Jody tampak menghela nafas kasar, dia merasa tidak nyaman dengan sikap Alice.
"Kalau tidak ada apa-apa sebaiknya kamu pergi dulu, aku masih banyak kerjaan yang harus aku selesaikan," ucap Jody seraya berdiri.
Jovanka yang mendengar perkataan Jody terlihat menahan tawa dalam hatinya berkata, "mam'pus kau! Sok centil."
"Sebenarnya aku mau meminta tolong padamu," ucap Alice tiba-tiba.
Jody menatap Alice, begitu pula dengan Jovanka merasa penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh wanita itu.
"Apa?" tanya Jody datar.
"Seminggu lagi aku akan menghadiri acara launching produk terbaru milik temanku, aku belum punya pasangan,jadi aku harap kau mau menemaniku," pinta Alice.
Jody tampak mengangkat kedua alisnya, begitu pula dengan Jovanka yang mengerutkan dahinya karena meras jikalau wanita itu pasti hanya mencari alasan agar bisa pergi dengan pamannya.
"Maaf sekali sepertinya aku harus mengecewakanmu, aku ada janji jalan-jalan dengan Jovanka," ucap Jody berbohong.
Jovanka hanya menahan tawa, karena ia tahu betul jika pamannya tidak pernah mengatakan jika ingin mengajaknya pergi dan tahu jika itu hanyalah alasan untuk menolak wanita itu.
Alice pun berdiri, dia sedikit melirik ke arah Jovanka yang masih terlihat sibuk dengan layar laptopnya. Alice kemudian tampak mendekat ke arah Jody, tanganny ingin meraba ke arah dada bidang Jody namun tampak di tampik oleh pria itu.
"Jangan macam-macam," ucap Jody.
Alice mengepalkan tangannya karena di tolak Jody.
"Kalau berubah pikiran hubungi aku ya," kata Alice.
Ia kemudian pergi meninggalkan ruangan Jody dengan sedikit rasa kesal.
Jovanka yang melihat Alice pergi dengan rasa kesal langsung ter
rtawa terbahak-bahak, ia kemudian menyangga kepalanya dengan satu tangannya dan menatap ke arah Jody.
"Paman!" panggil Jovanka.
"Ya!" sahut Jody.
"Kenapa Paman tidak mau menemaninya?" tanya Jovanka.
"Memangnya kamu ngizinin?" tanya Jody balik.
Jovanka menggelengkan kepalanya. Jody sudah tahu jawaban itu sebelum bertanya, karena itu Jody menolak.
"Kan sudah kuduga, makanya aku menolak," kata Jody yang sudah berada di depan meja Jovanka, kedua telapak tangannya bertumpu pada meja.
Jovanka hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti, dia juga ingat jika pamannya itu sudah berjanji padanya kalau dia tidak akan bersama gadis manapun tanpa seizin darinya.
***
Disisi lain di kota S, Aiden tampak sedang menyusuri layar laptopnya, melihat beberapa surel yang masuk ke akunnya, terlihat sedikit senyum di bibirnya ketika ia melihat sebuah balasan pesan dari sebuah perusahaan ternama.
Aiden memutar kursi belajarnya, ia kemudian menatap bingkai foto antara dia dan Jovanka, foto yang mereka ambil saat SMA, dimana Jovanka yang merangkulnya dengan sedikit ejekan. Lagi-lagi pemuda itu hanya tersenyum tanpa bersuara.
Keesokan harinya, Aiden sudah duduk di meja makan bersama Juan dan Livia serta adik perempuannya yang berumur 14 tahun.
Aiden memakan roti isi yang di buat oleh Livia.
"Sayang, apa kamu sudah memutuskan mau bekerja dimana?" tanya Livia pada Aiden.
"Iya," jawab pemuda itu yang tampak masih mengunyah sarapannya.
"Baguslah, apa kamu akan mengelola bisnis Papa mu?" tanya Livia lagi.
Juan yang sedang menikmati sarapannya tampak berhenti kemudian menatap ke arah putranya itu bersiap mendengarkan jawaban dari Aiden.
"Semalam aku mendapatkan balasan dari sebuah perusahaan ternama, disana tertulis jika aku mendapatkan tawaran kerja sebagai Wakil presiden Direktur karena nilai IP ku serta rekomendasi dari kampus," jawab Aiden.
Livia dan Juan yang mendengar jawaban putranya itu pun sedikit tercengang, mereka pikir Aiden akan menjalankan salah satu bisnis mereka, namun siapa sangka jika Aiden malah memilih untuk bekerja di perusahaan orang lain.
"Kamu yakin dengan keputusanmu, Sayang?" tanya Livia memastikan.
Aiden yang mulutnya penuh dengan sarapannya pun hanya menganggukkan kepalanya.
Susan adik Aiden yang sedari tadi hanya mendengarkan percakapan para orang tua itupun angkat bicara setelah ia menyelesaikan sarapannya.
"Bagaimana tidak dia memilih bekerja di perusahaan orang jika di kota itu ada gadis yang ia taksir," celetuk Susan.
Juan yang sedang menyesap kopinya pun hampir tersedak mendengar perkataan putrinya itu, ia tidak tahu gadis mana yang di maksud oleh putrinya.
"Jangan ngomong macem-macem!" protes Aiden seraya melempar serbet ke arah Susan.
"Gadis mana, sayang? Mama kok ga tahu?" tanya Livia yang juga penasaran.
"Susan! Diam nggak! Kamu ngehack akunku lagi!" tuduh Aiden pada adiknya.
Sejak kecil Susan memang sudah lihai meretas sistem komputer, namun ia tidak pernah memperlihatkan keahliannya itu pada siapapun kecuali Aiden.
"Hu um! Kan asyik bisa liat apa yang kamu lakukan!" goda Susan.
Livia dan Juan tampak tertawa melihat Susan yang suka sekali mengerjai kakaknya, Livia pun semakin penasaran dengan gadis yang di maksud oleh Susan.
"Siapa gadis itu? Apa Mama mengenalnya?" tanya Livia yang benar-benar penasaran dengan gadis yang disukai putranya.
Susan memejamkan matanya lalu jari telunjuknya ia angkat dan Susan bersiap menyebutkan satu nama, "siapa lagi, tentu saja itu
...."
Belum selesai bicara, Aiden yang duduk berhadapan dengan Susan langsung berlari dan membekap mulut Susan, hingga nama yang di sebutkan Susan cuman terdengar, "o ... a ... a."
Juan dan Livia hanya mengernyitkan dahi mereka melihat tingkah kedua anaknya itu.
Dengan senyum canggung dan posisi masih membekap mulut adiknya, Aiden membawa Susan keluar dari ruang tamu. Livia yang benar-benar penasaran pun membuntuti kedua anaknya itu pergi.
"Hi ... ih! Apa sih?" tanya Susan kesal karena mulutnya yang di bekap.
"Jangan ember!" protes Aiden.
Malam itu ternyata Susan meretas email milik kakaknya, ia melihat apa yang kakaknya itu lihat. Susan hampir setiap hari meretas email kakaknya hingga ia tahu jika seluruh isi file dan foto yang disimpan Aiden sebagian besar berisi foto-foto Jovanka.
"Uang tutup mulut!" tawar Susan kepada Aiden agar dia tidak memberitahukan masalah Jovanka pada kedua orang tuanya.
"Matre amat sih!" keluh Aiden.
"Mau ga? Nggak mau ya serah aku mau omong apa nggak sama Mama dan Papa," ancam Susan.
"Oke! Kamu tu meras kakak Mulu uangnya buat apa?" tanya Aiden.
"Ya aku mau beli alat-alat yang aku butuhin buat jadi peretas terhebat, hahahaha," perkataan Susan di akhiri dengan gelak tawa.
"Dasar! Nanti aku transfer, asal janji kamu diam," janji Aiden.
Susan tampak menempelkan jari telunjuk dan jempolnya, melakukan gerakan seakan mengunci bibirnya tanda dia setuju.
"Awas kalau ngomong!" Aiden memperingatkan.
"Janji," sumpah Susan.
Baru ingin masuk lagi kedalam Aiden mendapati mamanya berdiri di dekat pintu tengah mendengarkan perbincangan kedua anaknya.
"Mama ngapain?" tanya Aiden ketika melihat sang mama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Ih pantesan Aiden bilang ke Malik kalo Susan itu tukang malak 🤣🤣🤣😜😜
2023-08-07
0
Just Rara
wah aiden ternyata suka sm jovanka😁
2022-04-03
0
💕febhy ajah💕
nga sah mampir kesini, ceritanya bgus.
2021-07-23
0