Hari ini sepulang sekolah, seperti biasa Evina menunggu angkutan di depan sekolah. Cukup lama ia menunggu kedatangan bus, namun tak kunjung datang.
“belum datang angkutannya?” tanya seseorang tiba tiba. Evina hanya menengok ke arah suara tersebut. Namun Evina tak mengenal pria tersebut. Ia juga tidak mengenakan seragam sekolahnya.
“kog, diem aja?” tanya orang itu. Evina melihat tulisan Ryan Efendi di seragam pria itu.
“maaf, siapa ya?” tanya Evina.
“oh, iya maaf, aku Ryan, anaknya pak Bambang Efendi,” ujar pria bernama Ryan, yang ternyata adalah anak dari kepala sekolah.
“oh, maaf mas. Ngga tau kalau anak kepala sekolah,” kata Evina santai.
“emang kenapa kalau aku anka kepala sekolah? Ada masalah?” tanya Ryan. Namun belum sempat Evina membalas ucapan Ryan angkutannya sudah terlanjur datang. Evina buru – buru menyetop bus tersebut. Ia segera menaikinya tanpa berpaling. Ryan yang menyaksikan itu hanya tersenyum.
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
Sampai di rumah Evina di buat bingug. Ia melihat ibunya sudah membawa tas berisi pakaian. Evina bergegas menghampiri ibunya itu.
“lho, bu, ape ning ndi?” ( lho, bu mau kemana?) tanya Evina heran serta khawatir. Raut wajah ibunya terlihat begitu sedih.
“pak mu ngongkon lungo, ngaboti gemblekane,” ( ayahmu menyuruh ibu pergi, lebih sayang selingkuhannya) ujar ibunya datar. Seketika Evina panik. Apa yang sudah terjadi. Kenapa selalu begini? Kenapa selalu ibunya yang harus mengalah? Apa istimewanya selingkuhan itu dibanding ibunya yang menerima semua kekurangannya.
Evina tak dapat menahan air matanya lagi. Ia terisak melihat ibunya diperlakukan seperti ini oleh ayahnya. Ia segera berlari masuk rumah untuk menemui selingkuhan ayahnya.
“LUNGO SEKO KENE!!!” ( pergi dari sini) bentak Evina yang sudah tak sanggup lagi menahan amarahnya. Wanita itu hanya berdiam diri dibentak Evina. Evina lekas menarik kerah wanita itu, lalu menyeretnya keluar. Ibunya yang melihat kejadian itu berusaha menahan anaknya itu.
“wes, to nduk. Ojo diapak apakne!” ( sudah nduk janagan di apa apain) lerai ibunya.
“wedhokan kakekane, rak nduwe utek kowe. Nek arep nglonte ning njobo. Ojo ning omahku,” ( dasar wanita ******, ngga punya otak. Kalau mau melacur diluar sana. Jangan di rumahku)
Tiba – tiba Evina di tendang oleh ayahnya. BUAK!!! Membuat tubuh kecil Evina terpelanting.
“anak, melu - melu urusane wong tuo. Meh, dadi opo kowe? Rak sah melu – melu. Tak gajul sisan kwe,” ( anak, ikut – ikutan urusan orang tua. Mau jadi apa kamu? Jangan ikut – ikut. Kutendang sekalian) bentak ayahnya penuh amarah.
Evina terkejut dengan sikap ayahnya. Apa salahnya? Kenapa dia lebih memilih selingkuhannya dibanding keluarganya.
Bertumpuk sudah kebenciannya kepada ayahnya. Tidak cukupkah semua penderitaan yang ia alami. Haruskah ditambah dengan keadaan seperti ini. Sambil terisak, Evina menahan sakit di pinggangnya akibat tendangan sang ayah.
Evina segera mengambil tas yang dibawa ibunya dan menarik ibunya pergi. Ibunya hanya bisa terdiam saja. Jika ibunya membela, maka kebrutalan ayahnya itu akan menjadi jadi.
Sepanjang jalan Evina menangis. Ia menangisi ibunya, kenapa ibunya harus diperlakukan seperti ini? Ibunya pun tak tega melihat anaknya. Namun ia tak bisa berbuat apa apa. Ibunya sudah biasa dimarahi, dipukul. Dan melihat anak anaknya dipukul juga sudah menjadi makanan sehari hari.
“sekarang kita mau kemana, bu?” tanya Evina bingung.
“ayo ke pakde dulu. Nanti di pikir disana,” ujar ibunya pasrah.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Pakde Suro marah – marah mengetahui adiknya diusir dari rumah. Sebenarnya pakde Suro, sudah sering mengingatkan ibunya Evina untuk meninggalkan suami macam itu. Tapi sang ibu selalu dengan alasan anak. Ibunya terlalu takut dengan stigma perceraian. Padahal itu hal paling diinginkan Evina. Dari pada ia harus melihat ibunya setiap hari di sakiti.
“wes, ngene ae. Kowe karo anakmu saiki turu kene sek. Sesok tak kei ongkos, kowe balik ning Banyumas. Wes rak sah ngeboti Tejo,” ( sudah, beginio saja. Sekarang kamu dan anakmu tidur disini. Besok ku beri ongkos, kamu pulang saja ke Banyumas. Sudah ngga usah belain Tejo) ujar Pakde Suro.
Ibunya Evina, tak berani bicara. Lebih tepatnya tak tahu harus bicara apa. Pikirannya kalut, memikirkan dua anak laki - lakinya yang masih dirumah. Jika ia pergi, bagaimana anak anaknya. Ia juga tak tega harus membawa Evina yang masih muda dalam keadaan seperti ini.
“wes, nduk. Kowe adhus sek. Salin, njileh klambi budhe sek,” kata Pakde Suro.
“inggih pakde,”jawab Evina.
Evina lalu beranjak masuk.......
<><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><>
2 hari berlalu......
Evina tak berangkat sekolah sejak hari itu. Siska tak tahu bagaimana cara menghubungi Evina karena Evina tak memiliki handphone. Ia juga tak tahu dimana rumah Evina, karena Evina tak pernah mengijinkan Siska untuk main ke rumahnya.
“Sis, Evina tumben tumbenan ngga masuk sekolah. Sakit kali, ya?” tanya Galuh yang duduk di kursi sebelah Siska.
“ngga tau Luh, aku juga bingung. Mana ngga tau cara ngubungin dia,” jawab Siska bingung.
“kalau dia ngga masuk, siapa yang bakal ngasih contekan tugas coba?” ujar Galuh.
“yeee, bukannya khawatir ama temen, malah mikirin yang lain,” ujar Siska.
“alah, kamu jga sama aja ka, Sis? Kalau ngga ada dia, kamu ngga ada temen ceweknya?” ledek Galuh.
“ya, iya, tapi aku ngga mungkin, cuma mau manfaatin temen gitu Luh,” kata Siska yang diiringi tawa Galuh.
“padahal dicariin Fahri sih dia,” gumam Siska.
&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
Fahri menghampiri Siska sepulang sekolah di temani Aris.
“Evina masih belum masuk, Sis? Padahal mau aku ajak ngurusin proposal ke pembina,” Tanya Fahri saat mereka ketemu didalam ruang pramuka.
“iya, Ri. Tumben – tumbenan Evina bolos sekolah. Dia paling rajin diantara temen sekelas. Ini udah dua hari ngga masuk. Ngga ada kabar juga,” ucap Siska Khawatir.
“kamu tahu alamatnya Evina?” tanya Fahri kepada Siska.
“ngga tau, Ri, tapi jangan ke sana deh. Evina ngga pernah ngtijinin aku ke rumahnya!”ungkap Siska. Membuat Fahri semakin terheran dengan sosok Evina.
“lah, kenapa? Main ke rumah temen kog ngga boleh?” tanya fahri heran.
“ngga tau deh, Ri,” jawab Siska.
Fahri menghembuskan napasnya pelan, pertanda ia kebingungan sekaligus heran.
Tanggal acara kemah bakti sudah semakin dekat. Dan ia perlu menyelesaikan proposal acara. Untuk bisa ke pembina, tidak cukup hanya dia. Kartena Evina juga merupakan ketua, Evina harus ada ketika ia menyerahkan proposalnya.
“gimana, ya? Padahal butuh banget sama dia,” gumam Fahri. Siska tersenyum mendengar ucapan Fahri yang tersamar itu.
“kenapa? Rindu menyerang kalbu?” ledek Siska. Fahri hanya melirik sinis ke arah Siska. Aris yang sedari tadi juga ada di ruangan itu hanya diam sambil memainkan handphonenya. Namun ketika siska menggoda Fahri tentang Evina, Aris jadi ikutan bicara.
“Sis, kamu kenapa, sih, kog, selalu nyomblangin Evina sama Fahri? Kayaknya sebenarnya ngga ada apa – apa diantara mereka berdua. Kamunya semangat banget,” kata Aris.
“ngga ada apa – apa gimana? Udah keliatan banget kalau mereka berdua itu ada yang tidak bisa diungkapkan. Ya, mungkin mereka emang belum nyadar. Atau memang mereka menahan gejolak rasa yang ada. Iya, ngga, Ri?” ujar Siska sambil menegok ke arah Fahri. Fahri hanya sekedar tersenyum. Karena ia sendiri pun tak tahu, apa yang ia rasakan kepada Evina.
Memang benar Evina terlihat berbeda dimatanya. Selama ini banyak wanita yang menginginkannya jadi pacar. Tapi Fahri tak menggubris mereka, karena memang Fahri bukan tipe orang bisa dengan mudah dekat dengan wanita. Ia bahkan tak tahu caranya berkenalan dengan wanita. Namun ketika dengan Evina, ia merasa sudah seperti tak asing saja.
“jangan senyum – senyum aja kamu, Ri!” kata Aris.
“kenapa? Apa salahnya tersenyum?” tanya Fahri.
“ya, karena kalau kamu senyum gitu. Memberi kami pemikiran bahwa kamu emang bener ada perasaan sama Evina,” kata Aris.
“iya, lho, Ri. Kalau emang kamu ngga ada rasa sama dia. Jangan kasih harapan apa pun. Temen aku itu phobia sama cowok. Makanya dia sekolah di STM, karena dia merasa harus bisa menghadapi phobia nya,” ujar Siska.
“phobia sama cowok? Bagaimana ceritanya? Emang ada apa? Pernah sakit hati sama cowok gitu?” tanya Fahri penasaran.
“engga tau juga, sih, Ri.Tapi aku satu SMP sama dia. Dia ngga pernah pacaran. Dari SMP dulu sudah phobia kog, masa ia dia pacaran waktu SD, sampe sakit hati terus phobia. Emang cinta kayak apa ampe bikin phobia,” kata Siska.
Fahri merenungkan kata kata Siska. Iya, benar juga, tidak mungkin dia jatuh cita waktu kecil. Lalu jadi phobia. Pasti ada sesuatu yang lain yang tak ia ketahui.
Terima kasih sudah bersedia membaca novel pertama saya. Semoga ceritanya enak untuk disimak ya...
Jangan lupa tinggalkan comment, like, vote serta beri rate pada episode ini. Terima kasih......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
👑
like Like like this
2020-12-17
0
Yours Bee
like
2020-12-09
0
Om Rudi
like dari Om
jangan bosan ke PENDEKAR SANGGANA
2020-12-03
1