Waktu menunjukkan pukul satu siang, Nayla baru selesai dengan kelas terakhirnya. Dan saat Nayla mau keluar dari kelasnya, tiba - tiba ada pesan masuk ke ponsel nya. Membuatnya mengurungkan niatnya untuk keluar kelas dan memilih untuk duduk kembali di kursi kelasnya. Pesan singkat itu dari Rere. Dan keduanya saling berbalas pesan satu sama lain.
"Nay, lo masih dimana ?" Rere
"Baru selesai kelas , ada apa?" Nayla
"Masih nanya ada apa. Buruan kesini! Gue pusing tau." Rere.
"Kalau pusing minum obat lah, kenapa lo nyuruh gue kesana?" Nayla.
"Ish, gue serius ini. Cepetan datang ke rumah sakit! Gue pusing bang Rey nanyain lo terus." Rere.
Nayla sejenak diam, ia tak langsung membalas pesan Rere yang terakhir. Nayla mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya berniat untuk membalas pesan tersebut. Tapi belum sempat pesan itu terkirim pada Rere, satu pesan lagi kembali masuk ke ponsel Nayla.
"Pokoknya gue gak mau tahu lo cepet datang kesini. TITIK GAK PAKE KOMA PAKE TANDA SERU." Rere.
Nayla mengkernyitkan dahi nya, setelah membaca pesan yang terkesan sangat memaksa tersebut. Lalu menggaruk keningnya yang tak gatal dan menghapus kembali pesan yang sempat ia ketik tadi. Nayla tak jadi mengirim pesan tersebut.
"Mau ngapain sih tuh orang? Kenapa hati gue jadi bimbang gini?" Gumam Nayla pelan.
"Kesana jangan ya?" imbuh Nayla pada diri nya sendiri.
Dia masih berada di dalam kelasnya. Cukup lama dia berdiam diri di sana. Memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Nayla hanya seorang diri, semua mahasiswa sudah pergi keluar sejak tadi. Semenjak jam mata kuliah mereka telah selesai. Nayla mengabaikan suara dering ponsel miliknya yang terdengar beberapa kali. Padahal pesan masuk dan panggilan telepon tersebut berasal dari sahabatnya. Nayla hanya menatap layar ponsel tersebut sampai ponsel itu tak lagi mengeluarkan suara. Nayla benar-benar bingung harus berbuat apa.
Nayla menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Kesana saja lah dulu, bagaimanapun juga bang Rey sudah nyelamatin hidup gue." Gumam Nayla akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Rey di rumah sakit.
Nayla pun melangkahkan kakinya untuk keluar kelas dan mengambil motornya di area parkir.
Perjalanan ke rumah sakit sekitar 15 menit dari kampus. Setelah sampai di rumah sakit Nayla sedikit ragu untuk melangkah masuk, seperti ada ketakutan yang sangat dalam pada dirinya. Nayla pun berjalan dengan pelan dengan hati yang bimbang.
"Nayla." Seseorang yang menepuk pundak Nayla dari belakang membuatnya tersentak dan seketika menoleh.
"Tante Rania?" Serunya kaget.
"Kamu kenapa? Kayak yang lagi ngelamun?" tanya Bu Rania sambil memperhatikan wajah Nayla yang terlihat gusar.
Nayla tersenyum canggung, merasa malu dengan sikapnya itu. "Eh, gak kok tante. Nayla gak lagi ngelamun." Sangkal Nayla sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Masa sih? Keliatan loh dari muka kamu, kayak orang yang lagi banyak pikiran." Seru bu Rania berusaha menebak.
Nayla menggigit bibir bawahnya, apa iya ia harus cerita pada bu Rania jika Nayla sudah menolak cinta anaknya, dan sekarang Nayla merasa tidak punya muka untuk kembali menemui Rey. Ah, yang benar saja. Nayla mungkin akan di usir sekarang juga oleh bu Rania karena sudah berani menolak cinta anak kesayangannya.
"Tuh kan ngelamun lagi? Kamu ada masalah ya? " Seru bu Rania sambil menjentikkan tangannya di depan wajah Nayla. Nayla terperanjat karenanya, lalu tertawa kecil sambil mengusap wajahnya yang begitu gusar.
"Ah, Gak apa-apa kok tante. Kita ke kamar bang Rey aja yuk! Tante mau kesana juga kan? " Ajak Nayla mengalihkan perbincangan mereka.
Bu Rania tersenyum sambil menganggukkan kepala, walaupun ia yakin jika Nayla sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, tapi ia tak mau memaksa gadis itu untuk bercerita padanya. Bagaimana pun bu Rania bukan siapa-siapanya Nayla.
Nayla menggandeng tangan bu Rania lalu berjalan berdampingan menuju kamar Rey yang berada di lantai tiga, mereka menaiki lift disana.
* Ting *
Pintu lift terbuka, mereka berdua pun keluar dari dalam lift bersama-sama. Berjalan beriringan menuju kamar Rey yang tak jauh dari sana. Setelah sampai di depan bu Rania yang berjalan di depan terlebih dulu membuka pintu kamar itu. Tapi, baru saja pintu itu terbuka, dan terlihat langkah kaki bu Rania yang masuk ke dalam. Suara lantang Rey memecah keheningan kamar tersebut.
"Dari mana saja kamu?" Rey bertanya tanpa menoleh ke arah pintu.
Bu Rania terpaku di ambang pintu, menatap heran pada anaknya. Berani-beraninya Rey membentak sang mama. Rere yang sedang duduk di sofa tunggu di pojok ruangan terkekeh lucu saat melihat siapa yang datang. Dan hal itu membuat kening Rey mengkerut dalam. "Hei.... Kenapa tertawa? Apanya yang lucu?" Tanyanya pada sang adik. Padahal dari tadi ia terus saja cemberut, merasa kesal dengan abangnya yang terus saja uring-uringan karena Nayla tak kunjung datang.
Rere menatap abangnya lalu mengangkat tangannya dan mengarahkan telunjuk tangannya ke arah pintu. "Itu .... Ma...ma." Ucap Rere tanpa mengeluarkan suara.
Rey tersentak, matanya membulat sempurna. Lalu memutar kepalanya dengan perlahan dan melihat sang mama sudah berdiri sambil memasang kedua tangannya di atas pinggang. Bu Rania bersiap untuk mengeluarkan jurus mengomelnya.
"Eh .... Mama." Ucap Rey salah tingkah sambil menyengir kuda.
"Hhihihi.... Abang malu tuh." gumam Rere sambil terkekeh lucu.
"Berani ya kamu bentak-bentak mama?" Bu Rania berjalan menghampiri ranjang Rey, dan bersiap untuk menjewer telinga anak lelakinya itu. Tapi seseorang yang masuk di belakang bu Rania membuat perhatian Rey kembali tersita.
"Ada apa tante? Kenapa tante terlihat marah?" Tanya Nayla merasa heran, sudut matanya menangkap sosok Rey yang sedang memperhatikan dirinya.
Bu Rania menoleh ke arah Nayla. "Anak ini tiba-tiba berani membentak Tante, Nay. Gimana Tante gak marah?" Seru bu Rania merasa kesal.
"Mama salah paham, tadi tuh Rey lagi...." Rey terdiam sejenak memikirkan alasan yang lebih masuk akal. "Rey lagi latihan drama sama Rere, Ma. Iya kan, Re?" Rey mengedipkan matanya pada Rere, berharap adiknya bisa ikut bersandiwara bersamanya.
Rere mengangkat kedua alisnya bersamaan. Tapi setelah paham maksud abangnya. Rere langsung menganggukkan kepalanya cepat. "I...iya Ma, bener kata abang. Mau ada perlombaan senjata antar fakultas. Bang Rey yang ngusulin biar ada hiburan di kampus katanya." Ujar Rere ikut berbohong pada mamanya.
Nayla mengernyitkan kening, ia tak pernah mendengar ada acara seperti itu di kampusnya. "Memangnya ada acara seperti itu Re? Kok gue baru denger ya?" tanya Nayla merasa curiga.
"Eh.... Lo baru denger ya? Gue tuh mau cerita tapi keburu lupa. Acaranya dadakan katanya. Iya ya bang?" Tukas Rere semakin ngawur, matanya beralih pada Rey lalu mengedipkan matanya menunggu jawaban.
"Iya." Jawab Rey singkat saja.
Nayla menganggukkan kepala, ia hanya terdiam dengan tatapan tak terbaca, memilih untuk percaya saja daripada terus menerus mengungkit hal bodoh yang ia tahu hanya kebohongan semata.
"Jadi gitu?" Bu Rania mencebikkan bibirnya dan terpaksa percaya. "Kamu sudah makan Rey?" Tanya bu Rania lagi.
Tapi bukannya menjawab, tatapan mata Rey malah tertuju pada wajah cantik Nayla. Menatap gadis itu dengan intens, seolah di ruangan itu hanya ada mereka berdua saja.
Merasa tak di dengar bu Rania kembali merasa kesal. "Rey." Panggilan itu membuat yang punya nama seketika terlonjak. "Kamu kenapa sih?" tanya bu Rania lagi.
Rey mengerjap gugup, menoleh ke arah mamanya dengan tatapan imut yang di buat-buat. "Iya Ma. Aku baik-baik saja kok." Sahut Rey dengan tegang.
"Hish.... Mama gak suka lihat sorot matamu itu, selalu bikin mama jadi gak tega buat marahin kamu." Bu Rania mendengus kesal. "Kamu udah makan belum?" Akhirnya bu Rania mengulangi pertanyaannya.
"Ehm... Belum Ma." Jawab Rey apa adanya.
"Memang nya perawat belum membawa makanannya kesini?" tanya bu Rania sedikit emosi, kenapa pelayanan rumah sakit jadi buruk seperti ini. Ini sudah lewat dari jam makan siang. Tapi anaknya belum mendapatkan makanan apa-apa.
"Bang Rey nolak Ma. Tadi udah ada perawat yang bawa makanannya kesini, malah sampai dua kali ganti menu karena takutnya abang gak suka dengan menu pertama. Tapi bang Rey malah mengusir mereka semua dan makanannya di suruh di bawa lagi." Rere ikut menimpali dengan panjang lebar.
Dan tentu saja Rey merasa kesal, ternyata mulut adiknya tersebut bocor juga. Jika Rey sudah bisa berjalan dengan leluasa ingin rasanya ia menghampiri Rere sekarang juga dan menyumpal mulut adik kandung nya tersebut dengan menggunakan uang. Karena hanya itu kelemahan Rere yang Rey tahu.
"Benar itu Rey? Kenapa?" Tanya bu Rania sambil mengusap puncak kepala Rey dengan sayang. "Perut kamu gak bermasalah kan?" Imbuhnya lagi.
Rey merasa tidak enak, melihat kekhawatiran sang mama yang begitu besar yang terlihat dari sorot mata mamanya yang terlihat sayu. "Perut Rey gak apa-apa kok Ma. Makanannya gak enak aja." jawab Rey merasa bersalah.
Bu Rania menghela nafas kasar. "Haih.... Kamu ini seperti anak kecil saja, makanan rumah sakit itu sudah di sesuaikan dengan kondisi kamu, kamu gak bisa makan sembarangan dulu!" Seru bu Rania menasihati.
"Renata, tolong beritahu suster bawakan lagi makanannya Rey kesini!" Perintah bu Rania pada anak gadisnya.
Rere mengangguk, lalu bergegas keluar menemui suster jaga di ruangannya.
"Tapi Ma." Rey ingin kembali menolak, ia benar-benar tidak mau memakan makanan itu, dari penampilannya saja terlihat aneh, apalagi rasanya. Jika di paksakan mungkin Rey akan muntah sebelum makanan itu ke dalam usus-usus nya.
"Gak pake tapi-tapi, pokoknya kamu harus makan makanan itu." Ancam bu Rania sambil memicingkan matanya.
Rey mendengus kesal lalu dia melirik ke arah Nayla yang terlihat seperti menahan tawanya.
Tak lama kemudian suster pun datang membawa makanan di ikuti oleh Rere yang berjalan di belakangnya. Suster menyimpan makanan tersebut di atas meja, lalu pamit undur diri pada semua orang yang berada di dalam ruangan Rey.
Rey terlihat enggan melihat makanan itu, tapi bu Rania tetap saja memaksa Rey untuk memakannya sampai habis. Huh, rasanya Rey ingin kabur saja dari sana.
"Ma, biar Nayla aja yang suapin! Dia kan kemarin selalu bilang kalau bang Rey kayak gini gara- gara dia jadi .... " Rere terjeda, sejenak menatap wajah sang abang sambil tersenyum menyeringai. Dan beralih lagi pada Nayla. "Lo mesti tanggung jawab Nay, lo mau kan jadi perawat pribadinya bang Rey sampai dia benar-benar sembuh?" Rere berucap dengan senyum licik terlukis di bibir mungilnya.
Nayla begitu terkesiap mendengar Rere seperti menjebaknya dalam situasi yang membuatnya tak bisa menolak. Bibirnya tiba-tiba jadi kaku, ingin sekali ia berkata tidak mau, namun lidahnya seakan tak mau mengecap kata itu.
"Kamu mau gak Nay?" Tanya Bu Rania membuat gadis itu mengerjap gugup.
"Memangnya harus seperti itu ya tante?" Tanya Nayla sedikit ragu.
"Tante sih terserah kamu sayang." Ucap Bu Rania sambil mengelus lembut pipi Nayla.
"Elah, bukannya kemarin lo nangis -nangis mau tanggung jawab? Giliran di tagih aja pura-pura lupa, lo." Sela Rere sambil mencebikkan bibir.
Nayla kembali membulatkan matanya pada Rere. Hari ini sahabatnya itu telah berhasil membuat Nayla malu sekaligus kesal berkali-kali. Ada perasaan menyesal saat dirinya memutuskan untuk datang. "Awas lo ya! Gue masukin ke kandang buaya lo abis ini." gumam Nayla dalam hati.
"Kalau kamu gak mau juga gak apa- apa kok! Aku gak butuh tanggung jawab dari kamu. Lagian aku ketusuk juga bukan gara-gara kamu." Ucap Rey pura-pura merajuk. Kata-katanya itu loh, penuh penekanan dan sindiran yang terdengar halus tapi mampu menusuk relung hati Nayla begitu dalam.
Nayla jadi salah tingkah, rasanya seperti di tembak Rey untuk kedua kalinya tapi situasinya jadi lebih rumit dan kali ini tidak ada alasan untuk bisa menolaknya.
"Baiklah, aku mau." Jawab Nayla sambil menunduk malu.
Rey tampak senang dia menjadi sangat bersemangat. Senyumnya mengembang dengan sempurna. "Kalau begitu cepat suapi aku! Tiba- tiba aku menjadi sangat lapar." Pinta Rey selanjutnya.
Nayla berjalan menghampiri ranjang Rey dengan langkah malas, lalu mengambil mangkuk yang berisi bubur yang katanya sangat sehat, karena sudah di campur dengan berbagai macam vitamin di dalamnya. Entah apalah istilahnya, Nayla yakin rasanya pasti aneh, tapi sekarang ia harus membuat Rey menghabiskan makanan tersebut. Dan sepertinya ia akan gagal dengan tugas pertamanya.
Nayla duduk di kursi dekat ranjang Rey, dan mulai menyuapkan makanan kedalam mulut Rey dengan wajah tersipu malu. Sedangkan Rere dan bu Rania duduk di sofa meninggalkan Rey dan Nayla berdua.
Rey melahap makanannya seolah ia tak punya indera perasa. Apa mungkin lidahnya sedang bermasalah? Rey makan seperti orang yang sedang kelaparan. Langsung menelannya tanpa mengunyah terlebih dahulu. Ya, mungkin karena makanannya tersebut berbentuk bubur.
"Wah .... Lihat tuh Ma! Ternyata Nayla itu memang perawat yang luar biasa, makanan yang katanya gak enak itu, habis juga di makan bang Rey." Goda Rere sambil tertawa kecil ketika ia menghampiri sang kakak yang begitu fokus menyantap makanannya tapi matanya selalu tertuju pada wajah Nayla.
Bu Rania pun ikut menghampiri, menengok sebentar ke arah mangkok yang di pegang Nayla. "Eh....iya bener. Udah abis ya?" Seru bu Rania dengan raut wajah senang.
"Kalau begitu, kamu cocok jadi perawat pribadi Rey sampai lukanya sembuh kalau di rumah nanti. Tenang saja tante akan gaji kamu kok." ujar bu Rania sedikit memaksa.
Nayla semakin tak bisa berkutik lagi. Jika bu Rania sudah meminta Nayla jadi tidak berdaya. "Tapi, nanti kuliahku bagaimana tante?" Tanya Nayla bingung. Kalau harus jadi perawat tentu saja kuliahku akan terganggu."
"Kamu jangan khawatir! Tugasmu di mulai setelah kamu pulang kuliah aja. Kalau sekolahnya siang bisa pagi-pagi nya kesini dulu." Ucap bu Rania menjelaskan.
"Tapi aku juga harus ngelatih anak-anak beladiri di sore hari, Tante." Alasan Nayla lagi. Sok sibuk sekali gadis ini. Tapi memang benar jadwalnya padat sekali.
"Lo kan bisa undurin jadwalnya ke malem Nay! Abis magrib kan bisa tuh." Tukas Rere ikut memberi saran. Padahal saran tersebut malah semakin menyudutkan Nayla.
"Betul tuh Nay, Kamu cuma sampai sore saja Nay, gak 24 jam, kok." bujuk Bu Rania penuh harap.
"Bentar doang dong Ma?" Sahut Rey merasa tak terima. Dan Rere jadi tersedak oleh ludahnya sendiri. Ia tak bisa menahan tawanya lagi.
"Pengen lama-lama ya? Halalin dulu bang!" Kelakar Rere yang membuat pipi Nayla sontak bersemu merah.
"Apa-apaan sih Re?" Decak Nayla merasa salah tingkah.
"Aih..... Dia malu tuh!" Cibir Rere semakin membuat Nayla malu.
****
to be continue
jangan lupa like dan votenya,, kasih komentar baiknya dong biar amih tambah semangat buat nulis.
Follow IG amih @amih_amy
Happy Reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
maura shi
masuk kandang buaya nay
2021-03-15
0
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
Perawat pribadi
Adik kakak,🤦🏻♀️
2021-03-01
1
Nur Ainun
🤭
2021-01-24
0