Prolog.

Cahaya api dimandatkan pada ras Peri.

Cahaya petir dimandatkan pada ras Barqo.

Cahaya angin dimandatkan pada ras Neznaz.

Cahaya roh dimandatkan pada ras Malaikat.

Cahaya jiwa dimandatkan pada ras Dewadewi.

Lalu umat jin menjadi awal, memimpin alam fana metafisik.

Dan umat manusia menjadi penutup, memimpin alam fana fisik.

Hingga mandat pun ikut turun untuk para pembelot.

Menciptakan alam Neraka demi seleksi alam.

Dan identitas menjadi bukti absolut demi menakrifkan siapa yang lebih unggul.

* * *

Dalam aroma khas alam Peri.

Kota Barata telah hancur dan rata dengan tanah. Bahkan sama sekali tak nampak sebagaimana kota adanya; terlihat seperti tumpukan serbuk kayu yang menggunung dan tersebar di mana-mana.

Sesosok entitas yang dipuja sebagai Siluman Dewa Mistik, adalah biang kerok dibalik kebinasaan masal ini.

Alasan membumihanguskan kota menyedihkan ini bukanlah sebatas dendam, bukan karena kebencian, bukanlah karena cinta dan bukan pula karena kekuasaan.

Perang besar meluluh-lantakkan seluruh tanda kehidupan di sini; hunian. Rumah yang terbuat dari mewahnya berlian bagai nampak layaknya serakan pecahan gelas. Keindahannya telah pudar, tapi kilaunya masih kentara.

Ratusan bahkan ribuan jasad telah terkapar bak taburan keju yang diparut. Mati, dingin dan tak berdaya.

Segala kenyataan mengerikan nan getir itu berlangsung 10 hari 12 jam purnawaktu.

Pasukan militer, para pendekar, para kesatria, hingga para pribadi biasa, telah menjadi korban luka-luka hingga korban jiwa.

Dia tak terhentikan, tak terkalahkan dan tak mungkin pamit pulang.

Tapi satu hal yang pasti. Lima patriot dari federasi Proletariat tengah berjibaku melawan sang Dewa.

'Trang' 'Tang' 'Klang'.

Bunyi pedang yang beradu terus bersipongang merebakkan hawa peperangan yang serasi bersama ketegangan suasana.

Hanya lima pribadi yang bertahan. Menanggung beban sakit, atau menghindarinya dengan terbang tak menentu.

Tapi pedang saja tidak cukup. Bahkan ilmu Energi pun tidak cukup. Segala beladiri pun tidak cukup. Siluman Dewa Mistik tetaplah lebih unggul.

'BOOOMMM'.

'BLEDAAR'.

'DHUUUAAAAAARSH'.

Bergema dahsyat pertempuran di udara. Ketegangan itu tergambar ngeri dari visual hingga suara. Kelima pribadi yang secara emosional terikat persahabatan tak gentar dan belum berniat untuk mengalah. Mereka melesat menerjang angin, menyerang sang lawan.

Detik dan sengitnya pertempuran berpacu dalam realitas, hingga dititik itulah, semuanya tiba-tiba terasa terhenti. Dihentikan.

Darko menjadi penyebabnya, sahabat setia mereka telah secara tragis ambruk di atas tumpukan bangunan. Kondisinya buruk; dua sayap patah berdarah, mata buta, hingga dua tangan kokohnya lenyap tak bersisa.

Mungkin dia mati, tetapi tak ada yang menginginkannya sekalipun memang telah mati.

Dua sahabat lainnya bergegas mendarat. Mereka Quin dan Arista. Dua wanita itu berlutut hanya untuk memeriksa lelaki muda sahabat mereka: Darko. Tetapi, Arista yang memaksa kehendaknya untuk memulihkan sahabatnya. Energi biru langitnya berpancar dengan percuma. Realita tetap mempersembahkan kematian.

Darko tewas. Tak ada yang bisa dilakukan, sekalipun menangis darah hingga banjir.

Kendati demikian. Mereka —Quin dan Arista— telah menjatuhkan bulir-bulir bening nan berkilau. Itu dari mata mereka. Dari kesedihan dan kehilangan. Dari usaha yang faktanya mempersembahkan kegagalan.

Menangisi kalau tak terimanya mereka melihat takdir merenggut nyawa sang sahabat.

Quin bahkan mencetuskan argumentasi menohok dan berupaya memaksa suatu kehendak: “GUNAKAN PIL PEMULIH! KITA HARUS CARI ...! KITA HARUS CARI ...!”

Kendati rengekan itu diiringi senguk-sengak kepiluan. Arista menggeleng pasrah layaknya pencuri dungu yang ketahuan mencuri tapi berkata 'tidak' dan dengan berani membeberkan kenyataan: “Udah abis ... udah abis ... udah nggak ada lagi ....”

Memang telah tewas Darko, sekalipun pil ditemukan, itu sia-sia.

Tetapi tak peduli Quin di sana. Dirinya dalam getir nan nelangsa, terbang ke sana kemari, hanya demi mencari sebuah pil. Berharap, takdir dapat disangkal.

'BUUFF'.

'BUAF'.

'Shriing'.

'Swriing'.

Selama kenyataan ironi itu terpampang. Dua sahabat lainnya masih sengit bertarung di udara. Hingga seper-sekian detik berlalu, dua figur pria itu pun turut mendarat pada tempat sahabatnya. Untuk memastikan, atau kalau boleh mencari jalan kabur.

“Darko udah tewas ... hiks ... dia udah tewas ... semuanya sia-sia ... kita pasti mati ... hiks ....”

Argumen putus asa yang lahir dari mulut Arista berhasil menyentuh hati dan sisi kejiwaan dua sahabatnya —Nerta serta Gorah— yang seketika kesepuluh jemari berdarah mereka mengepal erat, laksana menahan beban kehilangan, lalu kepiluan menyeruak setelahnya.

Meski ke dua pria yang memiliki dua mata tegas itu tak mengucurkan air mata merana. Entah mungkin karena mereka berdua seorang pria, sehingga gengsi untuk menjatuhkan tetes air mata. Namun nyatanya sikap sekaligus mimik wajah mereka sudah dipastikan merepresentasikan betapa menyedihkannya kematian sahabat.

Hanya sang Siluman Dewa Mistik yang tetap melayang asyik di udara dalam datar tanpa terpampang ekspresinya. Terdiam, siap, tetapi menunggu diserang.

Quin dengan angan-angan harapannya, terus terbang mencari pil dari korban-korban yang tergeletak mati. Itu pun dipastikan sia-sia.

Gorah dan Nerta memiliki satu pandangan yang terfokus tajam, tepat pada lawan. Berang, pilu, dendam atau bahkan benci, segenap emosi itu berpadu harmoni dalam diri. Khususnya bagi Nerta.

Napasnya tetap stabil, tidak untuk jantung. Nerta telah bergigit dan rahangnya mengeras karena dirinya enggan menerima realita.

Maka tanpa sungkan dengan murka, tangan kanan kokohnya memanifestasikan sebuah tongkat kujang berbahan berlian.

Pikirannya telah gelap. Sahabatnya sudah mati dan itu memacu jiwanya untuk bertarung pula sampai mati.

Tak peduli lagi status sang lawan, malahan tak merisaukan dirinya yang sebatas peri biasa.

Namun, dalam rumpang krusial, Gorah mengomentari sikap Nerta kali ini: “Bodoh ... apa kau kira dengan tongkat kujangmu itu dapat mengalahkan seorang Dewa?”

Bukan itu saja. Arista yang kini bersimpuh kuyu nan ganar, berani menimpali, “Kita nggak mungkin ngelawan sesosok Dewa! Kita pasti mati ...!”

Kalimat keputusasaan itu telah diterima pendengaran Nerta baik-baik. Dia paham, dia juga tahu. Tetapi paling penting, dia masa bodoh.

“HHYAAAAAAAAAAAAT ...!”

Sebuah teriakan gairah yang melebur satu dalam kemurkaannya, lantas mendorong sisi kejiwaannya untuk bergerak, dan 'Woush', dia melesat cepat pada sang lawan. Terbang mengepak sayap kuat-kuat.

Sementara Arista menangisi kematian sahabatnya, layaknya menangisi cinta pertamanya yang dirampas sahabat dekatnya. “Hiks ... hiks ... hiks ....”

Gorah yang berdiri dengan bersedekap menyilang tangan, yang terlihat jemawa, malah nyeletuk, ”Belagu ... ujung-ujungnya ... mati juga ....“

Sikap solid pada sahabat, atau mungkin adanya sisi emosional familisme adalah alasan terkuat Nerta berani bertarung dengan sesosok Siluman Dewa Mistik.

Fakta kalau Nerta tengah melesat mungkin terlihat keren, apalagi dengan bumbu solidaritas, tetapi nyatanya mentalnya sangat terguncang. Dia bahkan tak ingin terlihat keren.

Hingga 'Boom' tebasan dalam energi merah tongkat kujang Nerta beradu dengan tinjuan tangan kanan energi kelabu sang entitas Dewa.

Efeknya berdaya kejut nan kuat. Angin mendesau. Pecahan energi terbebar. Hawa memanas dan emosional bergelegak.

Namun hanya Nerta yang terpental ke belakang. Tidak bagi sang Dewa. Dia kuat, santai, dan baik-baik saja.

Dari sepuluh meteran itu, Nerta menggunakan kemampuan spesial tongkat kujangnya. Tiga energi utama digunakan; Merah, Hijau, pingai.

'Swoush' sekujur tubuhnya diliputi tiga energi yang berputar menyelaraskan dengan dirinya.

Kemudian, 'Siuw' melesat dengan mencengangkan menuju sang Dewa.

Sang Dewa seketika memanifestasikan sebilah pedang berapi. Dia meremehkan Nerta dan terlampau yakin bila Nerta pasti mati.

'Trang' 'Tang' 'Trang' beradu ngeri pedang dan kujang itu. Menimbulkan efek bunyi pertarungan dan menghempaskan angin ke sekitar.

Ditebas dari kanan, 'Trang' sang Dewa menepisnya.

Ditebas dari kiri, 'Tang', sang Dewa menangkisnya.

Dari atas, bawah, menusuk atau bahkan dari segala arah kujang tongkat itu melayang, masih sanggup ditangkis oleh sang Dewa. 'Klang' 'Tang' 'Trang'.

Irama pertempuran dalam emosi dan tujuan yang berbeda itu nyatanya hanya jadi bahan tontonan oleh sahabat Nerta lainnya. Mereka sudah pasrah. Menanti waktu menyuguhkan kematian.

Udara disekitar mendesir. Awan kelabu terparkir di atas sana, menutupi kulminasi baskara seolah marah dan sebagian langit cerah seolah ceria.

Sebuah ingatan janji pun ikut tercetus dalam kepala mereka. Pasalnya, sebuah sumpah telah diperasat, kalau solidaritas serta loyalitas perlu diprioritaskan.

”Jika satu mati ... maka semuanya mesti mati ....“

Kalimat imperatif itu mengekang emosi mereka, membentuk deduksi tersendiri; sudah waktunya mati di sini.

Toh, mati di medan pertempuran bukanlah hal yang memalukan. Pikir Gorah.

Di sana, bulir bening yang berkilau terbebar ke seluruh penjuru, laksana rintik hujan untuk ladang yang suram. Pada akhirnya dalam pergulatan di udara, Nerta menangis. Tak dapat disangkal kalau laki-laki juga punya hati.

Diselingi teriakan kemurkaan, Nerta bertarung semaksimal mungkin dalam lirih tangis merana.

Kehilangan sahabat yang sama-sama berjuang. Sahabat yang menghiasi hidup dan menjadi bagian dari arti hidup. Untuk saat ini jelaslah menjadi moto pertarungannya.

Tapi detik mencekam itu pun diisi oleh fakta mengherankan. Para penyihir level Langit Tujuh mengurung mereka dalam segel akuarium. Memenjarakan mereka bersama Dewa sinting itu.

Arista yang keheranan, pun mempertanyakan keganjilan itu dalam pandangan mengedar dan gentar.

Quin yang telah bersimpuh pasrah nan lelah di dekat Arista, berani berkomentar: ”Mungkin ... karena kita adalah lima sosok yang termashyur ....“

Tapi sang lelaki arogan, yakni Gorah, justru menampik asumsi tersebut. "Tidak, bukan karena itu ....“

Sontak dua wanita itu merespons dengan terkejut. ”Eh?“

”Kita di sini bukan karena termasyhur ... kita di sini karena ditumbalkan ....“ Sebuah argumentasi Gorah yang lugas dan memiliki spekulasi lain —bukan— memiliki premis berbeda.

Membisu. Tercenung dan berpikir hal buruk. Firasat menyatakan kalau ini adalah hasil dari persengkongkolan; konspirasi.

”Jadi ... pemerintah menjebak kita?“ lirih Arista dengan pikirannya yang menerka-nerka, antara malapetaka atau hadiah idaman yang tengah diterimanya.

”Tidak ....“ Lagi-lagi Gorah menampik. Pandangan tajamnya terkunci pada pertarungan sahabatnya dan dia punya estimasi sendiri perihal perkara ini.

Dua wanita muda itu lagi-lagi memampang ekspresi terkaget dan selebihnya termangu.

”Bukan pemerintah ... tetapi ... masyarakat ...,“ pungkas Gorah nan ambigu. Menimbulkan puluhan asumsi dan seolah-olah memvonis mutlak nasib hari ini, bila perkara yang diterima lebih buruk dari asumsi semata.

Kemahiran Nerta meliukan tongkat kujangnya belum sepadan dengan kesaktian sang Dewa yang sanggup menahan segala serangan.

Kemampuan khusus dari energi merah, Hijau, pingai, telah diimplementasikan, tapi gagal juga. Waktu dan jarak atau apapun yang disebut serangan sama sekali nihil. Sang Dewa tetap unggul.

Hingga waktu yang terus berpacu yang tak pernah rehat. Menunjukkan kejadian tak terduga.

Tongkat kujang kepunyaan Nerta patah. Siluman Dewa Mistik mulai menyerang secara beringas. Tubuh tegap Nerta, dua sayap elegannya, paras karismatiknya, menjadi bahan pelampiasan kesaktian sang Dewa.

Siluman Dewa Mistik ini tak mungkin dikalahkan kalau kewajibannya belum terimplementasi. Meski Dia tak memiliki perasaan, atau tak pernah memasang suatu ekspresi tanda adanya emosi, sang Dewa tetap tahu caranya bertarung secara artistik.

'Buak' 'Buk' 'Dhuk' 'Boom'.

Cecaran serangan menghebohkan itu masih sebatas tontonan semata bagi ketiga sahabatnya. Seperti menyaksikan pertandingan sepak bola, tapi dengan tim kebanggaan yang telah pasti kalah.

Lalu 'Boom' Nerta dihantam dengan satu tinjuan telak yang langsung meremukan roman kakunya.

Tapi walau dua sayapnya kini patah, tangan kanannya putus, patut disyukuri ke dua kakinya masih kuat menopang bobot tubuh luka-lukanya. Berdiri di atas tanah dengan membungkuk tumungkul masih berderai bulir air mata kepedihan.

”Haah-haah-haah-haah ....“ Napasnya sudah berat, tubuhnya lunglai, akan tetapi, Nerta kukuh untuk membalas nasib kematian sahabatnya.

Semua sahabatnya tak merespons, kecuali menyerah ingin mati. Terlebih para penyihir pun tak membantu dan penderitaan itu diperparah oleh keengganan wali kota kota Barata mengirim pasukannya ke tempat kejadian perkara.

'DHUUUUAAAAAARS'. Tanah berdebam. Kepul. Pengap dan udara bersiur.

Serangan dahsyat kembali ditanggung oleh Nerta seorang diri. Arista yang tak tega refleks menutup wajah dalam rengek sendunya. Quin tertunduk pilu putus asa dan Gorah bersedekap memalingkan wajah berharap cepat mati.

'Duak' pukulan telak meremukan tulang rusuk Nerta, hingga sesudahnya, 'Cleb' sebilah pedang tertusuk ngeri pada leher Nerta. Lehernya setengah putus. Mencurahkan banyak darah keemasan.

Kemudian 'Bruk' Nerta terkapar sekarat —bukan— bagi Siluman Dewa Mistik Nerta terbaring tewas.

Alih-alih, justru Siluman Dewa Mistik yang baru tujuh langkah berpaling pergi, dirinya tercengang akan kebangkitan Nerta.

Telah kembali bangkit peri biasa itu, tanpa rambang, pedang yang tertancap ngeri dicabut sendiri oleh tangan kirinya. Tulang yang remuk utuh kembali, kulit yang robek tersambung lagi, tangan kanan yang putus beregenerasi kembali, pun detak jantung yang terhenti kembali berpacu.

Hingga pancaran sinar nuansa jingga di belakang kepala Nerta terbit. Sinar kedewaan itu merekah menakjubkan. Kendati matanya terkatup rapat. Tapi jiwanya waspada.

Nerta hidup kembali dan itu tetap disertai jatuhnya tetesan air mata kehilangan.

Sosok pemanggil di dalam entitas Siluman Dewa Mistik mengenalnya. Dia bahkan mengerti siapa yang ada di dalam diri Nerta. ”Ohh ... sang Dewa Kesetaraan ... rupanya ... inilah perwujudan yang ketiga belasmu ....“

Di balik dimensi yang tersembunyi, keindahan dan keagungan sang Dewa terpancar benderang. Duduk bersila di atas dipan berlian, begitu proksimal dengan Nerta, namun tidak bersentuhan.

Tak ada kata dari sang Dewa Kesetaraan, hanya tersenyum tenang, romannya begitu damai dan pandangannya sangat teduh.

Pancaran sinar kedewaan di belakang kepala Nerta, menjadikan anugrah sang Dewa Kesetaraan pun terkoneksi.

Sang Dewa Kesetaraan: [Menyortir Dewa Dewi yang hendak ditiru; 

-Zeteus sang Dewa Iklim. 

-Harius sang Dewi Karunia.

-Paseideus sang Dewa Es.

-Areus sang Dewa Nyawa.

-Harmeus sang Dewa Mantra. 

-Hafesteus sang Dewa Suhu.

-Afrodius sang Dewi Ilusi.

-Athius sang Dewi Inteligensi.

-Damatius sang Dewi Aroma.

-Hastius sang Dewi Psikologis.

-Dan lain-lain ....]

Lalu Nerta pun memilih ....

—————————————————————————

✅Demi mendukung /menghargai kinerja Author, cukup dengan hanya memberikan Like/Vote poin/koin.

(Bila ada kritik/kesan enggak perlu sungkan untuk menuliskannya dalam kolom komentar. Terima kasih.)

Terpopuler

Comments

Gyatsa Dzaky

Gyatsa Dzaky

bahasanu tinggi nian

2021-05-13

0

Rima×

Rima×

lanjut

2021-04-26

0

Noejan

Noejan

👍👍👍

2021-04-13

0

lihat semua
Episodes
1 Perkenalan.
2 Prolog.
3 Episode 1: Representasi Ambiguitas. (Part 1.)
4 Episode 2: Representasi Ambiguitas. (Part 2.)
5 Episode 3: Rekonsiliasi Tiga Sahabat. (Part 1.)
6 Episode 4: Rekonsiliasi Tiga Sahabat. (Part 2.)
7 Episode 5: Kontradiktif Despotisme Dan Teokrasi. (Part 1.)
8 Episode 6: Kontradiktif Despotisme Dan Teokrasi. (Part 2.)
9 Episode 7: Seni Masa Bodoh. (Part 1.)
10 Episode 8: Seni Masa Bodoh. (Part 2.)
11 Episode 9: Sesuai Preskriptif Sistem. (Part 1.)
12 Episode 10: Sesuai Preskriptif Sistem. (Part 2.)
13 Episode 11: Diplomasi Dua Kepala. (Part 1.)
14 Episode 12: Diplomasi Dua Kepala. (Part 2.)
15 Episode 13: Prinsip Bersama Egoisme. (Part 1.)
16 Episode 14: Prinsip Bersama Egoisme. (Part 2.)
17 Episode 15: Konfrontasi Dua Personal. (Part 1.)
18 Episode 16: Konfrontasi Dua Personal. (Part 2.)
19 Episode 17: Senyuman Manis Yang Punah. (Part 1.)
20 Episode 18: Senyuman Manis Yang Punah. (Part 2.)
21 Episode 19: Demi Kekuatan Absolut. (Part 1.)
22 Episode 20: Demi Kekuatan Absolut. (Part 2.)
23 Episode 21: Di Malam Yang Putih. (Part 1.)
24 Episode 22: Di Malam Yang Putih. (Part 2.)
25 Episode 23: Mengorbankan Tenaga Pada Waktu. (Part 1.)
26 Episode 24: Mengorbankan Tenaga Pada Waktu. (Part 2.)
27 Episode 25: Titik Di Mana Kematian Adalah Kemenangan. (Part 1.)
28 Episode 26: Titik Di Mana Kematian Adalah Kemenangan. (Part 2.)
29 Episode 27: Bagai pinang dibelah dua. (Part 1.)
30 Episode 28: Bagai Pinang Dibelah Dua. (Part 2.)
31 Episode 29: Berbagi Rasa Sakit. (Part 1.)
32 Episode 30: Berbagi Rasa Sakit. (Part 2.)
33 Episode 31: Tangisan Masa Lampau. (Part 1.)
34 Episode 32: Tangisan Masa Lampau. (Part 2.)
35 Episode 33: Tugas Kematian. (Part 1.)
36 Episode 34: Tugas Kematian. (Part 2.)
37 Episode 35: Motivasi Akhir. (Part 1.)
38 Episode 36: Motivasi Akhir. (Part 2.)
39 Episode 37: Menyinkronkan Bakat Dan Pikiran. (Part 1.)
40 Episode 38: Menyinkronkan Bakat Dan Pikiran. (Part 2.)
41 Episode 39: Menyinkronkan Bakat Dan Pikiran. (Part 3.)
42 Episode 4O: Melepas Keajaiban Mimpi-Mimpi. (Part 1.)
43 Episode 41: Melepas Keajaiban Mimpi-Mimpi. (Part 2.)
44 Episode 42: Mengharap Keajaiban Lengkapi Waktu. (Part 1.)
45 Episode 43: Mengharap Keajaiban Lengkapi Waktu. (Part 2.)
46 Episode 44: Mengharap Keajaiban Lengkapi Waktu. (Part 3.)
47 Episode 45: Merenungi Langkah Kemarin. (Part 1.)
48 Episode 46: Merenungi Langkah Kemarin. (Part 2.)
49 Episode 47: Resolusi Terintegrasi. (Part 1.)
50 Episode 48: Resolusi Terintegrasi. (Part 2.)
51 Episode 49: Merasionalisasi Tindakan Nyata. (Part 1.)
52 Episode 5O: Merasionalisasi Tindakan Nyata. (Part 2.)
53 Episode 51: Memupus Kualitas Mentalitas. (Part 1.)
54 Episode 52: Memupus Kualitas Mentalitas. (Part 2.)
55 Episode 53: Sepele Untuk Ditertawakan. (Part 1.)
56 Episode 54: Sepele Untuk Ditertawakan. (Part 2.)
57 Episode 55: Histeria Realita Kegagalan. (Part 1.)
58 Episode 56: Histeria Realita Kegagalan. (Part 2.)
59 Episode 57: Hengkang Dari Neraka. (Part 1.)
60 Episode 58: Hengkang Dari Neraka. (Part 2. Tamat Jilid Satu.)
61 Episode 59 (Prolog Jilid Dua): Tidak Seperti Kemarin. (Part 1.)
62 Episode 6O: Tidak Seperti Kemarin. (Part 2.)
63 Episode 61: Provokasi Konflik. (Part 1.)
64 Episode 62: Provokasi Konflik. (Part 2.)
65 Episode 63: Bangkit Dari Mati Suri. (Part 1.)
66 Episode 64: Bangkit Dari Mati Suri. (Part 2.)
67 Episode 65: Sesuai Preskriptif Sistem. (Part 3.)
68 Episode 66: Sesuai Preskriptif Sistem. (Part 4.)
69 Episode 67: Senandung Kematian. (Part 1.)
70 Episode 68: Senandung Kematian. (Part 2.)
71 Episode 69: Senandung Kematian. (Part 3.)
72 Episode 70: Senandung Kematian. (Part 4.)
73 Episode 71: Senandung Kematian. (Part 5.)
74 Episode 72: Senandung Kematian. (Part 6.)
75 Episode 73: Demi Arti Pertemuan. (Part 1.)
76 Episode 74: Demi Arti Pertemuan. (Part 2.)
77 Episode 75: Kasus Subversif. (Part 1.)
78 Episode 76: Kasus Subversif. (Part 2.)
79 Episode 77: Kasus Subversif. (Part 3.)
80 Episode 78: Kasus Subversif. (Part 4.)
81 Episode 79: Kasus Subversif. (Part 5.)
82 Episode 8O: Kasus Subversif. (Part 6)
83 Episode 81: Persembahan Kematian Untuk-Nya. (Part 1.)
84 Episode 82: Hari Tanpa Libur.
85 Episode 83: Persetan Dengan Moral. (Part1.)
86 Episode 84: Persetan Dengan Moral. (Part 2.)
87 Episode 85: Persetan Dengan Moral. (Part 3.)
88 Episode 86: Persetan Dengan Moral. (Part 4.)
89 Episode 87: Persetan Dengan Moral. (Part 5.)
90 Episode 88: Persetan Dengan Moral. (Part 6.)
91 Episode 89: Persetan Dengan Moral. (Part 7.)
92 Episode 9O: Persetan Dengan Moral. (Part 8.)
93 Episode 91: Persetan Dengan Moral. (Part 9.)
94 Episode 92: Persetan Dengan Moral. (Part 1O.)
95 Episode 93: Persetan Dengan Amal.
96 Episode 94: Para Keparat Yang Baik Hati.
97 Episode 95: Jujur Demi Kebohongan Kedua.
98 Episode 96: Demi Satu Keparat Bermahkota.
99 Episode 97: Dari Sang Bedebah, Demi Sang Bedebah.
100 Episode 98: Pengabdian Otoriter. (TAMAT Jilid Dua.)
101 Episode 99: Mengumandangkan Lagu Perang. (Prolog Jilid 3.)
102 Episode 1OO: Keluguan Melukai Teman.
103 Episode 101: Terlampau Bersikukuh.
104 Episode 1O2: Daftar Hitam.
105 Episode 1O3: Kedunguan Yang Cemerlang.
106 Episode 1O4: Demi Akhir Bahagia Sang Keparat.
107 Episode 1O5: Sebening Kehampaan Do'a.
108 Episode 1O6: Penantian Mengikatkan Diri Pada Kesengsaraan.
109 Episode 1O7: Angan-Angan Hati.
110 Episode 1O8: Tujuan Hati Memberatkan Akal Sehat.
111 Episode 1O9: Semoga Terkabul Do'a-Do'a Yang Ada.
112 Episode 11O: Sudahlah ....
113 Episode 111: Pil Pahit Kenyataan.
114 Episode 112: Meregas Kebencian Terdalam.
115 Episode 113: 'Dewa Kesetanan'.
116 Episode 114: Yang Penting Menang.
117 Episode 115: Kebungkaman Mengundang Pertanyaan.
118 Episode 116: Kebenaran Mengeksekusi Nyawa.
119 Episode 117: Momentum Terkendali.
120 Episode 118: Demi Mengendalikan Kenyataan.
121 Episode 119: Kerinduan Dewi Anggrek.
122 Episode 12O: Kembalinya Dewa Setara.
123 Episode 121: 'Semburat Di Tengah Jalan'.
124 Episode 122: Mengawali Akhir.
125 Episode 123: Korban Kenyataan.
126 Episode 124: Selektif Dalam Otoritas.
127 Episode 125: Sumbangsih Kepedulian.
128 Episode 126: Dramatis Dalam Ujian.
129 Episode 127: Sebatas Melindungi Nama.
130 Episode 128: Adanya Anomali Bahaya.
131 Episode 129: Kaget.
132 Episode 130: Mendengar Suara Kenyataan.
133 Episode 131: Menunggu Matahari Mereda.
134 Episode 132: Untuk Harapan Di Hati.
135 Episode 133: Demi Perdamaian Abadi.
136 Episode 134: Mempertaruhkan Moralitas.
137 Episode 135: Mengamankan Sedikit Semangat.
138 Episode 136: Tetes Air Mata Kenyataan.
139 Episode 137: Kenyataan Memacu Harapan.
140 Episode 138: Situasi Parah.
141 Episode 139: Tiga Target Pikiran.
142 Episode 140: Kebencian Ini Tak Akan Berhenti.
143 Episode 141: Dan Do'a Mengobati Luka.
144 Episode 142: Lalu Kerinduan Terlupakan.
145 Episode 143: Melampiaskan Kebencian Terdalam. (TAMAT JILID 3.)
146 Episode 144: Dan Nasionalisme Merupakan Perdebatan. (Prolog Jilid 4.)
147 Episode 145: Kebaikan Terabaikan.
148 Episode 146: Kekasih Yang Menambatkan Luka.
149 Episode 147: Rekonsiliasi Dua Dewa. (Part 1.)
150 Episode 148: Rekonsiliasi Dua Dewa. (Part 2.)
151 Episode 149: Hasrat Tersalurkan.
152 Episode 150: Mendesak Kemauan.
153 Episode 151: Menyambut Hari Yang Cerah.
154 Episode 152: Perang Dunia Adalah Bisnis.
155 Episode 153: Mendiskreditkan Lewat Pikiran.
156 Episode 154: Stabilitas Strategi.
157 Episode 155: Ini Muslihat Untuk Kemenangan.
158 Episode 156: Beban Kebingungan.
159 Episode 157: Rasa Mengutamakan.
160 Episode 158: Patriotisme Merupakan Bisnis.
161 Episode 159: Melawan Ketakutan.
162 Episode 160: Hiburan Basi Politik.
163 Episode 161: Memalukan Dan Menyedihkan.
164 Episode 162: Pengganggu Malu-Malu.
165 Episode 163: Kenyataan Menjawab.
166 Episode 164: Fakta Dan Kenyataan.
167 Episode 165: Kenyataan Dalam Perjuangan.
168 Episode 166: Perangainya Merenggut Hati.
169 Episode 167: Dalam Waktu Samar-Samar.
170 Episode 168: Kemarahan Terlupakan.
171 Episode 169: Kebencian Terkendali.
172 Episode 170: Pertarungan Terakhir.
173 Episode 171: Melampiaskan Kebanggaan Diri.
174 Episode 172: Tuntutan Profesi.
175 Episode 173: Kepatuhan Memburu Bantuan.
176 Episode 174: Firasat Jadi Beban.
177 Episode 175: Insting Sang 'Pendekar'.
178 Episode 176: Pemicu Detak Jantung.
179 Episode 177: Jumpa Pertama.
180 Episode 178: Penting Enggak Penting.
181 Episode 179: Klasifikasi Perspektif.
182 Episode 180: Provokasi Dunia.
183 Episode 181: Kedamaian Merupakan Masalah.
184 Episode 182: Penghancuran Serentak.
185 Episode 183: Eksekusi Massal. (Tamat jilid 4.)
Episodes

Updated 185 Episodes

1
Perkenalan.
2
Prolog.
3
Episode 1: Representasi Ambiguitas. (Part 1.)
4
Episode 2: Representasi Ambiguitas. (Part 2.)
5
Episode 3: Rekonsiliasi Tiga Sahabat. (Part 1.)
6
Episode 4: Rekonsiliasi Tiga Sahabat. (Part 2.)
7
Episode 5: Kontradiktif Despotisme Dan Teokrasi. (Part 1.)
8
Episode 6: Kontradiktif Despotisme Dan Teokrasi. (Part 2.)
9
Episode 7: Seni Masa Bodoh. (Part 1.)
10
Episode 8: Seni Masa Bodoh. (Part 2.)
11
Episode 9: Sesuai Preskriptif Sistem. (Part 1.)
12
Episode 10: Sesuai Preskriptif Sistem. (Part 2.)
13
Episode 11: Diplomasi Dua Kepala. (Part 1.)
14
Episode 12: Diplomasi Dua Kepala. (Part 2.)
15
Episode 13: Prinsip Bersama Egoisme. (Part 1.)
16
Episode 14: Prinsip Bersama Egoisme. (Part 2.)
17
Episode 15: Konfrontasi Dua Personal. (Part 1.)
18
Episode 16: Konfrontasi Dua Personal. (Part 2.)
19
Episode 17: Senyuman Manis Yang Punah. (Part 1.)
20
Episode 18: Senyuman Manis Yang Punah. (Part 2.)
21
Episode 19: Demi Kekuatan Absolut. (Part 1.)
22
Episode 20: Demi Kekuatan Absolut. (Part 2.)
23
Episode 21: Di Malam Yang Putih. (Part 1.)
24
Episode 22: Di Malam Yang Putih. (Part 2.)
25
Episode 23: Mengorbankan Tenaga Pada Waktu. (Part 1.)
26
Episode 24: Mengorbankan Tenaga Pada Waktu. (Part 2.)
27
Episode 25: Titik Di Mana Kematian Adalah Kemenangan. (Part 1.)
28
Episode 26: Titik Di Mana Kematian Adalah Kemenangan. (Part 2.)
29
Episode 27: Bagai pinang dibelah dua. (Part 1.)
30
Episode 28: Bagai Pinang Dibelah Dua. (Part 2.)
31
Episode 29: Berbagi Rasa Sakit. (Part 1.)
32
Episode 30: Berbagi Rasa Sakit. (Part 2.)
33
Episode 31: Tangisan Masa Lampau. (Part 1.)
34
Episode 32: Tangisan Masa Lampau. (Part 2.)
35
Episode 33: Tugas Kematian. (Part 1.)
36
Episode 34: Tugas Kematian. (Part 2.)
37
Episode 35: Motivasi Akhir. (Part 1.)
38
Episode 36: Motivasi Akhir. (Part 2.)
39
Episode 37: Menyinkronkan Bakat Dan Pikiran. (Part 1.)
40
Episode 38: Menyinkronkan Bakat Dan Pikiran. (Part 2.)
41
Episode 39: Menyinkronkan Bakat Dan Pikiran. (Part 3.)
42
Episode 4O: Melepas Keajaiban Mimpi-Mimpi. (Part 1.)
43
Episode 41: Melepas Keajaiban Mimpi-Mimpi. (Part 2.)
44
Episode 42: Mengharap Keajaiban Lengkapi Waktu. (Part 1.)
45
Episode 43: Mengharap Keajaiban Lengkapi Waktu. (Part 2.)
46
Episode 44: Mengharap Keajaiban Lengkapi Waktu. (Part 3.)
47
Episode 45: Merenungi Langkah Kemarin. (Part 1.)
48
Episode 46: Merenungi Langkah Kemarin. (Part 2.)
49
Episode 47: Resolusi Terintegrasi. (Part 1.)
50
Episode 48: Resolusi Terintegrasi. (Part 2.)
51
Episode 49: Merasionalisasi Tindakan Nyata. (Part 1.)
52
Episode 5O: Merasionalisasi Tindakan Nyata. (Part 2.)
53
Episode 51: Memupus Kualitas Mentalitas. (Part 1.)
54
Episode 52: Memupus Kualitas Mentalitas. (Part 2.)
55
Episode 53: Sepele Untuk Ditertawakan. (Part 1.)
56
Episode 54: Sepele Untuk Ditertawakan. (Part 2.)
57
Episode 55: Histeria Realita Kegagalan. (Part 1.)
58
Episode 56: Histeria Realita Kegagalan. (Part 2.)
59
Episode 57: Hengkang Dari Neraka. (Part 1.)
60
Episode 58: Hengkang Dari Neraka. (Part 2. Tamat Jilid Satu.)
61
Episode 59 (Prolog Jilid Dua): Tidak Seperti Kemarin. (Part 1.)
62
Episode 6O: Tidak Seperti Kemarin. (Part 2.)
63
Episode 61: Provokasi Konflik. (Part 1.)
64
Episode 62: Provokasi Konflik. (Part 2.)
65
Episode 63: Bangkit Dari Mati Suri. (Part 1.)
66
Episode 64: Bangkit Dari Mati Suri. (Part 2.)
67
Episode 65: Sesuai Preskriptif Sistem. (Part 3.)
68
Episode 66: Sesuai Preskriptif Sistem. (Part 4.)
69
Episode 67: Senandung Kematian. (Part 1.)
70
Episode 68: Senandung Kematian. (Part 2.)
71
Episode 69: Senandung Kematian. (Part 3.)
72
Episode 70: Senandung Kematian. (Part 4.)
73
Episode 71: Senandung Kematian. (Part 5.)
74
Episode 72: Senandung Kematian. (Part 6.)
75
Episode 73: Demi Arti Pertemuan. (Part 1.)
76
Episode 74: Demi Arti Pertemuan. (Part 2.)
77
Episode 75: Kasus Subversif. (Part 1.)
78
Episode 76: Kasus Subversif. (Part 2.)
79
Episode 77: Kasus Subversif. (Part 3.)
80
Episode 78: Kasus Subversif. (Part 4.)
81
Episode 79: Kasus Subversif. (Part 5.)
82
Episode 8O: Kasus Subversif. (Part 6)
83
Episode 81: Persembahan Kematian Untuk-Nya. (Part 1.)
84
Episode 82: Hari Tanpa Libur.
85
Episode 83: Persetan Dengan Moral. (Part1.)
86
Episode 84: Persetan Dengan Moral. (Part 2.)
87
Episode 85: Persetan Dengan Moral. (Part 3.)
88
Episode 86: Persetan Dengan Moral. (Part 4.)
89
Episode 87: Persetan Dengan Moral. (Part 5.)
90
Episode 88: Persetan Dengan Moral. (Part 6.)
91
Episode 89: Persetan Dengan Moral. (Part 7.)
92
Episode 9O: Persetan Dengan Moral. (Part 8.)
93
Episode 91: Persetan Dengan Moral. (Part 9.)
94
Episode 92: Persetan Dengan Moral. (Part 1O.)
95
Episode 93: Persetan Dengan Amal.
96
Episode 94: Para Keparat Yang Baik Hati.
97
Episode 95: Jujur Demi Kebohongan Kedua.
98
Episode 96: Demi Satu Keparat Bermahkota.
99
Episode 97: Dari Sang Bedebah, Demi Sang Bedebah.
100
Episode 98: Pengabdian Otoriter. (TAMAT Jilid Dua.)
101
Episode 99: Mengumandangkan Lagu Perang. (Prolog Jilid 3.)
102
Episode 1OO: Keluguan Melukai Teman.
103
Episode 101: Terlampau Bersikukuh.
104
Episode 1O2: Daftar Hitam.
105
Episode 1O3: Kedunguan Yang Cemerlang.
106
Episode 1O4: Demi Akhir Bahagia Sang Keparat.
107
Episode 1O5: Sebening Kehampaan Do'a.
108
Episode 1O6: Penantian Mengikatkan Diri Pada Kesengsaraan.
109
Episode 1O7: Angan-Angan Hati.
110
Episode 1O8: Tujuan Hati Memberatkan Akal Sehat.
111
Episode 1O9: Semoga Terkabul Do'a-Do'a Yang Ada.
112
Episode 11O: Sudahlah ....
113
Episode 111: Pil Pahit Kenyataan.
114
Episode 112: Meregas Kebencian Terdalam.
115
Episode 113: 'Dewa Kesetanan'.
116
Episode 114: Yang Penting Menang.
117
Episode 115: Kebungkaman Mengundang Pertanyaan.
118
Episode 116: Kebenaran Mengeksekusi Nyawa.
119
Episode 117: Momentum Terkendali.
120
Episode 118: Demi Mengendalikan Kenyataan.
121
Episode 119: Kerinduan Dewi Anggrek.
122
Episode 12O: Kembalinya Dewa Setara.
123
Episode 121: 'Semburat Di Tengah Jalan'.
124
Episode 122: Mengawali Akhir.
125
Episode 123: Korban Kenyataan.
126
Episode 124: Selektif Dalam Otoritas.
127
Episode 125: Sumbangsih Kepedulian.
128
Episode 126: Dramatis Dalam Ujian.
129
Episode 127: Sebatas Melindungi Nama.
130
Episode 128: Adanya Anomali Bahaya.
131
Episode 129: Kaget.
132
Episode 130: Mendengar Suara Kenyataan.
133
Episode 131: Menunggu Matahari Mereda.
134
Episode 132: Untuk Harapan Di Hati.
135
Episode 133: Demi Perdamaian Abadi.
136
Episode 134: Mempertaruhkan Moralitas.
137
Episode 135: Mengamankan Sedikit Semangat.
138
Episode 136: Tetes Air Mata Kenyataan.
139
Episode 137: Kenyataan Memacu Harapan.
140
Episode 138: Situasi Parah.
141
Episode 139: Tiga Target Pikiran.
142
Episode 140: Kebencian Ini Tak Akan Berhenti.
143
Episode 141: Dan Do'a Mengobati Luka.
144
Episode 142: Lalu Kerinduan Terlupakan.
145
Episode 143: Melampiaskan Kebencian Terdalam. (TAMAT JILID 3.)
146
Episode 144: Dan Nasionalisme Merupakan Perdebatan. (Prolog Jilid 4.)
147
Episode 145: Kebaikan Terabaikan.
148
Episode 146: Kekasih Yang Menambatkan Luka.
149
Episode 147: Rekonsiliasi Dua Dewa. (Part 1.)
150
Episode 148: Rekonsiliasi Dua Dewa. (Part 2.)
151
Episode 149: Hasrat Tersalurkan.
152
Episode 150: Mendesak Kemauan.
153
Episode 151: Menyambut Hari Yang Cerah.
154
Episode 152: Perang Dunia Adalah Bisnis.
155
Episode 153: Mendiskreditkan Lewat Pikiran.
156
Episode 154: Stabilitas Strategi.
157
Episode 155: Ini Muslihat Untuk Kemenangan.
158
Episode 156: Beban Kebingungan.
159
Episode 157: Rasa Mengutamakan.
160
Episode 158: Patriotisme Merupakan Bisnis.
161
Episode 159: Melawan Ketakutan.
162
Episode 160: Hiburan Basi Politik.
163
Episode 161: Memalukan Dan Menyedihkan.
164
Episode 162: Pengganggu Malu-Malu.
165
Episode 163: Kenyataan Menjawab.
166
Episode 164: Fakta Dan Kenyataan.
167
Episode 165: Kenyataan Dalam Perjuangan.
168
Episode 166: Perangainya Merenggut Hati.
169
Episode 167: Dalam Waktu Samar-Samar.
170
Episode 168: Kemarahan Terlupakan.
171
Episode 169: Kebencian Terkendali.
172
Episode 170: Pertarungan Terakhir.
173
Episode 171: Melampiaskan Kebanggaan Diri.
174
Episode 172: Tuntutan Profesi.
175
Episode 173: Kepatuhan Memburu Bantuan.
176
Episode 174: Firasat Jadi Beban.
177
Episode 175: Insting Sang 'Pendekar'.
178
Episode 176: Pemicu Detak Jantung.
179
Episode 177: Jumpa Pertama.
180
Episode 178: Penting Enggak Penting.
181
Episode 179: Klasifikasi Perspektif.
182
Episode 180: Provokasi Dunia.
183
Episode 181: Kedamaian Merupakan Masalah.
184
Episode 182: Penghancuran Serentak.
185
Episode 183: Eksekusi Massal. (Tamat jilid 4.)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!