Frolline masih menatap keranjang besar berisi boneka di tangannya. Setelah memastikan iringan mobil itu menghilang di balik gerbang, dia pun masuk kembali.
“Lelaki aneh!” ucap Frolline pelan. Mengingat kelakuan Ditya yang tiba-tiba memeluknya.
“Fro, kenapa dia memelukmu?” tanya Firstan. Tiba-tiba, lelaki muda itu sudah muncul di dekat pintu masuk dengan wajah tidak bersahabat. Kecemburuan terlihat jelas di matanya.
“Ikut denganku!” ajaknya. Meraih tangan Frolline dan membawa gadis itu berbincang di taman belakang. Sengaja Firstan membawa keluar melalui pintu samping, tidak melewati sekumpulan orang tua yang sedang mengobrol di ruang tengah.
Angella yang sempat melirik sekilas kepada suami dan adiknya, tidak peduli. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Hampir di setiap pertemuan keluarga, Firstan dan Frolline akan mencuri kesempatan berbincang berdua di belakangnya.
“Kamu tidak melupakan janji kita, kan?” tanya Firstan memastikan. Menatap wajah cantik Frolline yang sampai saat ini masih berstatus kekasihnya.
“Apa-apaan, First. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Om-mu itu. Dia hanya memberiku ini,” sahut Frolline, mengangkat keranjang rotan berisi boneka ke hadapan Firstan.
“Kenapa dia memelukmu?” tanya Firstan lagi. Ia benar-benar kesal melihat Ditya memeluk Frolline.
“Aku tidak tahu, tanyakan saja padanya,” sahut Frolline dengan santainya. Gadis itu terlihat biasa saja.
“Apa yang dikatakannya padamu, Fro?” Pertanyaan demi pertanyaan meluncur keluar dari bibir Firstan. Butuh jawaban dan kepastian. Sejak menikah dengan Angella, kepercayaannya pada Frolline menurun. Sedikit saja gadis itu berdekatan dengan lelaki, ia akan langsung menginterogasi.
“Kenapa kamu jadi cerewet sekali, First. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Tidak ada rasa sama sekali,” gerutu Frolline, kembali bertengkar dengan Firstan.
“Fro, kamu ingat janji kita, kan?” tanya Firstan lagi.
“Ya, aku ingat. Sementara urusi saja bayimu. Kenapa sekarang kamu sering mengajak bertengkar, First. Kamu berduaan dengan Kak Angell, aku tidak pernah protes,” gerutu Frolline.
“Itu beda, Fro.” Firstan kembali membela diri. Seperti biasa, ia tidak mau disalahkan.
“Sudahlah. Aku tidak mau bertengkar. Aku mengantuk, mau pulang,” sahut Frolline, melangkahkan kakinya masuk kembali ke dalam rumah. Tetapi, baru saja beranjak, Firstan sudah menarik tangannya kembali.
“Aku masih mencintaimu sama seperti dulu, Fro,” bisiknya, memeluk erat Frolline dari belakang.
“Jangan pernah berselingkuh dariku,” bisik Firstan kembali.
“Kamu yang berselingkuh dariku, First. Ingat itu! Jangan memutar-balikan fakta,” ucap Frolline kesal.
“Sudah. Aku mau pulang. Aku mengantuk, First,” ucap Frolline, melepas belitan tangan Firstan yang memeluk pinggangnya.
***
Seminggu berlalu, tidak ada yang istimewa. Keseharian Frolline hanya dihabiskan dengan jalan-jalan, ke mal, belanja dan menonton. Tidak ada satu pun hal berguna yang dilakukan gadis manja itu.
Setelah menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar sarjananya, Frolline memang menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Sebenarnya, Gunawan, papanya Frolline sudah meminta putrinya bergabung di perusahaan. Membantunya dan sang kakak yang sudah lebih dulu terjun ke perusahaan mereka.
Selalu ada saja alasan Frolline yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan memasak dan mendekorasi rumah. Wanita karir bukanlah impiannya, mengurus perusahaan bukanlah cita-citanya. Tidak ada sedikit pun rasa iri saat melihat Angella, kakaknya dengan setelan kerja tampil anggun dan high heel, tas tangan bermerk menduduki posisi tertinggi kedua di perusahaan mereka.
Kalau boleh jujur, ia lebih iri pada mamanya yang pintar mengolah semua jenis makanan. Dari menu utama sampai penutup, dari jajanan pasar sampai cake-cake dengan tampilan cantik luar biasa.
Hari ini, begitu selesai membantu mamanya memasak, Frolline sudah siap jalan-jalan, sekedar kuliner atau mampir ke toko buku untuk mencari buku resep keluaran terbaru, menambah koleksi di rak bukunya.
“Ma, aku berangkat sekarang,” pamit Frolline. Gadis itu sudah meraih kunci mobilnya. Berlari keluar menenteng tasnya. Dengan rambut dikuncir asal dan dandanan casual, Frolline bergegas menuju mobil.
“Fro, jangan pulang terlalu malam. Mama tidak mau mendengar omelan papamu!” teriak mamanya dari dalam rumah. Entah gadis itu mendengar atau tidak. Frolline terlalu bersemangat dan menikmati kebebasannya.
Sudah tersusun berbagai rencana untuk menghabiskan sepanjang hari ini. Dari jalan-jalan di pusat kota, setelahnya ia akan menjelajah isi toko buku di sebuah mal.
Baru saja ia menyalakan mesin mobil, terdengar dering ponsel dari dalam tas. Raut wajahnya berubah kesal melihat kemunculan nama Firstan di layar ponselnya.
“Ya, ada apa, First?” tanyanya dengan ketus. Belakangan ini, ia sering kesal dengan lelaki ini. Semakin hari semakin cerewet. Tiada hari tanpa mengawasi kegiatannya, terus-menerus mengecek keberadaannya.
“Kita makan siang bersama hari ini,” ucap Firstan, singkat, padat dan jelas.
“Next time!” tolak Fro, tidak kalah singkatnya. Bukannya ia tidak tahu, permintaan makan siang hanya akal-akalan Firstan untuk mengawasi keberadaannya. Sejak menikah, Firstan selalu mengunakan berbagai cara untuk memastikan kalau Frolline tidak berselingkuh di belakangnya.
“Aku akan menunggumu! Nanti aku kirimkan alamatnya,” ucap Firstan, tidak memberi peluang Frolline membantah.
“Nanti aku akan menghubungimu lagi, Fro. Aku harus rapat sekarang,” putus Firstan, tidak memberi kesempatan Frolline bicara.
“Selalu begitu!” dengus Frolline kesal, segera melajukan mobilnya menembus jalanan ibu kota.
***
Waktu sudah menunjukan pukul 17.00 sore, saat mobil Mini Cooper milik Frolline masuk ke pekarangan rumahnya. Menyusul di belakangnya sebuah Pajero Sport hitam ikut melenggang masuk ke halaman rumah dua lantai dengan konsep minimalis itu.
Terlihat raut wajah Frolline tidak bersahabat. Bagaimana tidak. Ia tidak memenuhi permintaan Firstan yang mengajaknya makan siang bersama hari ini. Dan imbasnya lelaki itu menghubunginya berkali-kali, bahkan sekarang Firstan menyusulnya sampai ke rumah.
“Fro!” panggil Firstan, menyusul kekasihnya yang melenggang masuk dengan menenteng kantong belanjaan berisi buku-buku yang baru saja dibelinya.
“Fro!”
Kembali Firstan meneriaki, bergegas menyusul masuk ke dalam rumah yang kebetulan pintunya terbuka lebar.
“Fro, kita harus bicara,” ucap Firstan, meraih tangan Frolline yang membeku di tempatnya berdiri.
“Fro ...." Kalimat Firstan mengambang. Lelaki itu ikut membeku, berdiri di samping Frolline. Mereka berdua menatap ke arah yang sama.
“Kamu dari mana saja, Fro?” tanya Gunawan. Nada bicaranya sedikit keras dari biasa, menatap putri dan menantunya bergantian.
Frolline tidak menjawab, pandangannya tertuju pada sosok lain yang menemani papanya. Lelaki tampan yang seminggu lalu memeluknya tanpa alasan.
“Ditya ....”
Frolline menyapa. Tidak habis pikir, bagaimana lelaki itu bisa sampai ke rumahnya. Bukankah mereka tidak pernah bertukar kabar, tidak pernah bertukar nomor ponsel apalagi alamat rumah. Namun, bagaimana Ditya bisa mengetahui banyak hal.
Bahkan, saat ini Ditya sedang duduk santai di sofa rumahnya, dijamu langsung oleh papanya.
“Selamat sore, Fro,” sapa Ditya, tersenyum. Pandangan beralih pada Firstan, sang keponakan.
“So-sore,” sahut Frolline, masih tidak yakin dengan penglihatannya.
“Bagaimana kamu bisa sampai ke sini, Ditya?” tanya Frolline. Bergegas mendekati lelaki yang sedang duduk di sisi papanya.
“Panggil dia, Om. Jangan tidak sopan seperti ini, Fro.” Gunawan mengingatkan putrinya.
“Papa, dia terlalu muda. Om itu untuk lelaki tua dengan perut buncit dan rambut hampir botak licin mengilap,” sahut Frolline, tersenyum.
“Fro, kamu menyindir Papa!” omel Gunawan kesal, ciri-ciri yang disebutkan putrinya itu mengarah kepada bentuknya.
“Ah, aku bercanda, Pa,” ucap Frolline, memeluk papanya sembari tertawa.
Ditya yang menyaksikan pemandangan di hadapannya ikut tersenyum. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya pada sang keponakan
Senyuman itu berubah sinis, sembari menyindir. “Kamu tidak menyapa Om-mu, First.”
Firstan melangkah masuk. “Mau apa Om ke sini?” tanyanya sinis.
“Yang jelas tidak ada hubungannya denganmu. Aku ada urusan dengan Pak Gunawan,” jelas Ditya.
Tersenyum puas karena merasa di atas angin. Bukannya Ditya tidak tahu, sejak keponakannya itu menikah dengan Angella, Gunawan tidak menyukai kedekatan Firstan dan Frolline.
“Fro, ini untukmu.”
***
T b c
Love you all
Terima kasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Nur Lizza
yes babang tya sedikit ada ke majuan
2022-11-07
1
Nikita Yasasi
heleh..aneh
2022-10-05
0
Indah Fajar Surya
aq koq muak liat fris
udh nikah masih ada ngejar fro
2022-03-03
0