Bagi sebagian anak, suntik imunisasi adalah hal yang menakutkan. Banyak dari mereka yang akan menangis hanya dengan mendengarnya saja. Ada juga yang sampai bolos sekolah untuk menghindarinya. Padahal pemberian imunisasi sangat penting di zaman sekarang yang banyak penyakit bermunculan.
Di sekolah tempat Nadia juga sama. Banyak siswa yang menangis bahkan sebelum dokter datang. Hal ini membuat Nadia tersenyum. Melihat mereka ketakutan akan hak yang belum terjadi terlihat sangat lucu. Nadia meminta Joni untuk membelikan susu kemasan untuk mereka. Nadia akan memberikan susu itu jika mereka tidak menangis ketika disuntik.
"Kalian tidap boleh menangis. Imunisasi itu penting untuk kesehatan kalian."
"Tapi sakit bu." keluh seorang anak.
"Kata siapa? Suntik itu hanya seperti digigit semut kecil."
"Tidak bu. Lebih sakit dari itu."
"Bu Nadia punya sulap yang akan membuat kalian tidak merasa sakit."
"Sulapnya bagaimana bu?"
"Nanti akan ibu tunjukkan sulap yang ibu bisa lakukan."
Ambulan yang mengantar dokter Nathan dan perawat datang. Membuat anak-anak menegang. Nadia berusaha menenangkan anak didiknya. Dokter Nathan masuk ke dalam kantor.
Nadia langsung meminta Joni untuk membagikan susu kemasan itu kepada seluruh kelas.
Dokter Nathan masuk ke dalam kelas Nadia. Murid Nadia yang masih kelas satu menjadi tegang.
"Anak-anak, dokter Nathan ini dokternya baik. Jarum suntik yang digunakan juga sangat kecil. Hanya akan terasa seperti semut. Benarkan dokter?" tanya Nadia. Nathan memperhatikan cara Nadia menenangkan anak didiknya. Terlihat sangat lembut.
"Benar. Dokter akan melakukannya dengan pelan. Dokter janji tidak akan sakit."
"Baiklah. Bu Nadia absen dulu ya."
Nadia memanggil seorang siswa. Membawanya ke dalam pelukannya. Membuka sedikit lengan bajunya.
"Lihat bu Nadia saja." anak bernama Abi itu mendongakkan kepalanya. Memandang Nadia yang tersenyum kepadanya sambil mengelus rambutnya. Dokter Nathan segera menyuntuntikkan cairan imunisasi di lengan Abi.
"Sudah." ucapnya. Abi segera melihat lengannya yang telah disuntik. Dia tersenyum senang. Ternyata memang benar tidak terasa sakit.
"Tuh kan. Apa ibu bilang. Tidak sakit kan?" Abi menggeleng. "Karena Abi tidak menangis, Abi mendapatkan hadiah dari om Joni." Abi segera menghampiri Joni. Mengambil susu kemasan dari tangan laki-laki itu. Kembali ke tempatnya sambil meminum susunya. Membuat yang lainnya juga tidak sabaran.
Akhirnya semua anak di kelas Nadia sudah selesai disuntik. Semua dengan cara yang sama. Dipeluk Nadia dan memandang Nadia.
"Wah bu Nadia senyumnya ajaib." ucap Oki. Suster yang menemani Nathan. Jika biasanya suster yang bertugas memegangi siswa, hari ini dia hanya membantu menyiapkan cairan imunisasinya.
"Hahaha mbak Oki bisa saja."
"Tapi Benar lo bu. Anak-anak tidak ada yang menangis setelah melihat senyum manis bu Nadia." Nathan membenarkan dalam hati. Snyum Nadia memang ajaib. Senyum yang bisa membuat hatinya menghangat sekaligus nyeri karena senyum itu terlarang untuknya.
"Bisa saja mbak Oki ini."
"Baiklah bu Nadia, kami ke kelas sebelah dulu." pamit Nathan.
"Silahkan dokter. Terima kasih bantuannya."
Nathan tersenyum sebelum pergi dari kelas Nadia. Joni mengangguk pada dokter muda itu ketika Nathan melewatinya.
Nadia sudah berada di kantor setelah memulangkan anak didiknya. Joni sudah kembali ke mobilnya. Menunggu nyonya mudanya pulang dari tugas mulianya memberikan ilmu pada generasi muda.
Di mejanya, Nadia masih sibuk mengoreksi soal latihan yang dia berikan sebelum pemberian imunisasi tadi pagi. Beberapa kali dia tersenyum ketika mendapati jawaban yang aneh yang kadang diberikan oleh anak didiknya.
"Bu Nadia sedang apa?" tanya Nina yang duduk di sebelah mejanya.
"Ah Bu Nina. Tentu saja mengoreksi hasil latihan anak-anak." jawab Nadia sambil terus melanjutkan kegiatannya.
"Kenapa sampai senyum-senyum bu? Ada yang lucu?"
"Ya begitulah. Inilah enaknya mengajar anak kecil. Bahkan jawaban dari ulangan saja bisa menggelitik."
"Kelas Bu Nadia masih kelas satu. Masih lucu-lucu dan juga lugu-lugu. Kalau kelas saya sudah hilang lucunya. Tinggal ngeselinnya." curhat bu Nina yang mengampu di kelas empat.
"Yang sabar bu. Hehehe. Makanya saya menolak waktu disuruh naik kelas. Cukup di kelas satu yang menyenangkan."
Pembicaraan keduanya terhenti saat melihat Dokter Nathan dan Suster Oki masuk ke dalam kantor. Mereka dijamu baik oleh dewan guru. Di meja sudah disiapkan berbagai macam hidangan mengingat sudah masuk waktu makan siang. Kepala sekolah juga memanggil seluruh guru yang ada di sana. Mengajaknya untuk makan bersama dengan dokter Nathan dan suster Oki.
"Dokter Nathan ini gantinya dokter Wati ya?" tanya Dian.
"Iya bu. Saya dokter pengganti dokter Wati."
"Dokter Wati pindah kemana sekarang?"
"Saya juga tidak tahu." jawab Nathan.
"Dokter Wati pindah karena beliau menikah." Nadia yang memang mengetahui informasinya membantu dokter Nathan menjawab.
"Kalau dokter Nathan sendiri sudah berkeluarga?" tanya kepala sekolah membuat Nathan tersedak. Oki yang duduk di sampingnya lanhsung memberikan minum.
"Maaf dokter. Pertanyaan saya kurang sopan."
"Tidak pak. Saya masih single."
"Wah cocok kalau begitu dok. Disini, beberapa guru juga masih single. Bisa dipilih."
"Hahaha. Pak kepala sekolah bisa saja."
"Saya bersungguh-sungguh pak. Kalau ada yang dokter taksir, dokter bisa bilang sama saya. Saya siap jadi mak comblang."
"Terima kasih pak. Tapi saya masih ingin sendiri." entah mengapa ekor matanya melirik ke arah Nadia yang dengan tenang menyantap makanannya.
Nathan pamit setelahnya. Oki mengikuti dari belakang.
"Saya tidak menyangka jika bu Nadia menikah dengan juragan Bondan." ucap Oki tiba-tiba saat keduanya sudah masuk ke dalam mobil. Joko yang bertugas mengemudikan mobil itu langsung menyalakan mobilnya.
"Memang benar ya Ki gosip yang beredar selama ini?" tanya Joko. Dia banyak mendengar Jika Nadia lah yang menggoda juragan Bondan.
"Jelas tidak benar lah Joko. Kamu tahu sendiri bu Nadia bagaimana orangnya. Kata masku yang bekerja sebagai antek juragan Bondan, bu Nadia itu terpaksa menikah dengan juragan Bondan. Katanya orang tua bu Nadia mempunyai hutang. Bahkan sampai sekarang pak Rahmat sampai sakit-sakitan karena tidak rela jika anaknya menikah dengan juragan Bondan."
"Kamu benar Ki. Nadia sangat tidak cocok dengan juragan Bondan. Sudah tua, jahat lagi."
"Benar. Kalau aku yang ada di posisi bu Nadia, sudah aku racun dari dulu."
"Iya. Nadia berhak mendapatkanyang lebih baik dari pada juragan Bondan."
Nathan dari tadi mendengarkan dengan seksama apa yang dibicarakan dua orang itu. Dia jadi mengerti bagaimana bisa seorang wanita muda yang cantik seperti Nadia mau menikah dengan laki-laki tua seperti juragan Bondan.
Nadia bukan orang yang bodoh yang merelakan dirinya menikah dengan lintah darat yang kejam. Dia juga bukan orang yang menyukai kekayaan. Jadi tidak mungkin jika dia menikah dengan juragan Bondan karena mengincar hartanya.
Sebuah kebenaran lagi terungkap mengenai Nadia. Dia dipaksa menikah. Dan ironisnya hanya untuk menebus hutang. Apakah di kampung ini cara itu masih dilakukan? Menjadikan manusia sebagai penebus hutang. Rasanya itu tidak bisa dibiarkan. Tidak ada nilai yang sepadan untuk harga seorang manusia. Berapapun hutang yang dimiliki tidak akan sama dengan masa depan yang diambil karena pernikahan yang dilakukan secara terpaksa.
Kini Nathan mengerti tentang tatapan kosong Nadia saat dirinya hadir di pesat minggu lalu. Wanita muda itu tersiksa dengan pernikahannya. Merasa tidak berdaya akan keadaan.
*
*
*
^^^~***Aku Istri Muda***~^^^
Terima kasih sudah mampir 😍
Jangan Lupa tinggalkan jejak 👍
Salam sayang 😘
...❤❤❤Queen_OK❤❤❤...
...🌾Kediri Raya🌾...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 233 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus Sehat
2023-07-31
1
Desi Ummu Ihsan
Jangan sampai terlalu simpatik dengan Nadia dokter Nathan nanti kamu dibunuh sama juragan Bondan loh istri kesayangannya menarik perhatianmu
2021-10-03
0
Erni Wijaya
ayo dokter Nathan bantu Nadia keluar dr belenggu juragan gua Bangka itu
2021-07-22
1