“Bagaimana denganmu? Kamu tidak ada rencana menikah?” tanya Marisa, tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.
Ditya tersenyum, masih terpaku menatap riak air kolam renang yang begitu tenang. Dengan lampu sorot yang memancar ke arah kolam, membuat semburatnya terlihat indah di tengah kegelapan malam.
“Daddy memang tidak menyodorkan kriteria calon istriku, tetapi aku cukup mengerti gadis seperti apa yang bisa diterima keluarga kita.” Ditya berkata setelah lama berpikir.
“Dari sekian banyak gadis yang memenuhi ktiteria, tidak ada satu pun yang membuat hatiku bergetar, Kak,” lanjut Ditya.
Marisa terkekeh. Teringat gosip di media online yang menceritakan kalau Ditya tertangkap kamera liburan ke Bali dengan seorang model papan atas, beberapa minggu yang lalu.
“Model itu benar?” tanya Marisa menyelidik.
“Gila apa. Bukan tipeku sama sekali. Aku tidak suka dengan gadis-gadis seperti itu,” jelas Ditya.
“Club motorku sedang mengadakan touring dan charity ke Bali. Beberapa rekanku membawa gadis-gadis model itu. You know 'lah, kehidupan kita seperti apa. Pasti tidak lepas dari gadis-gadis cantik, wine and party,” jelas Ditya.
“Bosan?” tanya Marisa.
“Sometimes, tetapi kita tidak bisa memilih. Dalam tubuh kita mengalir darah Halim Hadinata. Siapa yang tidak kenal Daddy. Dari orang biasa sampai pejabat negara pasti tahu Daddy. Dan kita anaknya, pasti terseret juga. Ada berapa banyak yang ingin dekat, sekedar mengenal sampai berharap menjadi besan,” ucap Ditya.
“Dan kamu tahu, Kak. Selama hampir dua tahun di Indonesia, aku bertemu banyak penjilat dan karakter palsu. Dan para gadis yang dekat denganku rata-rata seperti itu, berharap kemewahan dan siap melakukan apapun supaya bisa menjadi bagian dari hidupku,” jelas Ditya dengan tatapan datar.
“Kak, punya wine? Rasanya aneh tidak ada minuman di saat seperti ini,” ucap Ditya, melirik sang kakak sekilas.
Plakkkk! Sebuah pukulan mendarat di lengan Ditya. Menyusul sederetan kata-kata petuah dan kalimat bijak lainnya.
“Aku menikah dengan orang dari kalangan biasa, Ditya. Ingat itu! Gaya hidup pun sudah jauh berbeda. Suamiku tidak minum. Bahkan putra putriku tumbuh seperti anak-anak pada umumnya.”
“Aku sudah meninggalkan pesta mewah di atas kapal pesiar, tidak ada lagi arisan high class di atas private jet milik Daddy atau shopping di luar negri. Walau seleraku masih tetap branded,” lanjut Marissa, terkekeh.
“Aku tertarik dengan putrimu,” ucap Ditya tiba-tiba. Setelah lama terdiam, ia memutuskan untuk berterus terang.
“Hah? Frolline maksudmu?” tanya Marisa memastikan.
“Putrimu yang tersisa ada berapa?” tanya Ditya kesal. Marisa yang mengulang kata-kata di saat kakaknya itu sudah tahu pasti jawabannya adalah hal yang paling tidak disukai Ditya.
“Sayangnya, di mata Frolline hanya ada bayangan, yaitu keponakanku,” lanjut Ditya lagi.
“Putriku gadis baik-baik. Ah ... tidak rela harus jatuh ke tanganmu. Kehidupanmu terlalu mengerikan untuk kami yang orang biasa. Aku tidak yakin ... dia bisa masuk ke dalam sana,” ucap Marisa, ada nada penolakan di dalamnya.
“Kehidupannya jauh berbeda, gadis polos sepertinya tidak cocok untukmu. Belum lagi saat harus berhadapan dengan Daddy dan Mommy. Ah, membayangkan saja aku tidak sanggup,” lanjut Marisa.
“I know,” sahut Ditya pelan, dengan logat English - Singapura-nya. Terlalu sering bolak balik ke negara yang identik dengan patung singa Merlion itu, gaya bicaranya pun sudah mirip. Hilang sudah aksen British yang didapatnya saat menempuh pendidikan di Inggris.
“Hah! Kamu sudah mencari tahu sejauh mana?” tanya Marisa.
“Semuanya, Kak. Sampai ukuran pakaian dalamnya pun, aku mengetahuinya,” sahut Ditya, tersenyum genit. Terlihat Ditya mengggigit bibir bawahnya.
“Kamu mencintainya?” tanya Marisa lagi.
Ditya melotot, memandang kakaknya tidak percaya.
“Aku menyukainya. Aku harus mengenalnya lebih dekat baru bisa memastikan apa aku mencintainya. Gila apa, tanpa perkenalan sekali lihat bisa cinta. Bullshitt! Itu bukan cinta, itu nafsu, Kak!” gerutu Ditya.
Keduanya terdiam. Marisa sedang berusaha membaca pikiran adik satu-satunya, mencari keseriusan di dalam netra lelaki yang sudah dikatakan tidak muda lagi.
“Ditya, umurmu sekarang 35 tahun, kan?” tanyanya membuka suara.
“Yup, itu artinya aku bukan mencari kekasih lagi, Kak. Aku serius mencari istri. Pendamping hidup dan ibu untuk anak-anakku. Kalau cuma buat bersenang-senang, aku tidak kekurangan wanita. Di sekelilingku banyak, tinggal menunjuk mereka akan bertekuk lutut. Mau secantik apa pun ada. Dari yang wangi parfum kelas pinggiran sampai parfum kelas atas,” jelas Ditya.
“Aku pikir-pikir dulu,” sahut Marisa.
“Hello Sist! Aku bukan meminta pendapat atau izinmu. Aku tidak butuh izinmu untuk mendekati Fro. Come on! Fro sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Jangan memperlakukannya seperti dia masih kecil saja. Aku bahkan bisa membuatnya menjadi seorang ibu detik ini juga,” ucap Ditya tertawa.
“Kurang ajar! Cukup Firstan, kamu jangan ikut-ikutan menghamili putriku!” omel Marisa.
“Itu cara paling mudah untuk meminta restu. Hahahaha ... Putramu pintar sekali, Kak.” Tawa Ditya pecah, saat melihat kakaknya cemberut.
“Tidak, kali ini aku serius. Aku hanya sekedar memberi tahu, supaya kakak tidak terkejut. Andai sewaktu-waktu aku mengantar Fro pulang atau wajah Fro tiba-tiba mengisi layar kaca,” jelas Ditya.
Marisa tidak bisa berkata-kata lagi. Bukannya ia tidak tahu, bagaimana karakter adiknya. Ditya keras kepala dan tidak bisa dicegah. Ketika Ditya menyakini sesuatu, ia akan meraihnya sampai ia yakin kalau memang itu bukan ditakdirkan untuknya.
“Kak, aku pamit dulu,” ucap Ditya, melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Baru jam segini, kamu sudah mau pulang.”
“Besok aku harus terbang ke Jerman. Mamaku sakit, Kak,” cerita Ditya, raut wajahnya meredup seketika.
“Semoga Tante cepat sembuh,” bisik Marisa.
“Kalau ada waktu, pulanglah ke Surabaya. Jenguk Mommy. Diam-diam dia sering menangis setiap mengingatmu. Daddy dan Mommy sudah tidak muda lagi. Mungkin mereka hanya gengsi untuk mendatangimu, tetapi dalam hati mereka juga sangat merindukanmu. Ingin memelukmu, Kak.” ucap Ditya, bergegas masuk kembali ke rumah, meninggalkan sang kakak yang berdiri termenung.
“Kak, aku mau meminta izin memeluk putrimu,” ucap Ditya, tiba-tiba kembali lagi,
“Hah!” Marisa kaget.
“Hanya memeluk saja,” pinta Ditya, bergegas pergi tanpa menunggu jawaban.
Terlihat Ditya menghampiri Kakak ipar dan keluarga Frolline yang masih berbincang di ruang keluarga. Termasuk Frolline, Firstan dan Angella juga ikut bergabung di sana. Ditya berpamitan dan memeluk kakak iparnya, sekaligus menyalami kedua orang tua Frolline.
“Aku pamit dulu,” ucapnya, melirik ke arah Frolline yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Fro, bisa ikut keluar denganku?” tanya Ditya, tiba-tiba. Sejak kedatangannya, mereka tidak berbincang sedikit pun, hanya basa basi sekilas di awal kedatangan Ditya.
“Sebentar saja,” pinta Ditya pelan. Frolline menurut, mengekor di belakang Ditya yang berjalan keluar rumah.
Tampak Ditya berlari menuju ke mobilnya, tempat di mana Matt, asistennya menunggu.
“Bos!” sapa Matt, tersenyum menatap Frolline yang berdiri di belakang majikannya. Dengan sigap lelaki itu membuka bagasi belakang mobilnya. Mengeluarkan sekeranjang boneka bantal bermotif pinguin pada Ditya.
“Kamu yakin memberinya barang beginian?” tanya Ditya terlihat ragu.
Matt mengangguk.
“Saya sudah melakukan cek dan ricek, Bos. Gadis ini sedikit berbeda dengan gadis-gadis Bos sebelumnya. Yang biasa dihadiahkan tas branded, parfum mewah dan barang-barang bermerk lainnya,” jelas Matt, berbisik pelan.
Ditya menurut. “Kalau gagal, aku akan memecatmu saat ini juga!” ancam Ditya, terpaksa meraih barang aneh itu dari tangan Matt dan menyerahkannya langsung kepada Frolline.
Frolline menerimanya. Berulang kali menatap boneka sekeranjang yang dihadiahkan Ditya untuknya.
“Terima kasih,” ucapnya, tersenyum menatap Ditya.
“Aku menyukai hadiahmu,” lanjut Frolline.
“Sama-sama ....” Ditya terlihat canggung, berbeda dengan Frolline tampak biasa-biasa saja.
“Emm.” Ditya tidak bisa berkata-kata. Lidahnya keluh seketika. Terlihat lelaki itu menggigit bibir bawahnya untuk menutupi kegugupan.
Sebelum maju beberapa langkah, Ditya sempat mengusap bibirnya. Jantungnya berdetak kencang. Melihat senyuman Frolline, perasaannya makin tidak karuan. Situasinya persis ketika si balon hijau meletus, sekacau itu juga hatinya saat ini.
Entah memiliki keberanian dari mana, tiba-tiba ia memeluk Frolline sambil berbisik lembut di telinga gadis itu.
“Besok, aku ke Jerman. Aku akan menemuimu lagi setelah kembali ke Indonesia,” ucapnya pelan, sembari menikmati aroma shampo yang keluar dari rambut panjang Frolline.
Buru-buru ua melepas pelukan dan masuk ke dalam mobil, menyembunyikan wajahnya yang menahan malu. Sebelum mobil bergerak maju, ia masih sempat melambaikan tangan pada Frolline.
“Gila!" umpat Ditya, mengusap wajah dengan kedua tangannya.
“Ini memalukan, Matt!” gerutunya kesal pada diri sendiri.
“Lebih susah dibandingkan saat berhadapan dengan artis atau model cantik yang merayu supaya dibawa ke tempat tidur kan, Bos?” ucap Matt.
***
T b c
Love You all
Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Nur Lizza
semangat dn maju terus om adit
2022-11-07
1
Ge
Mamanya Ditya ada brp? Ada mommy n mama.. Marissa jg blg “ smga tante lekas sembuh”
2022-02-25
0
Sunarty Narty
Ditya udh ky ABG LG jatuh cinta..🤭🤭🤭🤭🤭
2021-12-03
0