Baskara di ufuk Barat mulai tenggelam, memadamkan benderang cerahnya, bergantian untuk malam menyajikan gelapnya.
Langit kebiruan beganti perlahan jadi violet bertabur kilau bintang-bintang. Bulan dan planet Hurius membulat semakin cemerlang.
Bersamaan dengan senandung siur angin di salah satu taman perumahan yang melayang setinggi 3 meteran. Pria maskulin dengan rambut hitam dikucir ke belakang tengah duduk sendirian di kursi besar berbahan batu Ruby bermodel feminin.
Nerta menikmati kedamaian malam di perumahan ini, di kota Barata, provinsi Barat. Kota di mana dirinya dilahirkan dan dibesarkan.
Sudah lama, benar-benar sangat lama, sampai dirinya lupa-lupa ingat kapan terakhir kalinya tertawa di kota ini. Dirinya tak menginjak lagi kota kelahirannya.
Semenjak Siluman Dewa Mistik menggempur kota kediamannya dulu dan sepeninggal sahabat tercintanya; Darko. Nerta merasa berat hati untuk kembali menginjak tempat awal mimpinya ini.
Menghindari ingatan tragedi masa lampaunya dan menghindari rasa sakit hatinya. Kendati tak dapat dipungkiri, impian sahabatnya masih diperasat Nerta, karena bagaimana juga, segalanya bermula di kota ini dan akan diakhiri karena kota ini.
Kota Barata hari ini dihuni oleh segelinir ekspatriat, menyisakan tiga perumahan, sedangkan warganya bukanlah warga asli. Pembangunan disesuaikan oleh kebutuhan.
Dan satu hal yang paling disesalinya seumur hidup, yakni, tak dapat menyelamatkan masyarakatnya.
Udara kini telah berubah. Hawanya berbeda, kesannya tak lagi sama. Hati pria maskulin itu malah lelap dalam perasaan sendunya sendiri. Larut pada kenangan manis dan pahitnya. Tidak menjadikannya traumatis, hanya saja, menjadi tolak ukur agar mencegah kejadian bodoh yang serupa.
Nerta mulai beranjak dari kursi, memandangi kunang-kunang di antara puluhan jenis bunga-bunga hias yang nampak estetik. Ditemani kristal yang berpendar cantik dalam variasi warna. Mengingat lagi impiannya dulu yang terdengar hebat dan menakjubkan, tapi sekarang, terdengar begitu konyol.
Menyelamatkan masyarakat dari kebinasaan perang? Nerta paham betul kalau tak semuanya dapat diselamatkan. Tapi, dengan menghentikan perang, kemungkinannya banyak masyarakat diselamatkan.
Beberapa menit kala rindu dan kenangannya membentuk impresi yang dalam, momen itu teralihkan oleh suara tegas dari seorang wanita.
“Kenapa pergi ke sini?”
Nerta terhenyak, seketika menghadap kanan, mendapati Inky telah berdiri curiga di sana. Kini mereka telah berhadapan, tiga meter menjadi sisa jarak untuk bersentuhan kalau mau.
“Mana saksi itu?” tanya Inky keheranan dengan tetap memasang raut wajah datar, dalam pandangan tajam.
Nerta tetap kalem dengan santai dan menatap teduh pada hidung mungil Inky seraya menjawab, “Dia tak mau ikut ....”
Pengakuan terus terang itu ditanggapi Inky dengan hela napas dan mata jingganya mengerling ke kanan dengan keki, namun kesan masa bodoh juga pekat tersirat. Cukup aneh juga melihat ada seorang pribadi dapat memadukan ekspresi jengkel dan apatis secara berbarengan.
“Apa kau lupa, perihal ucapanku ...?” singgung Inky. “Prioritaskan misi! Ingat ... prioritaskan misi!”
“Jadi ... apa pun wajib dilakukan untuk membawa saksi! Sekalipun mesti menyeret paksa!” imbuhnya
Mata Nerta berkelok menuju lengan kemeja biru tua Inky yang masih terlipat hingga ke siku, sebuah tatapan renungan dalam dilematik. Nerta punya rencana sendiri mengenai perkara ini.
Sayangnya, alasannya itu tersendat di tenggorokannya, gegara Inky berpaling hendak membawa paksa saksi.
“Kau tunggulah di sini, biar aku bawa paksa saksi itu dengan caraku sendiri!” ungkap Inky dengan tangan kanan yang memancarkan energi merah, berniat memanifestasikan pintu teleportasi.
“Tunggu sebentar!” sela Nerta minta penangguhan dengan raut wajah serius dan menatap intens paras imut Inky.
Inky terdiam, siap untuk mendengar alasan Nerta dengan tangan yang masih memancarkan energi merah.
“Kita lewat saja pria itu ... aku sudah bicara padanya ... tetapi, dia bersikeras ingin tinggal di sana, dia tak mau bersaksi sebelum Sang Penyelamat datang,” papar Nerta dengan sungguh-sungguh.
”Omong kosong sekali ...,“ cela Inky dengan mengerling keki.
”Pria itu memiliki prinsip! Kita tak berhak memaksa saksi! Biarkanlah saja dulu bersama waktu, dan kita cari saksi yang lain ...,“ tegas Nerta enggan mimicu konflik.
“Prinsip omong kosong yang dilakukan demi keuntungan pribadi ... ketika kita berjuang untuk bangsa kita ... sempat-sempatnya dia malah mengemukakan prinsipnya hanya agar hasratnya terpenuhi,” ketus Inky tak peduli, tanpa kompromi.
Membuat suasana damai agak sedikit emosional.
Nerta diam, berteguh hati kalau Ketua Kehormatan Hagra tidaklah salah, namun tidak juga sepenuhnya benar.
“Kita tak punya banyak waktu, intelijen negara juga sedang mengincar Hagra! Biar aku yang bicara ...!” keluh Inky dengan memanifestasikan pintu teleportasi.
Nerta terpegun dengan pikiran dilemanya, tak bisa menghentikan kepergian Inky.
Di sana Nerta bertafakur. Antara mesti mengikuti Inky, atau menghentikannya. Nerta tak menyukai seseorang melakukan perintah karena terpaksa, hasilnya kadang tak memuaskan.
Untuk lima detik yang terbuang itu. Nerta kini telah memutuskan; dirinya akan menghentikan Inky.
Tak butuh waktu lama. Dengan pintu teleportasi dirinya berhasil kembali ke kota Arbez provinsi Timur. Tepat di pekarangan rumah Ketua Kehormatan.
Inky nampak berada di depan pintu besar kediaman Hagra, tengah berbincang dengan seorang wanita; ajudan Hagra.
Dan tiba-tiba 'Cleb' sebuah kapak telah menancap ngeri di sayap kanan nan lembut bagian anggota tubuh Inky.
Terperenyaklah Inky, spontan memutar badan ke belakang, demi mengetahui siapa yang begitu kurang ajar berani bertindak kejam padanya.
Dengan wajah kalem dan tangan kanan memegang tongkat kujangnya, Nerta berdiri tegap memperjelas kalau dirinya adalah pelaku dibalik kapak yang menancap di sayap Inky.
Kendati perbuatan Nerta nampak kasar, itu hal biasa di bangsa Barat, terlebih, terdapat pesan tersirat yang Nerta sampaikan teruntuk Inky dan berharap Inky memahaminya.
“Maafkan aku sudah melukaimu untuk yang kedua kalinya ...,” sesal Nerta begitu santai. “Tapi, aku mohon untuk tidak membuat saksi hidup kita tertekan mentalnya hanya oleh sebuah paksaan.”
Buru-buru sang ajudan masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Enggan mendapat masalah, apa lagi sampai rahasia terbongkar. Di beranda rumah itu, Inky mencabut kapak dari sayap kanan nan lembutnya.
Lantas, dengan raut tak berperasaan dan sikap cueknya, dia melesat maju menuju Nerta. Ke dua tangannya telah dilimbur energi merah kebanggaannya.
Maka pertarungan dua mitra kerja itu tak terelakan lagi. Inky menghajar Nerta dengan ke dua tangannya. Sedangkan Nerta hanya menghindar ke kanan serta ke kiri.
Tongkat kujangnya tak digunakan; belum.
Dalam pancaran sinar rembulan, ditemani temaram cahaya kristal, pertarungan dengan kaki, tangan atau segenap teknik beladiri fisik terjadi sengit di halaman rumah Hagra. Suasana berubah drastis jadi ketegangan. Angin berdesir di sekitarnya. Hawa jadi semakin emosional.
Beberapa masyarakat yang sempat lewat menyempatkan untuk berhenti dan menyaksikan pertarungan tersebut. Halaman rumah Hagra mendadak jadi panggung pertempuran.
Beberapa warga tak berniat menghentikan, selain dari tak tahu jejak perkaranya, mereka tak mau ikut campur, namun, mereka selalu siap membantu menyembuhkan yang terluka. Selebihnya, hanya masyarakat yang terbang apatis.
'Tap' 'Tap' pukulan-pukulan gesit Inky menerjang Nerta yang dengan lihai menangkisnya oleh tangan serta tongkat kujangnya.
Kendati itu adalah pertempuran, wajah datar nan apatis mereka tetap tergurat tanpa terganggu.
Napas mereka naik turun, darah terpacu mengalir pesat, jantung berdegup keras. Tatapan tajam menerawang dan insting yang meningkat waspada.
Tendangan salto dari Inky berhasil Nerta tahan dengan sayap kirinya, lalu tendangan secara horizontal dari Nerta ditangkis oleh tangan kanan Inky. Di rerumputan hijau itu mereka sangat bersungguh-sungguh untuk menorehkan luka satu sama lain.
Syukurnya, kebencian tak setitik pun termasuk alasan duel itu.
Kenyataan bahwasanya alasan dari perkelahian itu adalah demi prinsip serta idealisme, tak bisa ditampik. Mereka punya ego, dan pola pikir yang mirip, tapi rentan memicu perseteruan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
A.Sona.
Oke mantap.
2021-02-18
0
Ayu
lanjut thor :v
2020-12-20
1