Pria bertopeng cermin itu berdiri tegap dan kembali membaca pikiran Nerta.
Nerta diam seribu bahasa, tapi menanti secercah kata-kata yang membangkitkan jiwanya, atau membuatnya interesan.
“Anda bisa melihat identitasku di lensa kontak ... aku mengenakan topeng hanya karena aku seorang pemalu,” ungkap pria bertopeng cermin. “Ayo ... lihatlah dulu ....”
Ada desakan guna Nerta melihat sendiri siapa sosok dibalik topeng tersebut dan mesti sekarang. Lima detik malah tercampakan dalam sepi penantian.
Dirinya yang malas, terpaksa meraih lensa kontak dari sana dan menempelkannya pada irisnya. Duduk bersila dengan memandangi visual masa lalu yang terpancar dari lensa kontak.
Semoga saja dengan ini pria bertopeng mau cepat pergi dan tak mengganggu sisa hidupnya, pikir Nerta.
Kaget dirinya, melongo saat visual masa lalu mulai mempertontonkan pertunjukan mengenai kerja pria bertopeng. Identitas itu bukan semata malu, bukan sebatas penyihir dan bukan sebatas seorang peri.
Lebih lagi, terdapat beberapa pertemuan tersembunyi antara Kaisar Peri dengan pribadi tertentu, adanya rahasia yang tak boleh terkuak pada publik. Dijaga ketat dan kalau perlu dijaga sampai mati. Kebenaran itu disembunyikan.
Setiap mata-mata akan diambil sumpah, membuat mereka terikat, lalu mati mendadak bila mereka membeberkannya.
Pria itu pernah melumpuhkan 1000 pasukan militer Sayap Hijau tanpa membunuh, dia mampu melumpuhkan 10 panglima militer tanpa membunuh dan melumpuhkan 2000 penyihir tanpa sihir, tanpa ada yang mati dan tentunya tanpa terengah-engah.
Pria bertopeng itu adalah sang legenda 'Angin Barat'. Tak ada nyawa yang melayang ditangannya, tetapi yang berurusan dengannya akan kehilangan jiwa yang sehat.
Nerta melepas lensa kontak dengan agak kagum dalam paduan keterkejutan. Dia membuang lensa kontak itu dengan pandangan serius pada topeng cermin sang legenda.
Untuk kali ini, Nerta berani mengarahkan iris hitamnya pada sang legenda dan itu dengan rasa hormat; dia interesan oleh indentitas sang pria bertopeng yang beraroma bunga mawar ini.
Sedikitnya, asumsi Nerta adalah fakta, kalau pria bertopeng cermin ini seorang idealis seperti dirinya; terlihat dari kehidupannya yang selalu fokus pada apa yang dituju, tanpa tergiur formalitas dunia.
Raut muka tercengang merekah nyata pada wajahnya. “Lantaran kau sudah berani mengatakan aku tidak tergiur oleh harta, wanita, takhta, waria, atau semacamnya yang berakhiran huruf 'a'. Tolong, berikan aku satu alasan mantap mengapa aku mesti meninggalkan tempat ternyamanku?”
Tanpa rambang, dengan tatapan tajam pada paras Nerta, pria bertopeng menjawab, “Karena kau terpilih ....”
Hanya tiga penggal kata yang terucap. Tetapi, sungguh jawaban yang tak dispekulasikan Nerta sebelumnya. Dari berbagai jawaban omong kosong yang dulu diucapkan pribadi yang mengharap Nerta bergabung dengan mereka. Pria bertopeng bau bunga mawar inilah yang membuat Nerta mengangguk-angguk interesan.
“Aku kira, seekor kambing bisa terpilih juga 'kan?” sindir Nerta.
“Tapi masalahnya, tidak semua orang membutuhkan kambing,” balas pria bertopeng cermin berkias dan taksa.
Kembali argumentasi yang mampu menggugah Nerta merenungi presensi dan intesi sang pria bertopeng cermin. Sepi pun melanda bersama detik yang terpacu.
Dalam satu menit berlalu, Nerta menengadah wajah, memandang dedaunan pohon berwarna jingga dalam penuh arti. “Aku mau saja ikut ... tapi ....”
“Kalau kau mencari arti hidup ... kau mesti dipinggir jurang kematian sobat ... bukan duduk di sini membiarkan semuanya mati,” singgung pria bertopeng lagi-lagi taksa.
“Ahh ... aku sudah memilikinya.” Nerta punya premis lain mengenai hidupnya dan hanya dirinya yang memahaminya.
”Teguhkan lagi ... teguhkan lagi,“ sela pria bertopeng dengan penekanan disetiap kata, seolah dirinya yakin, Nerta mesti menyelesaikan 'perkara' yang sempat tertunda. ”Aku memberikanmu jalan bunuh diri terbaik ... lantaran misi ini adalah misi bunuh diri, tapi dengan tema; pahlawan negara.“
“Jangan meledekku dan jangan terdengar seperti ibuku ...,” balas Nerta dengan tenang dan kembali memandang topeng cermin sang pria beraroma bunga mawar ini. “Aku ... lebih tertarik dengan tema; menghancurkan dunia yang putus asa.”
Dan entah mengapa, pria bertopeng itu tertawa pelan, antara tergelitik, atau tak sengaja ingin menarik lebih dalam atensi Nerta.
Nerta kemudian bangkit dari duduk dengan sedikit antusias di hati, sambil tangan kanannya terselip ke saku jubahnya, kepalanya memiring ke kiri membiarkan helaian rambut gondrongnya terjuntai di depan mata kanannya, agak malas dan menatap kalem pada lelaki nyentrik di depannya. “Baiklah, bung ... kau mendapatkan atensi dariku ....”
“... tapi sungguh ... tolong jangan tulis dalam buku laporanmu, kalau aku pahlawan negara ... jangan juga sebagai seorang kriminalis ...,” imbuh Nerta dengan serius dan preventif. ”Ohh ... satu lagi ... jangan sebut aku sebagai Dewa Kesetaraan ... karena semua itu terdengar tolol.“
”Lalu, apa yang sewajarnya kutulis dalam buku sejarah anak-anak nanti?“ tanya pria bertopeng cermin.
“Semisal ... tulis saja ... pria pengangguran yang iseng menjalankan wajib militernya.” Nerta serius dan sedikit berseloroh.
”Hahaha ....“ Di balik topeng cermin, suara tawa nan renyah kembali bergema. Menghadirkan impresi bila ini pembicaraan santai. “Seberapa jauh pengangguran sepertimu bahagia, sampai bangga menganggur?”
“Ahh ... tidak ... tidak terlalu begitu membanggakan. Pengangguran sepertiku selalu bahagia acap kali preman yang bermahkota tak menggoda lagi padaku,” balas Nerta secara satire.
“Ya-ya ... tenanglah .. kita tak perlu repot mengguratkan omong kosong itu ....” Pria bertopeng meluruskan.
Dengan menyiah rambut gondrongnya ke belakang kuping kiri serta kuping kanannya, Nerta pun berkata, ”Oh, iya, mungkin bagusnya, kau biarkan dua telinga bolongku ini mendengar sedikit ringkasan misinya ... boleh 'kan?“
”Tentu sobat, tentu .... Pertama, buat kebenaran yang sesungguhnya muncul. Kedua, buat masyarakat percaya. Ketiga, jangan sampai kau tertangkap. Dan terakhir ... kebenaran mesti ditegakan ...,“ papar pria bertopeng cermin dengan penekanan disetiap kata. Seakan kalimatnya adalah mantra sihir yang segera terimplementasi. Dan wajib digugu.
Nerta membisu, memalingkan pandangannya, perintah itu tidaklah mudah. Dia memikirkan beberapa hal, seperti; adanya perang saudara, perang karena bercanda, atau kematian merajalela. Hingga sembari mengangguk dirinya berucap, ”Baiklah ... aku mengerti.“
”Santai saja ... kau berhak memikirkannya terlebih dulu ... jika sudah bertekad bulat, temuilah aku di departemen kemiliteran kota Polski ...,“ pinta pria bertopeng memberi waktu demi menguatkan hati lawan bicaranya.
Nerta memandang topeng cermin pria beraroma mawar itu dalam keseriusan nan intens. Wajah kalemnya lenyap dengan drastis, lalu bertutur, ”Tapi, perlu digaris bawahi ... aku bergabung denganmu ... hanya karena hendak menyelamatkan masyarakat dari kebobrokan perang dunia ini.“
”Hahaha ....“ Tawa renyah terhimpun lagi di balik topeng cermin itu dan mata kehitamannya tepusat pada paras berkarisma Nerta. ”Tenang saja ... kita sama-sama di bawah kaki masyarakat ....“
Nerta bergeming dalam posisi kepala miring ke kirinya. Sudah menjadi bakat alaminya dalam urusan bungkam dan berekspresi kalem. Selebihnya memang butuh merenung.
Bersamaan dengan itu, disertai embusan udara lembut dalam hutan, pria bertopeng bernamaskara sambil tumungkul hormat, dibalas pula oleh Nerta dengan bernamaskara dalam tumungkul kesopanan. Kemudian pria bertopeng cermin memudar menjadi asap dan berakhir menghilang. Dia pergi.
Faktanya, takdir tetap mengikat kehidupannya. Apalagi Nerta pada substansinya belum tahu pasti mengenai misteri perbuatan ibunya. Nerta sedikitnya tahu, ibunya berlaku kejam bukanlah sebatas dendam.
Atau kakak serta ayahnya yang divonis mati karena enggan menyepakati perang dunia berlanjut, lalu di ruang publik kematian mereka dicap gagal dalam menjalankan tugas.
Tapi dirinya tahu, itu hanya sebatas kedok belaka. Semua penyelidikannya sampai saat ini belum ada hasil baiknya. Kecuali kesempatan yang ditawarkan oleh pria bertopeng padanya, memberi harapan terbuka untuk jauh lebih tahu.
Nerta memang sudah 4000 tahun menganggur dan pensiun dini. Semua terjadi semenjak —Darko— sahabatnya tewas. Semenjak itu pula, dirinya tak lagi bersua dengan para sahabatnya. Terakhir kali bersua ketika dipemakaman Darko, itu bahkan dalam sengap dan kecewa.
Kendati demikian, dirinya akan selalu siap bila sewaktu-waktu masyarakat membutuhkannya; seperti saat ini.
Dalam silir angin lembut, dirinya memungut kotak energi dari atas tumpukan dedaunan. Memandangi lekat-lekat benda berbentuk kubus dari bahan emas itu, seolah menatap jalan hidupnya sendiri yang hendak dilaluinya lagi.
Nerta berkontemplasi.
Hanya pria bertopeng itu yang membuat pikiran serta hatinya tergugah untuk merenungi sebuah ajakan. Tidak seperti yang lain, yang ditolak tanpa pikir panjang. Kali ini Nerta berani bertaruh hidup dan mati pada pria yang sama-sama idealis itu.
...* * *...
Sisa waktu berlalu secara tak terasa. Larut malam yang berbintang telah datang. Nerta tengah berdiri di atas akar pohon dengan bersedekap dan memejamkan mata. Dirinya bersemadi. Berusaha mencari lagi alasan kuat agar tekad meneruskan cita-citanya tak goyah.
Masih di hutan yang sama. Intensitas udara mengalun halus, dingin serta membawa aroma khas dari hutan. Dedaunan bergemerisik, suasana sedamai biasanya.
Alam pikiran serta hatinya tengah berkutat pada kejiwaannya. Semadi diwaktu seperti ini telah jadi rutinitasnya setiap hari. Sebisa mungkin mengetahui lebih banyak perihal Dewa Kesetaraan yang selalu mengganggu pikirannya. Selebihnya, dia belum sanggup menyelaraskan diri pada sang Dewa.
Tapi ekspektasi tak sesuai kenyataan.
Realita justru menyuguhkan visual akan detik-detik kematian ibunya. Wajah ibunya yang nelangsa, seolah mengimplisitkan pesan; ibu mohon jangan anggap ibu kriminalis.
Dan sang ayah yang tewas tak berdaya. Malahan Nerta tak sempat menerima ajakan terakhir ayahnya untuk pulang bersama.
Atau sesudah itu kematian kakaknya yang tragis. Mengingat lagi kata-kata terakhir konyolnya: Adikku, janganlah lupa, sebelum mati ungkapkanlah perasaanmu pada wanita yang kau cintai. Dengan begitu, kau tak perlu mati penasaran.
Mengingat wajahnya yang bodoh, tapi menyedihkan. Hingga semuanya kini dilalui sendirian.
Malam itu, untuk terakhir kalinya, Nerta benar-benar merenung dalam-dalam. Enggan momentum paling berharga terbuang. Dia biarkan waktu berputar bersama semadinya.
Kemungkinan misi itu hanya akan diambil oleh dirinya sendiri. Terlalu tak percaya pada kawan-kawannya yang berubah. Dengan dalih berpikir dewasa, teman-temannya yang tak seidealis Nerta termakan arus dunia yang putus asa ini.
Singkat kata, sudah tak relevan dengan kondisi, sehingga mau tidak mau, mereka mesti ditinggalkan.
__________________________________________
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
✅Demi mendukung /menghargai kinerja Author, cukup dengan hanya memberikan Like/Vote poin/koin.
(Bila ada kritik/kesan enggak perlu sungkan untuk menuliskannya dalam kolom komentar. Terima kasih.)
⚠Episode ini telah direvisi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
jejak lagi Thor 👍🏻
2021-03-18
0
Alan Bumi
semedi dan semadi apakah sama
2021-02-10
1