"Kondisi tuan Rey sudah sangat baik, mungkin cuma tinggal pemulihan lukanya saja nyonya." Ucap seorang dokter yang baru selesai memeriksa kondisi Rey di rumah sakit pagi itu.
Bu Rania pun merasa lega mendengarnya, ia menarik kedua sudut bibirnya merasa senang dengan kondisi anaknya sekarang. "Terimakasih dokter." Ucapnya ramah.
Dokter itu mengangguk sungkan, lalu tersenyum seramah mungkin. Rasanya tegang sekali jika berurusan dengan keluarga sang pemilik rumah sakit. Beruntung Rey sudah selamat dari masa kritisnya. Itu berarti dokter itu masih bisa bekerja dengan tenang di rumah sakit tersebut.
"Sudah menjadi tugas saya nyonya." Ucap dokter sambil sedikit membungkukkan badannya setengah. Ia pun segera pamit undur diri. "Kalau begitu saya pamit dulu nyonya untuk memeriksa pasien yang lain lagi." Imbuh dokter lagi sambil berbalik dan hendak keluar dari ruang rawat Rey.
"Tunggu dokter!" panggil Rey tiba-tiba. Yang membuat dokter itu menoleh dan menghentikan langkahnya.
"Ada apa tuan Rey?" tanyanya kemudian.
"Apa saya bisa pulang ke rumah hari ini? saya sudah bosan di sini, kalau hanya untuk penyembuhan luka saja tentunya bisa dilakukan di rumah oleh seorang perawat bukan?" Pinta Rey dengan sedikit memaksa.
Dokter tersebut mengernyitkan dahi, sebenarnya memang belum waktunya Rey untuk bisa pulang. Tapi jika memang itu adalah permintaan sang atasan, mau gimana lagi. Toh memang hanya perlu perawatan ringan saja. Dan pihak rumah sakit tentu saja akan memberikan pelayanan terbaik untuk yang punya rumah sakit. Mereka akan mengirim seorang perawat bahkan kalau perlu seorang dokter untuk datang ke rumahnya guna merawat luka nya nanti.
"Baiklah tuan, nanti saya akan mengirimkan seorang perawat ke rumah anda untuk membersihkan luka dan mengganti perbannya setiap hari." Ucap Dokter mengizinkan.
Tapi Rey langsung menolak dengan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak perlu, sudah ada orang yang merawat saya di rumah." Tolaknya.
Bu Rania mengernyitkan dahi. "Siapa Rey? Mama tidak mengerti masalah medis ya, apalagi harus mengobati lukamu itu mama gak bisa." Seru bu Rania yang menyangka bahwa anaknya akan menyuruhnya melakukan itu semua.
Rey menoleh ke arah ibunya, lalu mendengus pelan. "Bukan mama juga." Ujarnya sedikit kesal, sang mama secara terang-terangan menolak untuk merawatnya yang sedang terluka. Sayang anak apanya? Bohong.
"Mama lupa ya udah minta Nayla buat jadi perawat nya Rey?" Imbuh Rey mengingatkan mamanya. Dan bu Rania menepuk keningnya karena merasa lupa.
"Ah iya, mama lupa Rey. Maaf ya!" Seru nya sambil tersenyum cengengesan. Rey mencebikkan bibir lalu beralih lagi pada dokter yang masih setia menunggu perintah selanjutnya.
"Bagaimana pendapatmu dokter?" Tanya Rey.
"Maaf tuan, apakah perawat yang tuan suruh adalah seorang perawat yang profesional? Kami tidak mau mengambil resiko jika luka anda malah semakin memburuk karena salah perawatan." Sahut dokter merasa ragu. Jika ada kesalahan mungkin pihak rumah sakit juga akan merasa malu.
"Kau tidak perlu khawatir, dia adalah calon dokter. Mungkin dia tidak punya pengetahuan jadi perawat. Tapi aku yakin dia tahu bagaimana caranya merawat luka. Apakah seorang dokter tidak mempelajarinya juga?" Seru Rey tetap ingin Nayla yang jadi perawatnya.
Dokter berdehem. Rasanya rancu sekali mendengar tugas seorang perawat harus di gantikan oleh seorang calon dokter. Baru juga calon belum punya izin juga, kan? Pendapat dari mana ini? Pikirnya.
"Ehm.... Saya pikir kalau untuk merawat luka ringan saja semua jurusan kedokteran mungkin mempelajarinya. Tapi.... Apa tidak sebaiknya di rawat oleh seorang perawat sebenarnya saja, tuan?" Saran dokter itu. Wajahnya jadi terlihat pucat saat Rey tiba-tiba menatapnya dengan tatapan dingin. Dokter itu merutuki kesalahannya karena sepertinya Rey tidak menyukai usulnya tersebut.
Rey menyorotkan tatapan dingin pada dokter itu. "Berikan saja resep obatnya! Temanku pasti bisa merawatku dengan baik." Seru Rey dengan ketus. Membuat sang dokter harus menelan ludahnya dengan begitu berat saking terkejutnya dengan reaksi Rey yang menurutnya terlalu berlebihan. Tapi tidak dengan mama Rania, wanita yang sudah melahirkan Rey itu sudah terbiasa dengan sikap anaknya yang keras kepala. Keinginannya tidak pernah mau di bantah oleh siapapun. Tapi mama Rania merasa senang, karena baru-baru ini sikap Rey tidak terlalu dingin seperti biasanya. Anak lelakinya itu seperti kembali ke masa mudanya dulu yang begitu ceria dan penuh semangat. Kadang mama Rania juga bisa melihat senyum indah yang terukir di bibir anaknya yang sudah lama menghilang dari sosok anaknya tersebut.
***
Beberapa saat kemudian...
"Mama sudah menghubungi Jordy, dia sudah ada di bawah masih mengurusi sesuatu, sebentar lagi juga kesini." Ucap bu Rania sambil membereskan bawaannya yang akan di bawa pulang. Setelah mendengar titah dari Rey untuk mengurus kepulangannya dari rumah sakit. Jordy sang asisten langsung bergerak cepat mengurus segalanya termasuk menjemput bosnya itu.
Rey mendongakkan pandangan dari laptop yang sedang dipangkunya, "Oke." Sahut nya singkat lalu beralih kembali laptop yang masih menyala di pangkuannya. Walaupun belum sembuh benar Rey tidak bisa membuang waktunya untuk tidak bekerja, karena selama dia sakit banyak sekali pekerjaan yang dia tinggalkan dan beberapa di antaranya ada yang tidak bisa di wakilkan oleh asistennya Jordy.
Mama Rania berdecak, walaupun sikap dinginnya sekarang sudah mulai mencair tapi sifat gila kerjanya masih tetap sama. Gak tahu waktu dan gak mikirin kesehatannya. "Jangan terlalu di paksakan Rey, kamu ini belum sembuh benar!" Seru mama Rania sambil berjalan mendekati tempat tidur anaknya tersebut.
"Gak apa-apa mah, aku cuma ngecek beberapa laporan dan email yang masuk aja kok." Sahut Rey tanpa menoleh ke arah mamanya, kedua bola matanya tetap fokus pada benda kotak di hadapannya tersebut.
Belum sempat mama Rania memberi komentar, suara pintu ruangan rawat Rey yang terbuka tiba-tiba membuat perhatian mama Rania jadi tersita. Matanya terfokus pada siapa yang masuk setelah pintu tersebut terbuka lebar, kemudian tersenyum saat melihat siapa yang datang.
"Eh .... Aku kira sedang tidur bang." Ucap Rere, sambil berjalan masuk menghampiri sang mama. Lalu mencium punggung tangan mamanya.
Rey melirik sekilas pada Rere lalu kembali fokus dengan pekerjaannya, ia tak peduli dengan kedatangan adik kandungnya tersebut tanpa berkomentar apa-apa.
Rere mencebikkan bibir, tidak terima karena di cuekin oleh sang abang. Tapi seketika saja salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Membentuk satu senyuman usil disana.
"Nayla, kita pulang lagi yuk! Abang gue nya lagi sibuk kayaknya deh, jadi gak bisa di ganggu gitu." Ucap Renata dengan nada menyindir, ekor matanya terlihat melirik sang abang yang langsung mendongakkan pandangannya ke arah depan sambil menutup laptop yang sedang di pangkunya. Rere nyaris tertawa melihat sikap abangnya yang tiba-tiba berubah saat mendengar nama Nayla di sebutkan olehnya.
Rey mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, dan ternyata gadis pujaannya itu tidak ada disana.
"Mana Nayla? Kamu bohong ya?" Kedua bola mata Rey melotot tajam ke arah Rere seakan hendak keluar dari tempatnya. Rere sedikit bergidik, ia bersembunyi di balik punggung mamanya karena merasa takut dengan tatapan Rey yang terlihat menyeramkan.
"Ada yang mencariku?" Suara Nayla yang terdengar dari luar membuat semua orang di ruangan tersebut menoleh bersamaan. Rey sedikit salah tingkah. Ia memindahkan laptop dari pangkuannya ke atas meja di samping ranjangnya. Rere kembali berdiri di tempat semua lalu tersenyum puas dengan kedatangan Nayla.
"Abang tadi nyariin kamu Nay. Mau marah-marah tuh, untungnya kamu keburu datang." Celetuk Rere meledek kakaknya.
Rey berdecak, adiknya itu sebenarnya berpihak pada siapa? Kadang ia mendukung dan membantu Rey untuk mendapatkan hati Nayla, tapi kadang juga suka menjatuhkan image sang abang seperti yang di lakukannya sekarang.
Nayla tersenyum kikuk, sambil berjalan masuk ke dalam ruangan. "Ada apa bang cari aku?" Tanyanya masih canggung.
Rey sedikit gugup, matanya terus menatap wajah Nayla yang selama ini selalu terbayang di pelupuk matanya itu. "Hari ini aku mau pulang, jadi bersiaplah jadi perawat ku mulai dari sekarang!" Perintahnya yang membuat tubuh Nayla mendadak tegang. Kenapa harus sekarang?
Rere sedikit tersentak, ia mengedarkan pandangannya pada ruangan yang sudah terlihat rapi dan menangkap sebuah tas besar yang sudah siap untuk di bawa pulang bertengger di atas meja sofa. "Eh, pulang sekarang, ya? Emang udah boleh? Bukannya abang belum sembuh benar?" Tanya Rere merasa aneh.
Bu Rania mengedikkan bahunya, lalu berjalan ke arah sofa, lama-lama berdiri kakinya jadi pegal juga. "Ya gitu deh abang kamu, belum sembuh aja udah minta pulang. Udah bosen katanya." Sahut mama Rania setelah berhasil mendaratkan tubuhnya di atas sofa.
Rere yang sempat mengikuti gerak langkah mamanya langsung menoleh pada abangnya. "Bosan bang? Kayak anak kecil aja sih pake bosen segala. Kalau nanti ada apa-apa gimana?" Omel Rere dengan gaya memperingatkan.
Rey berdecak kesal, selain menyebalkan adiknya juga jadi sok tahu. "Yang sakit itu abang, bukan kamu. Dokter juga sudah mengijinkan abang pulang kok." Sahut nya.
"Iya... Tapi kamu yang maksa buat pulang kan?" bu Rania ikut menimpali di ujung sofa sana.
Rey melipat tangannya di depan dada sambil melengoskan wajah." Terserah aku lah." Balas nya.
Entah kenapa melihat sikap Rey yang terlihat keras kepala membuat Nayla jadi berpikir ulang untuk menjadi perawat lelaki itu. Bisa di bayangkan hari-harinya pasti akan terasa menyebalkan jika harus berurusan dengan pria macam itu.
"Kalau dokter sudah mengizinkan pulang, berarti bang Rey sudah sembuh dong ya? Jadi gak perlu membutuhkan perawat lagi buat di rumah." Seru Nayla menyela obrolan keluarga itu.
Rey mendelikkan matanya,menatap Nayla dengan kesal, bukannya dia sudah setuju menjadi perawatnya kenapa sekarang malah seakan ingin menolak lagi. "Aku bisa pulang, bukan berarti aku sudah sembuh, lukaku masih butuh perawatan dan kamu masih bisa merawatku di rumah." Ucap Rey dengan penuh penekanan.
Nayla terdiam, dia menghela nafasnya pelan. "Tapi kemarin gak bilang di rumah juga kan? Cuma di rumah sakit aja bilangnya." Seru Nayla lagi karena merasa tak sesuai perjanjian.
"Kapan aku bilang begitu? Lagipula di rumah sakit sudah banyak perawat, untuk apa aku menjadikanmu perawat di sini? Harusnya kamu tahu itu." Rey berbicara dengan nada kecewa, ternyata gadis itu belum sepenuhnya setuju untuk merawatnya sampai sembuh.
"Kalau memang kamu keberatan tidak apa-apa, aku memang tidak berhak untuk merepotkanmu, lukaku ini gak ada hubungannya denganmu juga kan?." Imbuh Rey dengan nada menyindir.
Nayla menarik nafas panjang lalu menghembuskan nya perlahan, " Dasar makhluk ini, apa dia sedang membuatku merasa bersalah?" Gumam Nayla dalam hati.
"Ya sudah, aku bersedia merawatmu di rumah." Ucap Nayla sambil menunjukkan senyum yang di paksakan.
Rey merasa menang, ia menarik kedua sudut bibirnya untuk mengulas senyum kemenangannya. "Terimakasih" ucap nya basa-basi.
***
bersambung dulu ya..
jangan lupa vote sama like ya Readers tercinta kuh..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
Rey modus
2021-03-01
1
Sunaryati Suharno
kaya anak kecil Rey udah bucin duluan tuh s rey
2020-08-29
0
Banin SN || iPus Channel
Mantab thor. Ditunggu up'nya
Sambil nunggu mampir juga di novelku gan.
Pendekar pedang naga emas
2020-02-07
2