Cahaya api dimandatkan pada ras Peri.
Cahaya petir dimandatkan pada ras Barqo.
Cahaya angin dimandatkan pada ras Neznaz.
Cahaya roh dimandatkan pada ras Malaikat.
Cahaya jiwa dimandatkan pada ras Dewadewi.
Lalu umat jin menjadi awal, memimpin alam fana metafisik.
Dan umat manusia menjadi penutup, memimpin alam fana fisik.
Hingga mandat pun ikut turun untuk para pembelot.
Menciptakan alam Neraka demi seleksi alam.
Dan identitas menjadi bukti absolut demi menakrifkan siapa yang lebih unggul.
* * *
Dalam aroma khas alam Peri.
Kota Barata telah hancur dan rata dengan tanah. Bahkan sama sekali tak nampak sebagaimana kota adanya; terlihat seperti tumpukan serbuk kayu yang menggunung dan tersebar di mana-mana.
Sesosok entitas yang dipuja sebagai Siluman Dewa Mistik, adalah biang kerok dibalik kebinasaan masal ini.
Alasan membumihanguskan kota menyedihkan ini bukanlah sebatas dendam, bukan karena kebencian, bukanlah karena cinta dan bukan pula karena kekuasaan.
Perang besar meluluh-lantakkan seluruh tanda kehidupan di sini; hunian. Rumah yang terbuat dari mewahnya berlian bagai nampak layaknya serakan pecahan gelas. Keindahannya telah pudar, tapi kilaunya masih kentara.
Ratusan bahkan ribuan jasad telah terkapar bak taburan keju yang diparut. Mati, dingin dan tak berdaya.
Segala kenyataan mengerikan nan getir itu berlangsung 10 hari 12 jam purnawaktu.
Pasukan militer, para pendekar, para kesatria, hingga para pribadi biasa, telah menjadi korban luka-luka hingga korban jiwa.
Dia tak terhentikan, tak terkalahkan dan tak mungkin pamit pulang.
Tapi satu hal yang pasti. Lima patriot dari federasi Proletariat tengah berjibaku melawan sang Dewa.
'Trang' 'Tang' 'Klang'.
Bunyi pedang yang beradu terus bersipongang merebakkan hawa peperangan yang serasi bersama ketegangan suasana.
Hanya lima pribadi yang bertahan. Menanggung beban sakit, atau menghindarinya dengan terbang tak menentu.
Tapi pedang saja tidak cukup. Bahkan ilmu Energi pun tidak cukup. Segala beladiri pun tidak cukup. Siluman Dewa Mistik tetaplah lebih unggul.
'BOOOMMM'.
'BLEDAAR'.
'DHUUUAAAAAARSH'.
Bergema dahsyat pertempuran di udara. Ketegangan itu tergambar ngeri dari visual hingga suara. Kelima pribadi yang secara emosional terikat persahabatan tak gentar dan belum berniat untuk mengalah. Mereka melesat menerjang angin, menyerang sang lawan.
Detik dan sengitnya pertempuran berpacu dalam realitas, hingga dititik itulah, semuanya tiba-tiba terasa terhenti. Dihentikan.
Darko menjadi penyebabnya, sahabat setia mereka telah secara tragis ambruk di atas tumpukan bangunan. Kondisinya buruk; dua sayap patah berdarah, mata buta, hingga dua tangan kokohnya lenyap tak bersisa.
Mungkin dia mati, tetapi tak ada yang menginginkannya sekalipun memang telah mati.
Dua sahabat lainnya bergegas mendarat. Mereka Quin dan Arista. Dua wanita itu berlutut hanya untuk memeriksa lelaki muda sahabat mereka: Darko. Tetapi, Arista yang memaksa kehendaknya untuk memulihkan sahabatnya. Energi biru langitnya berpancar dengan percuma. Realita tetap mempersembahkan kematian.
Darko tewas. Tak ada yang bisa dilakukan, sekalipun menangis darah hingga banjir.
Kendati demikian. Mereka —Quin dan Arista— telah menjatuhkan bulir-bulir bening nan berkilau. Itu dari mata mereka. Dari kesedihan dan kehilangan. Dari usaha yang faktanya mempersembahkan kegagalan.
Menangisi kalau tak terimanya mereka melihat takdir merenggut nyawa sang sahabat.
Quin bahkan mencetuskan argumentasi menohok dan berupaya memaksa suatu kehendak: “GUNAKAN PIL PEMULIH! KITA HARUS CARI ...! KITA HARUS CARI ...!”
Kendati rengekan itu diiringi senguk-sengak kepiluan. Arista menggeleng pasrah layaknya pencuri dungu yang ketahuan mencuri tapi berkata 'tidak' dan dengan berani membeberkan kenyataan: “Udah abis ... udah abis ... udah nggak ada lagi ....”
Memang telah tewas Darko, sekalipun pil ditemukan, itu sia-sia.
Tetapi tak peduli Quin di sana. Dirinya dalam getir nan nelangsa, terbang ke sana kemari, hanya demi mencari sebuah pil. Berharap, takdir dapat disangkal.
'BUUFF'.
'BUAF'.
'Shriing'.
'Swriing'.
Selama kenyataan ironi itu terpampang. Dua sahabat lainnya masih sengit bertarung di udara. Hingga seper-sekian detik berlalu, dua figur pria itu pun turut mendarat pada tempat sahabatnya. Untuk memastikan, atau kalau boleh mencari jalan kabur.
“Darko udah tewas ... hiks ... dia udah tewas ... semuanya sia-sia ... kita pasti mati ... hiks ....”
Argumen putus asa yang lahir dari mulut Arista berhasil menyentuh hati dan sisi kejiwaan dua sahabatnya —Nerta serta Gorah— yang seketika kesepuluh jemari berdarah mereka mengepal erat, laksana menahan beban kehilangan, lalu kepiluan menyeruak setelahnya.
Meski ke dua pria yang memiliki dua mata tegas itu tak mengucurkan air mata merana. Entah mungkin karena mereka berdua seorang pria, sehingga gengsi untuk menjatuhkan tetes air mata. Namun nyatanya sikap sekaligus mimik wajah mereka sudah dipastikan merepresentasikan betapa menyedihkannya kematian sahabat.
Hanya sang Siluman Dewa Mistik yang tetap melayang asyik di udara dalam datar tanpa terpampang ekspresinya. Terdiam, siap, tetapi menunggu diserang.
Quin dengan angan-angan harapannya, terus terbang mencari pil dari korban-korban yang tergeletak mati. Itu pun dipastikan sia-sia.
Gorah dan Nerta memiliki satu pandangan yang terfokus tajam, tepat pada lawan. Berang, pilu, dendam atau bahkan benci, segenap emosi itu berpadu harmoni dalam diri. Khususnya bagi Nerta.
Napasnya tetap stabil, tidak untuk jantung. Nerta telah bergigit dan rahangnya mengeras karena dirinya enggan menerima realita.
Maka tanpa sungkan dengan murka, tangan kanan kokohnya memanifestasikan sebuah tongkat kujang berbahan berlian.
Pikirannya telah gelap. Sahabatnya sudah mati dan itu memacu jiwanya untuk bertarung pula sampai mati.
Tak peduli lagi status sang lawan, malahan tak merisaukan dirinya yang sebatas peri biasa.
Namun, dalam rumpang krusial, Gorah mengomentari sikap Nerta kali ini: “Bodoh ... apa kau kira dengan tongkat kujangmu itu dapat mengalahkan seorang Dewa?”
Bukan itu saja. Arista yang kini bersimpuh kuyu nan ganar, berani menimpali, “Kita nggak mungkin ngelawan sesosok Dewa! Kita pasti mati ...!”
Kalimat keputusasaan itu telah diterima pendengaran Nerta baik-baik. Dia paham, dia juga tahu. Tetapi paling penting, dia masa bodoh.
“HHYAAAAAAAAAAAAT ...!”
Sebuah teriakan gairah yang melebur satu dalam kemurkaannya, lantas mendorong sisi kejiwaannya untuk bergerak, dan 'Woush', dia melesat cepat pada sang lawan. Terbang mengepak sayap kuat-kuat.
Sementara Arista menangisi kematian sahabatnya, layaknya menangisi cinta pertamanya yang dirampas sahabat dekatnya. “Hiks ... hiks ... hiks ....”
Gorah yang berdiri dengan bersedekap menyilang tangan, yang terlihat jemawa, malah nyeletuk, ”Belagu ... ujung-ujungnya ... mati juga ....“
Sikap solid pada sahabat, atau mungkin adanya sisi emosional familisme adalah alasan terkuat Nerta berani bertarung dengan sesosok Siluman Dewa Mistik.
Fakta kalau Nerta tengah melesat mungkin terlihat keren, apalagi dengan bumbu solidaritas, tetapi nyatanya mentalnya sangat terguncang. Dia bahkan tak ingin terlihat keren.
Hingga 'Boom' tebasan dalam energi merah tongkat kujang Nerta beradu dengan tinjuan tangan kanan energi kelabu sang entitas Dewa.
Efeknya berdaya kejut nan kuat. Angin mendesau. Pecahan energi terbebar. Hawa memanas dan emosional bergelegak.
Namun hanya Nerta yang terpental ke belakang. Tidak bagi sang Dewa. Dia kuat, santai, dan baik-baik saja.
Dari sepuluh meteran itu, Nerta menggunakan kemampuan spesial tongkat kujangnya. Tiga energi utama digunakan; Merah, Hijau, pingai.
'Swoush' sekujur tubuhnya diliputi tiga energi yang berputar menyelaraskan dengan dirinya.
Kemudian, 'Siuw' melesat dengan mencengangkan menuju sang Dewa.
Sang Dewa seketika memanifestasikan sebilah pedang berapi. Dia meremehkan Nerta dan terlampau yakin bila Nerta pasti mati.
'Trang' 'Tang' 'Trang' beradu ngeri pedang dan kujang itu. Menimbulkan efek bunyi pertarungan dan menghempaskan angin ke sekitar.
Ditebas dari kanan, 'Trang' sang Dewa menepisnya.
Ditebas dari kiri, 'Tang', sang Dewa menangkisnya.
Dari atas, bawah, menusuk atau bahkan dari segala arah kujang tongkat itu melayang, masih sanggup ditangkis oleh sang Dewa. 'Klang' 'Tang' 'Trang'.
Irama pertempuran dalam emosi dan tujuan yang berbeda itu nyatanya hanya jadi bahan tontonan oleh sahabat Nerta lainnya. Mereka sudah pasrah. Menanti waktu menyuguhkan kematian.
Udara disekitar mendesir. Awan kelabu terparkir di atas sana, menutupi kulminasi baskara seolah marah dan sebagian langit cerah seolah ceria.
Sebuah ingatan janji pun ikut tercetus dalam kepala mereka. Pasalnya, sebuah sumpah telah diperasat, kalau solidaritas serta loyalitas perlu diprioritaskan.
”Jika satu mati ... maka semuanya mesti mati ....“
Kalimat imperatif itu mengekang emosi mereka, membentuk deduksi tersendiri; sudah waktunya mati di sini.
Toh, mati di medan pertempuran bukanlah hal yang memalukan. Pikir Gorah.
Di sana, bulir bening yang berkilau terbebar ke seluruh penjuru, laksana rintik hujan untuk ladang yang suram. Pada akhirnya dalam pergulatan di udara, Nerta menangis. Tak dapat disangkal kalau laki-laki juga punya hati.
Diselingi teriakan kemurkaan, Nerta bertarung semaksimal mungkin dalam lirih tangis merana.
Kehilangan sahabat yang sama-sama berjuang. Sahabat yang menghiasi hidup dan menjadi bagian dari arti hidup. Untuk saat ini jelaslah menjadi moto pertarungannya.
Tapi detik mencekam itu pun diisi oleh fakta mengherankan. Para penyihir level Langit Tujuh mengurung mereka dalam segel akuarium. Memenjarakan mereka bersama Dewa sinting itu.
Arista yang keheranan, pun mempertanyakan keganjilan itu dalam pandangan mengedar dan gentar.
Quin yang telah bersimpuh pasrah nan lelah di dekat Arista, berani berkomentar: ”Mungkin ... karena kita adalah lima sosok yang termashyur ....“
Tapi sang lelaki arogan, yakni Gorah, justru menampik asumsi tersebut. "Tidak, bukan karena itu ....“
Sontak dua wanita itu merespons dengan terkejut. ”Eh?“
”Kita di sini bukan karena termasyhur ... kita di sini karena ditumbalkan ....“ Sebuah argumentasi Gorah yang lugas dan memiliki spekulasi lain —bukan— memiliki premis berbeda.
Membisu. Tercenung dan berpikir hal buruk. Firasat menyatakan kalau ini adalah hasil dari persengkongkolan; konspirasi.
”Jadi ... pemerintah menjebak kita?“ lirih Arista dengan pikirannya yang menerka-nerka, antara malapetaka atau hadiah idaman yang tengah diterimanya.
”Tidak ....“ Lagi-lagi Gorah menampik. Pandangan tajamnya terkunci pada pertarungan sahabatnya dan dia punya estimasi sendiri perihal perkara ini.
Dua wanita muda itu lagi-lagi memampang ekspresi terkaget dan selebihnya termangu.
”Bukan pemerintah ... tetapi ... masyarakat ...,“ pungkas Gorah nan ambigu. Menimbulkan puluhan asumsi dan seolah-olah memvonis mutlak nasib hari ini, bila perkara yang diterima lebih buruk dari asumsi semata.
Kemahiran Nerta meliukan tongkat kujangnya belum sepadan dengan kesaktian sang Dewa yang sanggup menahan segala serangan.
Kemampuan khusus dari energi merah, Hijau, pingai, telah diimplementasikan, tapi gagal juga. Waktu dan jarak atau apapun yang disebut serangan sama sekali nihil. Sang Dewa tetap unggul.
Hingga waktu yang terus berpacu yang tak pernah rehat. Menunjukkan kejadian tak terduga.
Tongkat kujang kepunyaan Nerta patah. Siluman Dewa Mistik mulai menyerang secara beringas. Tubuh tegap Nerta, dua sayap elegannya, paras karismatiknya, menjadi bahan pelampiasan kesaktian sang Dewa.
Siluman Dewa Mistik ini tak mungkin dikalahkan kalau kewajibannya belum terimplementasi. Meski Dia tak memiliki perasaan, atau tak pernah memasang suatu ekspresi tanda adanya emosi, sang Dewa tetap tahu caranya bertarung secara artistik.
'Buak' 'Buk' 'Dhuk' 'Boom'.
Cecaran serangan menghebohkan itu masih sebatas tontonan semata bagi ketiga sahabatnya. Seperti menyaksikan pertandingan sepak bola, tapi dengan tim kebanggaan yang telah pasti kalah.
Lalu 'Boom' Nerta dihantam dengan satu tinjuan telak yang langsung meremukan roman kakunya.
Tapi walau dua sayapnya kini patah, tangan kanannya putus, patut disyukuri ke dua kakinya masih kuat menopang bobot tubuh luka-lukanya. Berdiri di atas tanah dengan membungkuk tumungkul masih berderai bulir air mata kepedihan.
”Haah-haah-haah-haah ....“ Napasnya sudah berat, tubuhnya lunglai, akan tetapi, Nerta kukuh untuk membalas nasib kematian sahabatnya.
Semua sahabatnya tak merespons, kecuali menyerah ingin mati. Terlebih para penyihir pun tak membantu dan penderitaan itu diperparah oleh keengganan wali kota kota Barata mengirim pasukannya ke tempat kejadian perkara.
'DHUUUUAAAAAARS'. Tanah berdebam. Kepul. Pengap dan udara bersiur.
Serangan dahsyat kembali ditanggung oleh Nerta seorang diri. Arista yang tak tega refleks menutup wajah dalam rengek sendunya. Quin tertunduk pilu putus asa dan Gorah bersedekap memalingkan wajah berharap cepat mati.
'Duak' pukulan telak meremukan tulang rusuk Nerta, hingga sesudahnya, 'Cleb' sebilah pedang tertusuk ngeri pada leher Nerta. Lehernya setengah putus. Mencurahkan banyak darah keemasan.
Kemudian 'Bruk' Nerta terkapar sekarat —bukan— bagi Siluman Dewa Mistik Nerta terbaring tewas.
Alih-alih, justru Siluman Dewa Mistik yang baru tujuh langkah berpaling pergi, dirinya tercengang akan kebangkitan Nerta.
Telah kembali bangkit peri biasa itu, tanpa rambang, pedang yang tertancap ngeri dicabut sendiri oleh tangan kirinya. Tulang yang remuk utuh kembali, kulit yang robek tersambung lagi, tangan kanan yang putus beregenerasi kembali, pun detak jantung yang terhenti kembali berpacu.
Hingga pancaran sinar nuansa jingga di belakang kepala Nerta terbit. Sinar kedewaan itu merekah menakjubkan. Kendati matanya terkatup rapat. Tapi jiwanya waspada.
Nerta hidup kembali dan itu tetap disertai jatuhnya tetesan air mata kehilangan.
Sosok pemanggil di dalam entitas Siluman Dewa Mistik mengenalnya. Dia bahkan mengerti siapa yang ada di dalam diri Nerta. ”Ohh ... sang Dewa Kesetaraan ... rupanya ... inilah perwujudan yang ketiga belasmu ....“
Di balik dimensi yang tersembunyi, keindahan dan keagungan sang Dewa terpancar benderang. Duduk bersila di atas dipan berlian, begitu proksimal dengan Nerta, namun tidak bersentuhan.
Tak ada kata dari sang Dewa Kesetaraan, hanya tersenyum tenang, romannya begitu damai dan pandangannya sangat teduh.
Pancaran sinar kedewaan di belakang kepala Nerta, menjadikan anugrah sang Dewa Kesetaraan pun terkoneksi.
Sang Dewa Kesetaraan: [Menyortir Dewa Dewi yang hendak ditiru;
-Zeteus sang Dewa Iklim.
-Harius sang Dewi Karunia.
-Paseideus sang Dewa Es.
-Areus sang Dewa Nyawa.
-Harmeus sang Dewa Mantra.
-Hafesteus sang Dewa Suhu.
-Afrodius sang Dewi Ilusi.
-Athius sang Dewi Inteligensi.
-Damatius sang Dewi Aroma.
-Hastius sang Dewi Psikologis.
-Dan lain-lain ....]
Lalu Nerta pun memilih ....
—————————————————————————
✅Demi mendukung /menghargai kinerja Author, cukup dengan hanya memberikan Like/Vote poin/koin.
(Bila ada kritik/kesan enggak perlu sungkan untuk menuliskannya dalam kolom komentar. Terima kasih.)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
Gyatsa Dzaky
bahasanu tinggi nian
2021-05-13
0
Rima×
lanjut
2021-04-26
0
Noejan
👍👍👍
2021-04-13
0