Frolline masih membeku di tempat dengan tangan menenteng shopping bag berisi ponsel. Pikirannya kacau balau dan kebingungan.
Bagaimana tidak? Lelaki yang baru tiga kali bertemu dengannya, sudah memberi hadiah barang mewah yang tidak tanggung-tanggung. Frolline masing ingat dengan hadiah pertama yang diterimanya saat pertemuan pertama. Sebuah gaun dengan merek ternama dan di pertemuan ketiga yang baru saja terjadi, Ditya menghadiahkannya sebuah ponsel mewah.
“Fro, kita harus bicara.” Tiba-tiba Firstan sudah berdiri di belakang dengan aura tidak menyenangkan.
“Aku merasa tidak ada yang harus dibicarakan,” tolak Frolline.
Belakangan Frolline mulai kesal dengan dengan sikap posesif Firstan yang berlebihan. Di minggu-minggu awal pernikahan kekasihnya dia memang susah untuk bangkit. Tetapi seiring perjalanan waktu, semuanya berubah.
Waktu memang obat yang paling ampuh menyembuhkan semua luka. Tangisannya hanya di awal-awal saja. Di hari-hari berikutnya, dia mulai bisa tersenyum. Mulai bisa bangkit dari kesedihannya.
“Fro, dengarkan aku! Jauhi Ditya. Aku tidak suka kamu dekat dengannya,” pinta Firstan dengan penuh ketegasan.
“Aku tidak mendekatinya. Dia yang selalu mencari cara untuk mendekatiku. Harusnya kamu mengancamnya First, bukan aku,” sahut Frolline, melangkah masuk.
“Ikut aku!” pinta Firstan, memaksa meraih tangan kekasihnya itu. Bergegas membawa Frolline masuk ke dalam mobilnya yang terparkir tidak terlalu jauh dari mereka berdiri.
“Lepaskan aku, First! Aku tidak mau dimarahi papa,” tolak Frolline, berusaha menghempaskan cekalan tangannya, tetapi Firstan terlalu kuat, tidak sebanding dengan tenaganya.
Keduanya sudah duduk di dalam mobil di tengah kegelapan malam. Tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali security gerbang depan. Itu pun kalau security itu memperhatikan.
“Fro, kamu masih mencintaiku?” tanya Firstan, pelan.
Hening.
Biasanya Frolline akan menjawab dengan cepat, tetapi kali ini gadis itu memilih diam. Perasaannya sulit diungkapkan saat ini. Dia sendiri bingung, apa cintanya telah pudar dan hambar. Atau memang pernikahan Firstan membuatnya menarik diri sementara.
Hilang sudah kerinduan yang dulu sering dirasakannya. Lenyap sudah kesedihan dan air mata yang dulu mengiringi pernikahan kekasihnya. Perasaannya sekarang mengambang, meski terkadang masih ada sedikit kecewa ketika melihat gaun pengantin yang harusnya dikenakannya saat pernikahan tergantung begitu saja di lemarai pakaian.
“Aku tidak tahu. Kamu sudah memiliki Kak Angell,” sahut Frolline pelan.
“Cium aku sekarang kalau begitu,” pinta Firstan dengan nada manja.
Sudah lama sekali rasanya, mereka tidak bicara seakrab ini. Dulu semasa pacaran, setiap pulang kantor dia akan mampir di sini. Sekedar menyapa atau berbincang. Dan akan pulang setelah Frolline tertidur.
Namun, sekarang semua berbeda. Tidak ada lagi kebiasaan itu. Bahkan sekarang, dia hanya bisa mencuri kesempatan untuk memeluk Frolline.
“Apa aku bercerai sekarang saja. Menurutmu bagaimana, Fro?” tanya Firstan, menunggu jawaban.
“Sudah sampai sejauh ini, kenapa mundur sekarang. Bukankah pernikahan ini untuk bayi yang ada di kandungan Kak Angell. Bagaimana nasibnya kalau kalian bercerai sekarang. Bagaimana dengan Kak Angell?” tanya Frolline, terkejut.
“Angell pun tidak peduli. Disaat hamil, dia bukannya mencari tahu tentang kehamilan, dia sibuk mencari perguruan tinggi di luar negri.” Firstan bercerita.
Terdengar helaan napas kasar dari lelaki itu, kemudian meraih tangan Frolline dan menggengamnya erat.
“Fro, kamu masih mengingat janji kita bertiga kan?” tanya Firstan tiba-tiba. Mengingat kembali semua peristiwa demi peristiwa yang mengubah kehidupannya, Frolline dan Angella. Sampai akhirnya beberapa jam sebelum menikah mereka membuat kesepakatan bersama tanpa diketahui orang tua.
“Setelah Angell melahirkan, akan ada perceraian. Aku akan mendapatkan bayinya dan Angell mendapatkan kebebasan. Kamu masih mengingat semuanya kan Fro?” Firstan mengingatkan apa yang telah mereka bertiga sepakati bersama.
“Bukankah sebelum kami menikah, kamu menyetujuinya. Kenapa sekarang sepertinya kamu melupakan semua. Bahkan tangis dan kesedihanmu, di hari pernikahanku sudah hilang entah kemana,” ucap Firstan memejamkan matanya.
“Kamu masih ingat kan, kita akan menikah setelah aku bercerai?” tanya Firstan lagi.
Frolline masih saja diam. Jangankan bersuara, membuka mulut pun tidak. Dia sendiri sudah mulai tidak yakin dengan perasaannya. Mungkin jarak membuat hatinya berubah. Sementara atau selamanya kah?
Firstan cinta pertamanya. Dia mencintai lelaki itu, bahkan sebelum memahami arti cinta itu sendiri. Mereka bertiga tumbuh bersama, tertawa bersama dan berbagi bersama. Sampai akhirnya begitu mengenakan seragam abu-abu, Firstan mengungkapkan semua rasa yang selama ini juga dia rasakan.
“Fro, kamu masih menungguku kan?” tanya Firstan memastikan.
“Aku tidak tahu,” sahut Frolline pada akhirnya.
“Karena Ditya?” tanya Firstan.
Frolline menggelengkan kepala. “Aku bahkan tidak mau mengenalnya lebih jauh lagi. Kamu tahu kan tipeku. Dan Ditya bukan tipeku. Terlalu tua dan serius. Aku tidak menyukainya,” sahut Frolline.
“Ada lelaki lain?” tanya Firstan lagi.
“Tidak ada siapa-siapa. Aku sedang menikmati hidupku seperti remaja lain. Menikmati kebebasanku,” ucap Frolline.
“Menikmati rasanya tidak terikat dengan siapa pun,” jelas Frolline.
“Dan aku menikmati hidupku sekarang. Tidak ada yang mengaturku, tidak ada yang meminta penjelasan ketika aku melangkah, tidak perlu bertanya apakah boleh atau tidak. Aku menikmati hidupku sekarang.”
“Kamu lupa, kamu masih kekasihku. Kita masih pacaran sampai sejauh ini. Jangan berpikir, pernikahanku mengubah segalanya,” tegas Firstan, meraih tubuh Frolline dan mendekapnya erat.
Deg—
“Aku masih mencintaimu sebesar dulu. Tidak ada yang berubah. Bahkan pernikahanku tidak mengubah apapun, Fro,” bisik Firstan.
“Cium aku sekarang, seperti dulu yang biasa kita lakukan. Aku benar-benar merindukanmu Fro,” ucap Firstan, sebelum mengecup lembut bibir Frolline.
Rasanya sudah lama sekali, tidak mencium Frolline. Bibir itu masih sama manisnya, masih sama memabukannya.
Kali ini, Frolline membalas ciuman Firstan. Ikut hanyut dengan perlakuan lembut lelaki yang sudah lama mengisi hidupnya. Lama keduanya saling berciuman, sampai terdengar bunyi ketukan di jendela mobil.
Keduanya langsung saling melepas, mengatur napas yang masih memburu hebat.
“Bunyi apa itu?” tanya Firstan mengedar pandangan di tengah kegelapan. Tetapi tidak ada siapa-siapa.
“Aku harus masuk ke dalam,” ucap Frolline, merapikan rambutnya yang berantakan. Sebelum pintu mobil itu terbuka, terlihat Firstan mencegah.
“Aku cemburu melihat Ditya mendekatimu. Sekali lagi aku melihatnya di sekitarmu. Aku akan membuat perhitungan dengannya,” ancam Firstan.
***
Ditya baru menyelesaikan acara berendamnya. Masih dengan balutan bathrobe, lelaki tampan itu keluar dari kamarnya sembari memegang ponsel.
Senyum terkembang di bibir, sebelum menghubungi nomor Frolline. Baru saja mereka bertemu, tapi dia sudah merindukannya.
Berulang kali menghubungi nomor ponsel baru yang dihadiahkannya, tetapi tidak ada satu pun panggilannya diterima Frolline.
“Dia kemana saja?” keluh Ditya, mengerutkan dahinya. Melempas kasar ponsel mahalnya di atas meja bar. Kembali meraih sebotol anggur dan menuangkannya ke dalam gelas kristal.
Baru saja dia akan menikmati anggur untuk meredam kekesalannya, bunyi lift mengalihkan pandangannya.
Ting!
Muncul Matt dengan seseorang yang belum dikenalnya. Kembali Ditya menatap keheranan.
“Bos!” sapa Matt.
“Kenalkan ini salah satu orang suruhanku yang biasa mengawasi Nona Frolline,” lanjut Matt.
Mendengar nama Frollie, Ditya langsung fokus dan bersemangat. Tersenyum ramah pada lelaki muda dengan jaket kulit hitam dan wajah gaharnya.
“Ada apa?” tanyanya. Masih dengan menggengam segelas anggur, dia menghempaskan tubuh lelahnya di atas sofa.
“Maaf Bos. Saya mau melapor. Saya tidak bisa mendapatkan fotonya, karena terlalu gelap dan kejadiannya di dalam mobil.”
“Katakan apa yang kamu lihat,” perintah Ditya. Raut wajahnya berubah serius. Melihat sepenggal cerita dari orang suruhan Matt, pastilah bukan berita baik yang mau disampaikan.
“Gadis itu berciuman dengan seorang pria di dalam mobil, di pekarangan rumahnya,” ceritanya dengan wajah tertunduk.
Prang!!! Kembali sebuah gelas menjadi korban. Tampak Ditya mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Emosinya terpancing hanya dengan mendengar Frolline berciuman.
“Tetap awasi gadis itu!” perintah Ditya, mengatur napas berusaha meredam amarahnya. Meraih ponsel dan mencari foto seseorang di galeri.
Ditya melempar ponselnya pada Matt.
“Tunjukan padanya Matt!” titah Ditya, meminta asistennya menunjukan foto Firstan yang tersimpan di ponselnya.
“Kalau lelaki itu berani menyentuh gadis itu lagi, kamu boleh mematahkan kaki dan tangannya saat itu juga. Jaga Frolline, jangan sampai ada yang menyentuhnya!” perintah Ditya dengan nada penuh kemarahan.
“Baik Bos!”
“Kamu boleh keluar sekarang!” perintah Ditya.
Matt yang masih berdiri mematung seolah paham kalau tuan mudanya masih membutuhkan kehadirannya. Dia tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri.
“Perketat pengawalan pada Frolline. Sebisa mungkin jangan sampai Firstan menyentuhnya.”
“Aku tidak percaya dengan keponakan brengs”ek itu. Bukan hanya kakaknya, aku takut dia menghamili adiknya juga,” ucap Ditya penuh amarah.
***
T b c
Love You all
Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Nur Lizza
sabar dit
2022-11-07
1
Henny Kesumawati
next🥰
2022-08-01
0
yuli
terlalu manis,, jadi keinget perlakuan koditya ke kailla bener² sesuatuh,,
2022-03-17
0