Sejak pagi Nadia sudah berada di puskesmas. Menemani dan merawat bapaknya. Kondisi Rahmat semakin buruk. Memerlukan penanganan yang lebih. Puskesmas ini tidak mempunyai peralatan canggih. Jadi, Rahmat harus dipindah ke rumah sakit yang lebih besar untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik.
"Jadi bagaimana bu Nadia?" tanya Nathan. Dia adalah dokter yang merawat Rahmat selama dua hari ini. Nadia mendesah.
Masalah biaya bukan lagi menjadi kendala sekarang. Sekarang dia sendirilah yang menjadi kendalanya. Jika bapaknya dirawat di rumah sakit, tentunya dia tidak akan bisa menemani bapaknya. Jika dia ingin menjengukpun tidak dapat sering dia lakukan mengingat usia kehamilannya masih sangat rentan untuk melakukan perjalanan jauh yang akan membuatnya kelelahan.
"Boleh saya meminta bantuan dokter?" Nadia memandang dokter muda di depannya. Nadia baru menyadari jika dokter yang beberapa kali dia temui ternyata mempunyai wajah yang tampan. Bukan hanya tampan! Tapi sangat tampan.
"Apa yang bisa saya bantu bu Nadia?" Nadia menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. Menandakan jika dia berat melakukannya.
"Tolong bantu saya untuk merawat bapak saya." Nathan menaikkan alisnya. Menatap heran wanita di depannya itu. Wanita itu telihat tidak berdaya.
"Jika bapak saya harus di pindah di rumah sakit kota. Saya pasti tidak bisa menemani bapak saya." Nadia mendesah. Dia sebenarnya malu untuk meminta tolong pada orang yang baru beberapa kali dia temui. Tapi dia harus melakukannya.
"Ada beberapa hal yang tidak bisa saya jelaskan yang membuat saya tidak bisa menemani bapak saya, dokter. Jadi, saya minta tolong untuk membantu saya mengawasi perkembangan bapak selama di sana. Narto hanyalah seorang pemuda kampung biasa. Dia memang perhatian dengan bapak saya. Tapi, dia mungkin akan lambat dalam mengambil keputusan. Apakah dokter bisa?"
Nathan mencerna permintaan Nadia untuknya. Rahmat harus dibawa ke rumah sakit di kota. Tapi anaknya sendiri tidak bisa menjaganya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Di puskesmas ini dia juga memiliki tanggung jawab.
"Baiklah bu Nadia. Saya akan berusaha semampu saya." putus Nathan. Dia bisa bolak-balik jika diperlukan. Lagi pula rumah sakit kota tidaklah terlalu jauh dari sini hanya satu jam perjalanan.
Siang harinya, Rahmat dipindah ke rumah sakit kota. Nathan berada di ambulan untuk menemani Rahmat dan Narto. Sedangkan Nadia dan Joni mengikuti ambulan dari belakang.
Rahmat langsung mendapatkan perawatan dan berakhir di kamar ICU. Ada pembengkakan di jantungnya. Nadia bisa menghembuskan nafas pelan setelah mendengar bahwa kondisi Rahmat cukup stabil walaupun masih belum bisa dijenguk.
Saat ini Narto, Nadia dan Joni sedang duduk di kursi tunggu di depan ruang ICU. Sedangkan Nathan sedang pergi untuk menemui dokter yang menangani Rahmat.
"Jon."
"Iya Nad."
"Tolong tanyakan yang lain apakah bapak pulang malam ini. Kemarin bapak tidak jadi ke kota. Biasanya jika rabu tidak ke kota, berarti hari ini saatnya ke kota kan?"
"Baiklah Nad." Joni segera pergi untuk melakukan tugas yang diminta Nadia.
"Kalian makanlah dulu." Nathan datang dan memberikan nasi kotak pada Nadia dan Narto.
"Saya tidak lapar dokter." Nadia menggeleng ketika melihat Nathan menyodorkan nasi kotak padanya.
"Tolong makanlah bu Nadia. Anda juga harus menjaga kesehatan." Nadia kembali menggeleng. Dia benar-benar merasa tidak merasakan lapar sekarang. pikirannya hanya tertuju pada bapaknya yang sedang bertaruh nyawa di dalam kamar di depannya.
"Bagaimana Jon?" tanya Nadia setelah melihat Joni mendekat ke arahnya.
"Malam ini kita bisa tinggal disini Nad."
"Huft." Nadia lega. Itu artinya dia bisa menunggui bapaknya sekarang.
"Makanlah dulu Joni." Nathan menyerahkan nasi kotak pada Joni. Joni menerimanya. Joni melihat nasi kotak yang tersisa dua di plastik di tangan Nathan. Nathan mengerti yang dipikirkan Joni.
"Bu Nadia belum makan." ucapnya. Joni mendesah.
"Kamu harus makan dulu Nad." menyodorkan nasi kotaknya pada Nadia.
"Tidak Jon."
"Kamu tetap harus makan. Perhatikan juga dia." Nadia melirik Joni sebelum menerima nasi kotak itu. Joni tersenyum melihat Nadia makan.
Joni benar. Walaupun Nadia merasa tidak berselera untuk makan, dia tetap harus makan. Dia tidak sendiri sekarang. Dia harus memperhatikan nyawa lain yang hidup dalam dirinya. Dia tidak boleh egois.
"Bu Nadia kelihatan pucat. Sebaiknya anda pulang dan istirahat." ucap Nathan setelah memperhatikan wajah Nadia yang terlihat pucat.
"Tidak apa-apa dokter. Malam ini saya bisa menemani bapak saya. Jadi dokter bisa pulang."
"Tidak bu Nadia. Saya masih dibutuhkan disini. Dokter yang menangani pak Rahmat kebetulan adalah teman saya."
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih." Nadia tersenyum tulus.
"Sama-sama"
"Oh Ya Jon. Kamu sudah memberitahu Nita jika kita menginap disini?"
"Sudah Nad."
"Maafkan aku Jon. Aku selalu membuat repot Kalian berdua."
"Kamu bicara Apa? Kami adalah sahabatmu bila kau lupa itu nyonya muda." Joni tersenyum miring. Nadia terkekeh. Sahabatnya itu suka sekali menggodanya. Dia pandai membuatnya tersenyum.
"Apa semenyenangkan itu menggoda nyonya mudamu ini hah?" Nadia meletskkan nasi kotaknya sebelum mengangkat kedua tangannya di pinggang.
"Ampun Nyonya Muda!" Joni menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian kedua orang itu tertawa bersama. Menyebabkan kedua orang lain selain mereka berdua tersenyum. Melihat betapa akrabnya kedua orang berstatus majikan dan anak buah itu.
"Tersenyumlah seperti ini terus Nad. Itu baik untukmu." ucap Joni tulus.
"Jika aku terus saja tersenyum bukankah tidak lama lagi akan ada yang membawaku ke rumah sakit jiwa Jon?"
"Maksudku bukanlah tersenyum terus Nad. Maksudku kamu harus selalu bahagia."
"Bahagia itu menurut keadaan hati Jon. Tidak bisa dipaksa. Jika hati kita menangis, seperti apapun senyuman yang dihasilkan akan terlihat hambar, bukan?"
"Berdamailah dengan nasibmu Nad."
"Tanpa kau suruh pun aku sudah lama melakukannya Jon. Kau pikir karena apa aku dapat bertahan selama ini hah?"
"Baiklah-baiklah nyonya muda. Kamu memang selalu benar."
"Itu benar."
"Aku pergi ke depan dulu Nad. Aku akan membelikan keperluan kita untuk malam ini."
"Pergilah. Aku tidak membutuhkan anak buah tukang mengejek sepertimu." cibir Nadia. Dia mengangsurkan kartu ATM pada Joni.
"Aku akan menghabiskan uangmu."
"Silahkan saja jika kau mampu." uang dalam ATM Nadia bahkan berisi lebih dari lima ratus juta, untuk warga desa sekelas Joni, dia tidak akan bisa membanyangkan apa saja yang akan ia beli untuk menghabiskan uang sebanyak itu.
"Hahahaha. Dokter, saya titip nyonya muda saya yang tukang ngambek ini ya." Joni mengerling nakal pada Nadia.
"Hey Jon. Dasar tidak sopan! Kamu semakin kurang ajar ya sekarang." Nadia mengacungkan paha ayam yang menajdi lauk pilihan dokter Nathan untuk mereka malam ini. Ayam bakar.
"Ampun nyonya muda!" ucapnya sambil berlari karena melihat Nadia sudah mengambil sebelah sendalnya dan siap terlempar ke arahnya.
Tawa Joni terdengar setelah berada jauh dari mereka. Nadia tersenyum samar.
"Maafkan Joni dokter. Dia memang suka bercanda." Nadia merasa tidak enak akan ucapan Joni yang dengan seenaknya menitipkan dirinya pada dokter Nathan.
"Kalian ternyata sangat dekat."
"Ya. Kami adalah sahabat sepermainan di waktu kecil. Walaupun umur kami berbeda jauh. Apalagi istri Joni adalah teman saya."
"Persahabatan kalian sangat hangat."
"Ya. Untuk saat ini mereka berdualah orang yang bisa saya sebut sahabat saya, dok." terlihat ujung bibir Nadia terangkat menjelaskan seberapa berharganya Joni dan Nita untuknya.
Memang benar. Joni dan Nita lah sahabat Nadia. Terlebih Joni. Dia selalu menemani Nadia melewati hari-hari yang tidak mudah selama ini. Setelah pernikahan itu, juragan Bondan menugaskan Joni untuk mengawalnya.
Walaupun pada saat kecil mereka tidaklah sedekat itu, tapi setelah mengenal Nadia lebih dekat, Joni sedikit banyak mengerti apa yang dirasakan oleh wanita muda yang menjadi majikannya itu.
Joni selalu dapat diandalkan untuk mengatasi masalahnya. Membantunya agar terhindar dari hukuman yang mungkin akan diberikan suaminya jika Nadia sedikit lupa waktu. Joni sangat dapat diandalkan untuk menjadi alarm hidup untuk Nadia. Joni sudah seperti seorang kakak laki-laki untuk Nadia.
"Maukah bu Nadia menerima saya sebagai sahabat anda juga?" Nadia menatap Nathan. Dari matanya terlihat ketulusan di dalamnya. Nadia tersenyum.
"Maaf dokter. Saya tidak bisa. Berteman dengan saya bukanlah hal yang baik."
"Kenapa?"
'Karna saya adalah istri dari seorang juragan Bondan yang tidak segan-segan menghilangkan nyawa seseorang jika miliknya diganggu.'
"Saya bukanlah orang yang bisa dijadikan teman dokter."
"Tapi saya melihat anda teman yang baik."
"Saya dan Joni berteman untuk alasan yang sama dokter."
*
*
*
^^^~×××Aku Istri Muda×××~^^^
Terima kasih sudah mampir 😍
...❤❤❤Queen_Ok❤❤❤...
...🌾Kediri Raya🌾...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 233 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trusceria
2023-07-31
0
Ndhe Nii
keren ceritanya...lain dr yang lain...👍🙏😘
2021-10-05
0
choirunissa
bagus bgt ceritanya...
2021-06-10
4