleh sahabat-sahabatnya sendiri justru berani bicara, “Aku ... sudah memaafkan kalian ... ya ... kalian pahamlah maksudku, ketika seseorang melakukan kesalahan tapi enggan mengampuni orang tersebut dan kala gilirannya yang bersalah, malah merengek meminta pengampunan ... nah maksudku ... aku selalu tak bisa membenci sahabatku sendiri ....”
“... pulanglah ... aku sudah memahami interpretasi kalian dalam menyikapi hidup ...,” imbuh Nerta dengan pandangan intens pada setiap sahabatnya.
Walau berusaha menutupi kemurkaan dan sakit hatinya pada sahabat-sahabatnya sendiri, tetap saja sahabat-sahabatnya tak sepolos itu. Mereka tahu dibalik seni kebohongan dalam kata-kata itu, ada beban rasa sakit yang menganga yang tak dapat dibantah. Yang spekulasinya adalah akan terobati oleh waktu.
Namun bukan hanya itu yang diinginkan sahabat-sahabatnya. Bukan sekadar ingin menyembuhkan luka bersama waktu. Bukan sebatas itu!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2021-03-18
0
Alan Bumi
apakah berkelir lebih baku daripada berkelit?
2021-02-10
1