Berabad-abad kemudian ....
Terdapat mimpi. Bayang-bayang visual yang menghantui sisa hidup Nerta. Menelanjangi pikiran peliknya untuk mengakui kalau dirinya adalah perwujudan sang Dewa Kesetaraan. Di sanalah, iya, di alam pra sadarnya.
Visual lelaki yang tak begitu tampan, namun karismanya benderang. Tubuh tegap dan sekujur anggota badannya yang terlihat kokoh mencuar dari kegelapan pada cahaya.
Sosok itu mirip Nerta. Terlihat kalem, namun berbahaya. Wajahnya datar tanpa ada emosi. Tanpa senyuman. Tanpa ada keseriusan. Nampak hampa tetapi seraya mentransfer aura penuh pengharapan.
Singkat kata, Nerta diberikan segenap alasan kehadiran sang Dewa.
Aura itu ....
Hawanya ....
Rasanya ....
Nerta mendapatkan 'sesuatu' yang menarik. Entah bagaimana, kata-kata terlahir dari mulutnya yang terkatup rapat. Sosok itu menyampaikan kalimat secara lisan dengan tedas tanpa menggerakkan bibir; bicara secara batiniah.
Tiga belas perwujudan untuk menerangi dunia yang kelam.
Dengarlah baik-baik ....
Dalam perwujudanku yang ketiga belas ini ... aku hendak persembahkan kebenaran dibalik bayangan itu ... demi satu tujuan ....
Demi kebahagiaan ....
Lalu ketika realitas merampas lagi keajaiban itu, segalanya kembali tersembunyi dalam ambiguitas. Entah untuk dikuak, atau semata nampak sebagai humor yang tak mengundang tawa.
Dan takdir cukup kontan memberikan kepastian, walau didapatkan hanyalah kepedihan atau kematian, setidaknya bisa membawa pada hal lebih baik—mungkin.
Memikirkan kenangan yang menyakitkan dan memalukan, barangkali itulah alasan terkuat Nerta berada di hutan ini.
Pria berumur 25.000 tahun lebih —25 tahun dalam estimasi ras Manusia— yang dulu seorang pejuang dan petarung tengah duduk-duduk malas menikmati sepinya hutan Barat. Menyilangkan tangan ke belakang kepala sekaligus menyandarkan tubuh tegapnya pada akar pohon.
Dia pensiun muda dan sejak wafatnya Darko, semuanya memang berubah. Tidak lebih baik, namun cukup untuk dikatakan 'lebih baik bersembunyi ketimbang hidup dalam kesedihan'.
Gelar pahlawan dulunya bersenandung indah sebagai arti hidup. Diagungkan dan dijalani sebagai esensi alasan hidup. Namun itu dulu. Dulu sekali sebelum semua sahabatnya tidak sinting oleh provokasi dunia.
Ingatan manis saat seluruh sahabatnya tak berubah. Nerta hafal betul kata-kata dan visualnya.
“Kalau satu mati ... semuanya mati ....” Darko bicara dalam ambisius dan percaya diri, seolah dia dapat mengubah dunia hanya dengan kata-kata—kalimatnya punya interpretasi tersendiri dan tidak seharfiah itu.
Tak hanya Darko yang mencetuskan gagasan tersebut, Quin, Arista serta Gorah dengan sepakat mengagungkannya.
Tentu saja antinominya muncul. Menjadi bagian memalukannya. Tiga sahabatnya yang masih bernapas lega dengan kompak berargumentasi: “Kita bukan lagi anak-anak ... lihatlah kenyataan ... kita mesti melanjutkan hidup dan itu lebih baik ketimbang mengikuti idealisme yang dungu ....”
“Tak ada gunanya melawan dunia yang putus asa ini ....“
”Hadapilah kenyataan, impianmu itu seperti kaum utopis yang tinggi dan naif, tapi hanya ada dikhayalan semata.“
Seperti pepatah bijak para nenek; kata-kata itu setajam silet yang diasah, dapat melukai kalau mau, atau bermanfaat kalau dipakai untuk mencukur.
Nerta adalah pria idealis dan terlihat bagai orang bodoh diantara para individu pengejar realistis.
Dan iya, kata-kata telah membuat luka menganga, membuat mental berubah dan pengalaman menjadi legalisasi kalau pria idealis itu berubah apatis dan pemalas. Bahkan barangkali lebih buruk lagi; Nerta mendekati gila.
Angin siang mendesau kala kepala hangatnya mengingat kenangan memalukan itu, seolah mengirim pesan kalau mati di hutan ini bagai merengkuh kehormatan.
Dedaunan bergerak, bergemerisik seperti tengah berembuk memutuskan siapa yang hendak gugur.
Suasana benar-benar damai dan tenang. Ke dua kaki Nerta berselonjor di atas dedaunan nuansa pingai yang gugur. Dingin, lembap dan beraroma unik; seperti aroma teh bercampur kopi. Tapi menggugah jiwanya larut bersama suasana.
Hutan Barat ini memang sepi. Ras Peri adalah makhluk paling setia, jadi kalau galau dan patah hati tempat ini sangat estetik untuk bunuh diri.
Disela-sela waktu berputar. Suara pria asing memecah suasana sepi, tetapi belum mampu membuat Nerta terkaget; dirinya telah sadar.
”Apakah ada seorang Dewa yang pensiun dan menjadi pengangguran yang menunggu mati ... dan itu hanya gegara teman-temannya tidak mau mati bareng? Heh ... tolol ....“
“Ya ... kau baru menemukannya di sini,” balas Nerta begitu santai. “Jadi selamat ....”
Telah hadir dalam kenyataan, seorang pria eksentrik. Parasnya tertutup topeng cermin, matanya hitam menerawang dan akan berubah ungu bila tersorot cahaya.
Segala yang dipandang terefleksikan dengan baik pada topeng cermin itu, seolah struktur topeng yang tak rata sama sekali tak mengganggu benda-benda untuk terefleksi, rambutnya hitam klimis nan legam, rapi dan wangi bunga mawar.
Dia pria tinggi, tapi tak setinggi Nerta, tubuhnya dibalut setelan jas nuansa hitam formal dan semakin nyentrik dengan ke dua tangan yang terbungkus sarung tangan hitam.
Pria bertopeng cermin itu telah beranjak dari atas akar pohon di belakang Nerta menjadi berdiri di depan Nerta dalam jarak 3 meteran. Seakan ingin diperhatikan.
Entah siapa pria nyentrik itu. Bahkan tak ada senyum kesopanan dari Nerta, tak ada tatapan menyambut baik, atau bahkan tak ada jabat tangan perkenalan.
Nerta bersikap dingin tanpa ekspresi. Selebihnya telinganya dipasang baik-baik demi mengetahui hal bodoh apa lagi yang hendak dunia ini gaungkan.
“Dengar sobat, aku ....” Pria bertopeng tersendat ucapannya.
Nerta tak suka basa-basi, sehingga berani berketus: ”Keintinya bung ... keintinya ....“
Maka sang pria bertopeng cermin itu memamerkan sepintas lencana anggota kemiliteran, departemen penyidik dan penangkap, divisi penyihir, isyarat bila dirinya adalah aparatur negara yang layak dicap sebagai patriotik.
Tetapi bagi Nerta sendiri, lelaki itu tak ubahnya hanya sebatas bagian dari boneka para penguasa.
”Sobat ... kau sudah banyak menolak kerja sama dengan pemerintah kota ... atau dengan kerajaan, semestinya kau mau ...,“ tutur pria bertopeng dengan impresi menyalahkan, tapi berazamnya masih samar.
Ajakan untuk bergabung pada pemerintah, sekte, organisasi atau sebangsanya yang terhimpun warga budiman, sering Nerta dapatkan. Sudah biasa dengan itu dan semuanya ditolak mentah-mentah.
Manisnya imbalan, atau merdunya ajakan para pribadi itu hanya memunculkan penilaian tersendiri baginya; mereka hanya ingin berkuasa dan menjadi yang diakui paling hebat.
Nerta bahkan tak pernah ingin menjadi seorang Dewa. Tak ingin berkuasa. Karena satu impiannya yang telah pudar bersama wafatnya Darko; mempersembahkan perdamaian bagi masyarakat.
Namun, pria bertopeng cermin ini baru pertama kali muncul, dan sayangnya belum membuat Nerta interesan pada presensinya. Terlepas dari wajahnya yang ditutupi, yang mungkin dibalik topeng itu wajah jelek telah terpasang manyun. Pria itu seperti sama idealisnya dengan Nerta.
Lalu tangan kanan pria bertopeng menyodorkan sekotak pil Energi. ”Atau ... kuak rahasia perang dunia ini, lalu sebarkan pada publik dan bangsa lain ... lakukan demi satu tujuan, yaitu ... kebenaran wajib tegak demi sebuah perdamaian ....“
Begitu blak-blakan pria bertopeng cermin membeberkan azamnya. Seolah punya dendam kesumat pada perang dunia, tapi menyuruh orang lain hanya karena tangannya tak mau kotor.
Pertanyaan sempat hendak Nerta ajukan, sebelum akhirnya terjawab pria bertopeng cermin itu, seolah sudah membaca pikiran Nerta sebelumnya.
“Harus Anda yang melakukannya ... saya memiliki sumpah kerja yang bila rahasia tersebut diucapkan, akan seketika meledakan tubuh saya dan menghancurkan tubuh keluarga saya ... jangan takut ... bila Anda terendus, atau tertangkap ... maka para penyihir siap berperang bersama Anda ....”
Terdengar manis kata-kata itu membuai, bagaikan nyanyian ibu untuk bayinya agar mudah lelap. Tetapi, seorang plegmatis seperti Nerta hanya sengap, tak tahu mesti berbuat apa.
Entah harus diiya-iyakan, atau mesti menolak sesantun mungkin. Namun, sang pria bertopeng kembali membaca pikiran Nerta. Lagi?
”Saya memilih Anda bukan tanpa sebab ... bukan sebatas Anda seorang Dewa ... melainkan ... Anda adalah seorang pahlawan sejati. Anda tidak tergiur oleh harta, takhta, wanita, atau pujian ....“ Pria bertopeng bicara begitu persuasif.
'Pahlawan sejati', dua kata itu hampir menjadi alasan Nerta tertawa terpingkal-pingkal. Dirinya begitu merasa semakin sinting mendengar seseorang berani menjustifikasi tanpa mengenal Nerta sebelumnya.
Untung baginya, sedikit akal sehat menahan luapan kegilaannya.
Bukan itu saja, pria aneh bertopeng itu kembali membaca pikiran Nerta.
”Tidak perlu risau perihal bagaimana caranya menguak rahasia, kami telah menyusunnya serapi mungkin ....“ Lantas sang pria bertopeng menaruh sekotak pil di dekat kaki Nerta serta dua lensa kontak mata ditaruh pula di atas kotak tersebut. ”Saya membawa sedikit rahasia ....“
Nerta masih apatis, pandangannya jatuh pada rerumputan jauh di depannya.
Nyatanya Nerta memahami arah tujuan pria bertopeng ini. Pria itu memberikan misi urgensi pada Nerta demi menyelamatkan masyarakat —bukan— demi menyelamatkan bangsa Barat.
______________________________________________________
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
⚠ Episode ini telah direvisi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
🍾⃝ʙͩaᷞiͧ ǫᷠiͣɴƓǫɪɴƓ 💞🇵🇸
baru mulai baca..semgat ka
2022-02-13
1
Botha Hantu
ikut
2021-05-12
0
ARSY ALFAZZA
mantap
2021-03-17
1