“Banyak pasukan militer yang berusaha membunuhku ... bahkan sampai menyamar menjadi istriku ... untungnya ... empat ajudanku memiliki ilmu yang mampu memverifikasi sosok di depanya, tipuan atau tulen ...,” tutur pria berkumis dengan kembali duduk tegak di awannya.
“... dan kau, sudah diverifikasi sebagai Nerta yang asli ... itulah alasannya kau mudah menemuiku ....”
Kecurigaan Nerta terhadap pria berkumis mulai pudar, tapi masih bersisa. Nerta bungkam sembari konsisten mengamati perangai yang bersangkutan. Selebihnya, tongkat kujangnya kembali disimpan dalam tenggorokannya.
“Ohh iya, jadi ... alasan kuat apa yang membawa Anda kemari?” usut pria berkumis. Tak tahumenahu mengenai misi Nerta.
“Benarkah paman bernama, Hagra?” selidik Nerta. “Kedatangan saya kemari, adalah untuk mengajak paman menjadi saksi hidup, perihal kebenaran perang dunia ini.”
“Iya, aku Hagra ....” Pria berkumis mengonfirmasi, diselingi mengangguk mantap.
“....”
Hingga dirinya termangut. Pandangannya seperti memikirkan ajakan Nerta; adanya alasan yang kontra terhadap ajakan tersebut. Lalu, unek-unek Hagra diungkapkan.
“Kebenaran perang dunia? Hahaha ....”
“... anak muda ... bukankah bila kita melawan akan terjadi perang saudara? Dan adapun bila kita membeberkan kebenarannya, siapa yang akan percaya?”
“... bukankah keyakinan adalah pembentuk kejiwaan seseorang? Sehingga, bila kita berusaha menembusnya ... maka, mereka tak segan membunuh kita dengan dalih kebenaran pula? Apakah kau paham?” sindir Hagra dengan ke dua alis hitamnya yang terangkat.
Nerta yang tak suka basa-basi seketika membalas cukup menohok, ”Maaf, paman, tanpa mengurangi rasa hormatku ... lantas untuk apa paman bertahan hidup? Bukankah mati jauh lebih baik ketimbang merepotkan para ajudan paman?“
“Ini adalah kewajiban mereka ... sedangkan aku ... memiliki kewajiban untuk menanti sosok yang menjadi Sang Penyelamat, mengawalnya demi menegakkan kebenaran ...,” balas Hagra penuh harap dan seakan dirinya telah divonis menerima takdir terbaik.
Mendengarnya, Nerta bukan bersimpati, tapi menimbulkan afektif jengkel.
Sang Penyelamat, adalah wangsit gaib sekaligus bagian dari istiadat masyarakat. Di bangsa lain memiliki versinya sendiri dengan esensi yang sama, yakni, sama-sama sosok yang akan menyelamatkan masyarakat.
Fakta kalau Nerta telah menerima pula wangsit tersebut, nyatanya berbeda versi dengan yang diceritakan ayahnya serta Dewa Kesetaraan.
Satu yang Nerta perasat; Sang Penyelamat adalah ras Malaikat tulen yang turun demi membimbing ras Peri.
Nerta tak peduli dengan ramalan itu, atau semacamnya yang menggugah angan-angan masyarakat pada sesuatu yang belum pasti. Sebab bila tak sesuai ekspektasi, akan berpotensi besar menimbulkan kekecewaan yang menghadirkan permusuhan.
Karenannya, dirinya tetap kalem demi menguasai situasi.
“Maaf, paman ... apakah yang membuat paman begitu yakin bila paman berada dipihak Sang Penyelamat? Apa yang membuat paman yakin, kalau perang saudara terjadi? Apakah itu keyakinan paman atau sebatas prasangka dari seseorang yang ketakutan pada masa depan?” tanyanya dengan persuasif.
“Tidak, tidak anak muda ... paman hanya tak ingin naif. Pasalnya, ditengah ingar bingar bangsa kita, kalau pun kita maju melawan, besar kemungkinannya ... kita dicap sebagai ampas dan bahan lelucon bagi mereka ... bagaimana bisa membuat mereka mengikuti sampah seperti kita ...?” jawab Hagra. Secara tidak langsung mendekati debat.
”Saya rasa paman lebih pintar ketimbang saya ... saya tak perlu menjelaskannya bukan?“ Nerta berusaha mengalah dan merendah, dirinya tak ingin menghilangkan tradisi menghormati pada yang lebih tua. Dia menekan egonya demi kejernihan pikiran.
”Tentu mesti dijelaskan ... jangan sampai kamu melakukan sesuatu tindakan tanpa tahu alasan terbaiknya ...,“ tuntut Hagra.
Nerta mulanya menghela napas. Berusaha sebisanya menjelaskan tanpa merendahkan persepsi Ketua Kehormatan Hagra.
Dan dengan tersenyum kalem, pandangan teduh pada Hagra, disertai ke dua tangan yang terselip keren ke saku jaket kulitnya, Nerta pun menjelaskan.
”Mohon maaf, paman ... saya tak bermaksud tidak sopan, tanpa mengurangi rasa hormat kepada paman ... sepengetahuan saya ... saya tidak datang untuk mengajak perang, saya tidak berusaha menggiring masyarakat pada kriminalitas ... saya paham arah pembicaraan paman ... tapi ... satu hal yang penting ... saya ingin mengajak paman untuk bersaksi ... bicara jujur perihal perang dunia ... itu saja ....“
“Iya, saya tahu. Tetapi setelah itu ... kita akan terpecah belah, bercerai berai ... berperang dan saling bermusuhan,” kukuh Hagra pada interpretasi kehidupannya.
“Lantas ... apakah yang dibawa Sang Penyelamat? Apakah dengan keajaiban semua mengikutinya? Apakah solusi muncul tanpa masalah ...?” sahut Nerta secara diskursif.
“Paman ... sayangnya kita berperang bukan untuk adikara atau membinasakan pihak lain ... melainkan, untuk menyelamatkan kemerdekaan pihak lain dari penindasan ...,” imbuhnya.
”Terlampau tinggi khayalanmu, anak muda ... terlampau tinggi. Seorang Dewa Kesetaraan sepertimu saja masih belum mampu menyelamatkan keluarga sendiri ... lalu, bagaimana bisa dipercaya untuk menyelamatkan keluarga yang lain ...?“ insinuasi Hagra cukup telak.
Karenanya, Nerta mendadak menundukkan pandangan mengalah. Takrif Hagra memang ada benarnya dan tak etis bila Nerta memaksa seseorang.
Untuk kali ke dua, Nerta menghela napasnya, bertafakur demi bisa memahami. Tiga detik sesudahnya, Nerta tetap dengan pandangan teduhnya, menatap wajah persegi Hagra, menyempatkan tersenyum kalem dengan mengangguk menerima argumentasi kepahaman Hagra.
Nerta memahaminya.
”Paman ... bagaimana kalau untuk menunggu Sang Penyelamat itu, paman ikut denganku ... temanku sudah mempersiapkan tempat paling aman, dijaga oleh sihir terkuat dan orang-orang terpercaya ...,“ pinta Nerta berusaha berdiplomasi seraya mencari celah agar bagaimana pun Hagra ikut bersamanya.
Ikut menuju sebuah tempat teraman yang menurut sistem misi sudah dipersiapkan untuk para saksi.
“Nerta, aku hanya menanti kedatangan Sang Penyelamat di rumahku ... kalau pun aku mesti mati di sini ... biarlah aku mati ... lantaran aku percaya, aku akan mati terhormat lalu segera menjadi malaikat ...,” tolak Hagra dengan pendiriannya yang teguh dan keyakinannya yang enggan dikompromikan.
Kembali lagi Nerta mesti menundukkan egonya hanya demi menghormati keteguhan hati sosok yang lebih tua darinya.
Nerta tahu betul, adanya keterbatasan memahamkan dan kadang kala selera hati yang tak sejalan. Hanya saja, tentulah segalanya dengan tujuan yang sama; keselamatan.
“Iya ... baiklah ... kalau memang demikian.” Nerta sudah pasrah, sekaligus hendak meninggalkan Hagra. “Tapi ... mungkin saya tidak akan kembali ke sini ... jadi, kalau pun paman berubah pikiran ... paman cari saja aku, aku akan siap membantu paman ....”
Hagra dengan sikap santai dan senyuman sinis, sama sekali tak menjawab secara lisan, hanya mengangguk-angguk isyarat mengiakan.
Nerta yang telah memasrahkan diri mulai memanifestasikan pintu teleportasi, bersiap untuk pergi.
Hingga disela waktu berputar, dengan lantang Hagra nyeletuk, ”Dengar anak muda ... janganlah terlalu naif, kita semua tahu, Neraka itu tercipta untuk dimanfaatkan, bukan untuk dipajang ....“
Entah kalimat setengah mengandung seloroh dan setengah mengandung satire itu bermakna positif, ataukah negatif.
Nerta hanya mengikhtisarkannya sebagai keluhan seorang pria dewasa yang berhasrat mengubah dunia, tapi tak berdaya, sehingga hanya bisa hidup dalam naungan harapan.
“Iya, semoga ... Sang Penyelamat itu, sesuai dengan ekspektasi paman ...,” sahut Nerta dengan kalem dan keren. Kemudian dengan begitu santun berpamitan pergi.
Kendati Nerta telah lenyap dari ruangan berkilau berlian itu. Hagra dalam raut wajah tenang dan apatis, tetap duduk di awan dengan tegap, bagaikan dirinya hendak dilukis.
Tak ambil pusing hanya gegara menolak ajakan Nerta.
______________________________________________________________________
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
✅Demi mendukung /menghargai kinerja Author, cukup dengan hanya memberikan Like/Vote poin/koin.
(Bila ada kritik/kesan enggak perlu sungkan untuk menuliskannya dalam kolom komentar. Terima kasih.)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments