Belum ada percakapan selama perjalanan berlangsung. Keinginan Nerta untuk berteleportasi nyatanya ditentang oleh Inky, dengan niat untuk menjalin keakraban, Nerta menerimanya dengan santai.
Konyolnya, Inky yang mengajak, tetapi dia pula yang bungkam. Terbang dengan cuek, tanpa ada cerita yang mengisi perjalanan atau semacamnya yang bisa meningkatkan emosi keakraban. Sikapnya sungguh kontradiktif dengan niatnya dan Nerta pun hanya membisu karena menikmati suasana tenang dalam perjalanan.
Sesampainya di kota Arbez provinsi Timur. Hiruk pikuk kehidupan masyarakat sangat kentara di sini. Bertolak belakang dengan kota Tartus yang sepi nan misterius.
Masyarakatnya ramah, mereka tak segan mengembangkan senyuman manis untuk pelancong atau ekspatriat. Bukan itu saja, beberapa keluarga yang tengah berkumpul bahkan sempat menawarkan untuk makan bersama pada Nerta serta Inky.
Kehidupan bersosial sangat membahagiakan di sini. Anak-anak berlarian tertawa riang. Ibu-ibu berkumpul dalam acara arisan. Bapak-bapak bekerja dengan penuh antusias. Para pelancong dapat pil gratis. Hingga segenap aura yang terasa adalah keceriaan.
Sisanya, siapa pun yang mencuri akan dibebaskan. Kecuali pembunuh.
Di tengah lalu lalang warga yang ekstrover, di sinilah Inky mendadak mencetuskan sebuah kalimat curhat: “Lingkungan seperti ini adalah menyesakkan bagiku ... lantaran, aku adalah pribadi yang introver dan antisosial ....”
Nerta mulanya diam, dirinya bingung mesti menyikapi curhatan itu bagaimana. Lebih-lebih, kalimatnya terdengar kontra dengan pekerjaan Inky. Bagaimana bisa seorang pencari berita berkepribadian introver dan antisosial, sementara pekerjaannya mewajibkan banyak bersosial?
Entah, apakah itu bermakna positif ataukah negatif. Jadi alih-alih berkamuflase sebagai pendengar yang baik, Nerta justru terdiam.
Inky tiba-tiba nyeletuk, “Sedangkan kau itu adalah pribadi yang ambivalensi, Nerta ... kau mungkin berani mengklaim sebagai makhluk yang berpendirian teguh dan idealis ... tapi, aku berani bertaruh dua pil Energi, kau bisa membenci dan mencintai sahabat-sahabatmu secara bersamaan tanpa disadari ...,” ujar Inky dengan berspekulasi, namun lebih menjurus memvonis secara mutlak.
Nerta tercengang mendengar itu. Entah itu pun kabar baik atau buruk. Kendati ucapan Inky ada benarnya juga, Nerta enggan mengesahkan kepribadiannya demikian. Tetapi yang pasti, lagi-lagi ada saja sosok yang berani menilai dirinya sebelum mengenal lebih jauh.
Sehingga dengan bingung Nerta berkata, ”Aku rasa ... aku pria yang mendekati gila ....“
Setelah kalimat setengah berseloroh setengah pengakuan itu terlontar. Tak ada lagi kata-kata yang dibentuk oleh Inky. Wajah datar serta sikap cueknya tetap konstan berlangsung.
Dan hanya pembicaraan itu yang menutup perjalanan mereka. Sesuai preskripsi sistem misi yang telah memvalidasi keberadaan Ketua Kehormatan Hagra.
Nerta serta Inky terpaksa terbang lebih tinggi demi menghindari kemungkinan buruk kedapatannya mereka mengintai buronan negara.
Sebuah hunian mewah di tengah perumahan yang sibuk oleh kehidupan sosial masyarakat, adalah persembunyian sang saksi hidup.
Di ketinggian 500 meter dari tanah, Nerta serta Inky bermusyawarah. Menyepakati strategi terbaik.
Sistem misi: [Tuan ... telah diverifikasi perihal siapa saja yang berimplikasi dengan misi kali ini ....]
[... dua ajudan menyamar menjadi asisten rumah tangga ... dan tiga pribadi dari angkatan militer ketentaraan Sayap Merah mondar-mandir mengintai hunian target ....]
Kendati sistem misi telah memberikan preskripsi untuk dapat masuk ke dalam hunian secara aman, risiko yang ditanggung cukup berbahaya. Nerta lebih setuju dengan strategi Inky.
Terpaculah mereka, melesat untuk memulai rencana.
Inky terbang dan mewawancarai tiga tentara tersebut. Sedangkan Nerta menemui dua ajudan Ketua Kehormatan di rumahnya.
Hunian dari berlian dan permata, mewah nan megah. Nerta diperkenankan masuk ke dalam rumah tersebut. Dua wanita yang menyamar menjadi asisten itu menyambut Nerta sangat santun, mereka duduk bersama Nerta di ruang tamu.
Nerta yang tak suka basa-basi langsung bertanya, ”Di manakah Ketua Kehormatan Hagra ...? Saya datang untuk membawa beliau demi bersaksi ....“
Dua wanita berparas manis nan mirip dan berambut pirang panjang itu sempat saling menatap satu sama lain, seakan memberi kesan kalau pria yang mereka hadapi sangat rentan memicu bahaya.
Alih-alih curiga, justru salah seorang wanita yang misterius itu memanifestasikan pintu teleportasi dan mengarahkan Nerta untuk masuk ke dalamnya.
Dengan raut wajah kebingungan dan waspada, Nerta tanpa takut berteleportasi menggunakan pintu tersebut. Pintu pun menghilang dan Nerta telah berada di dalam ruangan tanpa pintu, tanpa jendela, tanpa lampu tapi segalanya terang. Pengap tetapi mewah.
Segala arsitektur dalam ras Peri memang berbahan batuan mulia, seperti berlian hingga zamrud.
Rupanya, di depan Nerta, seorang pria dewasa telah duduk dengan kaki terjuntai di gumpalan awan putih, ditemani dua pria berotot berparas garang sebagai ajudannya.
Dengan santainya, Nerta maju cukup dekat pada pria berkumis tebal itu. Pria yang memiliki dua sayap peri nuansa putih, dengan setelan jubah nuansa putih khas seragam Ketua Kehormatan kota Ertia. Sesuai profil dari sistem.
Niatnya untuk bertanya kandas, kala diinterupsi langsung oleh yang bersangkutan.
”Apa Anda putra Hamenka?“ selidik pria berkumis dengan mata biru tuanya yang tajam memindai Nerta. Lelaki yang lebih tua dari Nerta, terlihat dari sorot mata serta gurat wajahnya yang mudah mengerut.
”Iya ... saya putra keduanya ...,“ jawab Nerta tanpa ragu, secara tegas.
Momen hening mendadak tercipta, pria berkumis itu menilik Nerta tanpa kedipan, begitu serius. Konyolnya, ruangan beraroma mawar ini malah mengingatkan Nerta pada pria bertopeng cermin; Kaca. Seolah Kaca tengah memantau.
”Tunjukan tongkat kujang warisannya pada saya ...,“ titah pria berkumis dengan suara dalamnya, seolah meminta bukti autentik.
Nerta mengernyit kening kebingungan, namun dengan masa bodoh dalam raut muka santai, tangan kanan Nerta memancarkan sinar putih dan kala sinar menghilang, tongkat kujang berlian yang diintensikan pria berkumis tergenggam ditangan Nerta. Bukti kalau ekspektasi pria berkumis adalah tepat; Nerta putra ke dua Ketua Kehormatan Hamenka.
”Saya masih belum percaya ...,“ ketus pria berkumis membandel.
Secara menakjubkan, Nerta yang memanfaatkan kekuatan tongkat kujangnya, seketika menjulurkan tangan kirinya dengan menunjukkan lima jemarinya yang memancarkan lima energi utama.
Jempol pada energi putih, jari telunjuk pada energi hijau, jari tengah pada energi hitam, jari manis pada energi merah dan jari kelingking pada energi pingai.
Tapi, pria berkumis bertafakur, iris biru tuanya kembali memindai Nerta beberapa detik. Sebelum akhirnya, secara spontan raut wajah seriusnya beralih jadi semeringah, mengembangkan senyuman gembira dan beranjak dari segumpal awan pada Nerta.
”Ahh ... maafkan aku ... aku ragu kalau kau adalah putra sahabatku ...,“ katanya. Meski menyesal, tapi nampak senang.
“Tidak masalah ... paman hanya berusaha melindungi diri ...,” balas Nerta dengan senyuman kalem. Memaklumi.
Dua lelaki itu sempat saling berpelukan sebagai formalitas atau menyambut dengan senang hati.
“Kau tampak sehat dan berkarisma ya ...,” sanjung pria berkumis dengan memegang ke dua pundak Nerta bersimpatik.
Nerta tanpa senyuman hanya mengangguk pelan. Agak terheran mengenai misi pertama ini yang cukup mudah. Tak mengerikan seperti spekulasi diawal.
Terlebih, Nerta sama sekali tak mengenali pria berkumis hitam di depannya ini. Impresi bersahabat dengan ayahnya terlihat meragukan, sebab Nerta tak sekalipun pernah melihat yang bersangkutan ada bersama ayahnya. Atau mungkin, Nerta yang tak sempat melihatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments