Restoran sepi pengunjung ini memiliki gaya bangunan menyerupai cincin yang berdiri secara vertikal, berbahan batu berlian serta permata, arsitekturnya unik, interior dan eksteriornya futuristis. Ditambah, kesan elegan sekaligus mewah terlukis oleh gradasi bening dan berkilaunya bangunan.
Awan-awan nuansa warna-warni melayang di udara sekeliling restoran. Awan-awan itu menjadi tempat para pengunjung untuk bersantap, atau menikmati pemandangan artistik hamparan bunga-bunga di belakang restoran.
Nerta serta wanita berambut keriting telah duduk bersimpuh di atas awan restoran yang paling tinggi. 100 meter dari tanah menantikan kehadiran pramusaji.
“Maaf, nona ... tolong konfirmasi, benarnya info dari sistem misiku ... apakah benar nama nona adalah ... Inky?” tanya Nerta memastikan.
Wanita berambut keriting nampak sibuk dengan jam tangan pintarnya. Mengerjakan sesuatu yang seakan teramat fundamental. Pandangannya serta fokus atensinya tertuju pada pancaran hologram jam tangan yang menampilkan visual data-data berharga.
Tiga detik selepasnya. Pramusaji pria muda yang berpenampilan setelan kemeja rapi nan wangi datang menanyakan intensi kedatangan mereka kemari. Pramusaji yang nampak malas dan begitu sinis terhadap kedatangan mereka.
Namun nyatanya, itu membuat wanita berambut keriting refleks memandang penuh intensi pada pramusaji tersebut.
“Coba Anda lihat ... lelaki di depan Anda ini adalah seorang Dewa ...,” pinta wanita berambut keriting dengan menunjuk Nerta dalam raut wajah datar. Dan berusaha memanfaatkan status Nerta demi dihormati atau sejenisnya.
Berkat pernyataan tersebut, sang pramusaji beberapa saat menatap Nerta sangat intens, memindainya demi mengonfirmasi dan segala sikap malasnya berubah drastis. Tercengang dan melonjak bergairah.
“Maaf, maaf ... saya tidak sadar, kalau rupanya Dewa Kesetaraan datang ke restoran kami ...,” sesal pramusaji sambil beberapa kali membungkuk.
Bertolak belakang dari sikap sebelumnya, kini pria itu tersenyum senang dan antusias. Bertanya dengan penuh kesopanan: “Tuan dan nyonya, silakan mau pesan apa?”
Nerta tak begitu senang dengan kejadian ini. Baginya statusnya bukanlah untuk jual beli kepedulian. Lebih-lebih dirinya hanya ingin dihormati sesama makhluk bernyawa, itu sudah cukup. Dengan sikap santai, tapi mengguratkan wajah datar, Nerta menjawab, “Apa saja ... yang penting sehat ....”
Pramusaji dengan sikap antusias dan bergairahnya, malah nyeletuk, “Kami akan berikan hidangan dan minuman paling laris dan paling lezat ... tenang saja ... tuan nyonya ....”
Tak butuh waktu lama, pria itu langsung menyuguhkan beberapa santapan khas bangsa Barat ke hadapan Nerta serta wanita berambut keriting. Lalu dengan bakat 'penjilatnya' dia berbasa-basi, kemudian pergi bak perampok amatiran yang takut ketahuan.
Nerta yang pada dasarnya kelaparan langsung menyantap hidangan yang tersaji.
Tidak seperti umat manusia, umat jin hanya menyantap energi —sari pati— dari makanannya, dihirup oleh mulut lalu ditelan dan dicerna dalam tubuh.
Begitu pula dengan air minum, Nerta menghirup segarnya air, sekaligus menghirup jus anggur.
Satu hal yang penting, bila energi —sari pati— dari makanan tersebut telah lenyap, rasa minuman atau makanan tersebut menghilang, kendati warnanya tetap cerah, tetapi vitamin mau pun rasanya telah sirna; telah menjadi ampas.
Sinar cerah tanda pertengahan hari menghangatkan suasana senyap, sorot baskara yang benderang menyinari seluruh lingkungan sekitar.
Hingga memperjelas setiap garis wajah imut nan datar wanita berambut keriting itu dan iris jingganya yang tergurat vertikal bagaikan mata kucing, seakan-akan berubah warna jadi pingai kala cahaya menerpa mata eloknya.
Dirinya tengah melamun sambil menatap jauh menuju kaki langit ke belakang pundak kiri Nerta. Seperti ada beban pikiran yang perlahan mengalun menghanyutkan perasaannya. Entah baik atau buruk, tapi seolah sangat emosional.
Nerta yang sibuk makan, beberapa kali menawarkan wanita itu agar makan. Hanya saja, tak ada respons secara verbal atau isyarat bersedia, justru wanita itu tetap mematung terhanyut dalam lamunannya.
Hingga Nerta harus berhenti bersantap tepat disaat rasa kenyang ditanggung. Tatapannya kini terkunci serius pada wajah imut nan datar wanita berambut keriting itu. Sebuah tatapan penuh arti, bukan nafsu, bukan pula cinta.
Dalam tatapannya, Nerta seakan-akan mengenali siapa sebenarnya wanita muda di depannya ini. Seperti pernah melihatnya dan tahu identitasnya, namun Nerta menampiknya dengan kemungkinan; barangkali hanyalah perasaan lewat saja.
Sedetik selepasnya, wanita berambut keriting itu tersadar dari lamunanya dan bagaikan tak terjadi apapun, dirinya mulai menyantap hidangan yang tersaji di depannya.
Nerta tak banyak tingkah. Dia bungkam sambil menikmati suasana dengan menanti wanita itu bersantap.
Dari atas sini, iris hitam Nerta menyorot segala suguhan alam. Mulai dari hamparan bunga, hingga sepinya perumahan.
Kendati perumahan ini telah dilanda siang hari yang cerah, kelengangan tetaplah kental terasa. Tak satu pun pengunjung hadir, malahan tak satu pun eksistensi pribadi yang lewat daerah sini.
Tak terlalu peduli juga perihal keganjilan itu. Keheranan yang mengisi relung pikiran Nerta hanya dijejali oleh asumsi-asumsi bermakna positif; mungkin saja warga lewat jalan lain, atau masih berdiam diri dalam rumah.
Restoran ini pun demikian; sepi dan terasa hampa.
Dan waktu yang berlalu tanpa terasa. Menghentikan pikiran Nerta agar tak melambung ke mana-mana, memaksa segenap atensinya tertuju pada misi.
Sepuluh menit telah terpakai wanita berambut keriting untuk menghabiskan sari pati seluruh hidangan lezat yang tersaji.
Mereka yang kembali duduk bersila berhadapan, mulai menatap satu sama lain dalam keseriusan.
“Dalam misi ini, aku adalah mitramu ... jadi, Nerta ... aku memiliki pesan penting untukmu ... yakni, prioritaskanlah misi dan para saksi ... jangan menolong kalau hanya memperhambat misi ... apakah kamu paham?” tuntut wanita berambut keriting dengan raut paras nan datar, tanpa ada isyarat emosi, tapi tatapannya yang menelusuk tajam, mewakili betapa seriusnya kata-katanya.
Nerta mengernyit kening. Menyikapinya sangat serius. Terdiam sesaat meresapi tuntutan tersebut. Agak bingung untuk mengikhtisarkan apakah tuntutan itu bermakna positif atau negatif.
“Apakah kamu paham, Nerta?” desak wanita berambut keriting dengan alis kiri yang terangkat.
Tatapan serius wanita itu secara drastis berubah jadi tatapan intimidasi. Nerta yang merasa kalau tuntutan tersebut tak begitu buruk, tapi dengan keraguan hanya mengangguk pelan.
“Iya ... aku paham ...,” jelas Nerta dengan intonasi penuh penekanan di setiap kata. Agak memaksa terlihat semeyakinkan mungkin.
Karenanya, sikap serius wanita berambut keriting mulai melunak, secara drastis tatapannya kini berubah masa bodoh.
“Kita mesti akrab ... supaya ikatan kerja sama tim jadi lebih kuat,” ujar wanita berambut keriting mengisyaratkan adanya rencana. “Jadi ... kamu mesti banyak bercerita padaku ... setiap keluh kesah harus tertumpah padaku ... segala unek-unek, mesti disampaikan tanpa takut aku sakit hati ... kalau aku jelek, katakanlah ... kalau aku bau, ucapkanlah ... dan kalau kau benci padaku ... ujarkanlah ... apakah kau paham?”
Kembali lagi pernyataan imperatif yang taksa ditujukan pada Nerta. Kebingungan sempat menjerat pikiran Nerta. Lagi-lagi meragu untuk mengikhtisarkan apakah tuntutan itu bermakna negatif atau positif.
“Apakah kamu paham, Nerta?” desak wanita berambut keriting dengan alis kanan yang terangkat.
Tatapan itu kembali berganti jadi intimidasi. Nerta yang kesannya dipaksa pun, memutuskan untuk mengangguk cepat.
“Iya, aku paham,” balas Nerta dengan tegas. Memutuskan untuk sepakat karena merasa tak mau berbasa-basi dan tetap terlihat meyakinkan.
Sang wanita muda menerimanya dengan baik. Tanpa senyuman keakraban, tanpa jabat tangan formalitas dan tanpa komplain. Tetap datar, masa bodoh, tapi sungguh-sungguh.
“Oh, satu lagi ... jangan menanggap pekerjaan kita adalah untuk menjadi seorang pahlawan,” imbuh wanita berwajah imut dengan preventif.
Untuk takrif itu Nerta melontarkan argumen tanya, “Mengapa demikian?”
”Ayolah pemuda ... di mana ada pahlawan, pasti ada masalah, atau mungkin penjahat ... dan masalahnya tak ada yang ingin dicap sebagai pelaku kejahatan ... jadi ... saya harap, Anda menghilangkan persepsi Anda kalau apa yang kita lakukan adalah demi menjadi pahlawan ...,“ jelas wanita berhidung mungil itu.
“Pahlawan hanyalah nama lain dari sosok yang belum berkesempatan menunjukkan sisi gelap dirinya ... bagiku, saat menjalankan kewajiban, tak etis mengklaim diri sebagai pahlawan ... dan kamu mesti paham,” pungkasnya.
Nerta termangu. Sedetik selepasnya, dia mengangguk-angguk, memahami satu hal; wanita berwajah imut ini memiliki kesamaan interpretasi noda kehidupan seperti Nerta.
Sementara untuk semua tuntutan wanita berambut keriting sebahu itu, nyatanya hanya menjadi satu ringkasan bagi Nerta, yakni; tak begitu penting.
Tak begitu penting positif atau negatif, karena secara pengalaman hidup Nerta, banyaknya pribadi yang ditemui, atau cerita-cerita yang didengar. Faktanya, setiap keinginan dan harapan dapat runtuh oleh realita yang membangkitkan emosi dan secara berani, sumpah bisa dilanggar karena semuanya tak sesuai dengan selera hati.
Benar, Nerta paham betul siklus dunia yang naif dan putus asa ini, terutama penghuni buminya. Oleh sebab itu, Nerta berani menerimanya, tapi dengan sumpah dalam hati; dirinya dapat melanggarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments