Dua mobil sedan hitam metalic dengan logo bintang tiga berjalan beriringan memecah jalanan ibu kota. Kedua mobil itu mengarah ke selatan Jakarta, tepatnya ke salah satu komplek perumahan mewah yang ada di sana.
Ditya sengaja memakai sopir pribadi serta membawa asisten dan dua bodyguard ketika berkunjung ke rumah kakaknya. Ia tidak mau ketahuan sang daddy berkeliaran tanpa pengawalan dan akhirnya akan berimbas pada sang kakak.
Bukannya Ditya tidak tahu, walaupun sudah mencoret Marisa dari daftar ahli waris, tetapi daddy-nya itu tetap meminta orang mengawasi keluarga kakaknya.
Iringan mobil itu berhenti tepat di sebuah rumah mewah bernuasa putih dengan pilar-pilar yang tinggi menjulang. Halamannya juga luas, lengkap dengan kolam renang di sisi kiri rumah.
Mewah dan nyaman, itulah kesan yang bisa ditangkap dari bangunan megah bergaya Eropa klasik. Walaupun rumah Marisa tidak bisa disandingkan dengan istana Halim yang berdiri di atas lahan yang luas lengkap dengan lapangan golf, danau buatan, kolam renang outdoor dan indoor. Belum lagi bangunan yang luasnya ribuan meter persegi itu dilengkapi dengan lift dan helipad.
Namun, rumah mewah Halim hanya dihuni oleh Daddy dan Mommy saja. Ditya memilih tinggal di apartemennya yang tidak kalah mewah dilengkapi dengan private pool dan private lift. Sedangkan Marisa, sejak menikah terusir dari istana Halim. Sampai detik ini tidak pernah menginjakan kakinya kembali ke sana.
Mobil yang ditumpangi Ditya berhenti di halaman rumah mewah kakaknya. Diantara mobil-mobil yang terparkir di sana, matanya tertuju pada sebuah mobil yang masih diikat pita biru.
“Ditya!” pekik Marisa, menyambut kedatangan adiknya.
“Kapan datangnya, Kak?” tanya Ditya menunjuk pada mobil sedan hitam berpita biru.
“Anak nakal! Aku sudah mengatakannya berulang kali jangan mengirim hadiah,” keluh Marisa, menepuk pundak adiknya.
“Itu untuk Kakak ipar, bukan untukmu, Kak,” ucap Ditya, melenggang masuk ke dalam rumah.
Matt dan para bodyguard sudah cukup paham, mereka menunggu di mobil sampai mendapat instruksi. Ditya tidak suka pergerakannya diikuti.
Saat masuk ke ruang tamu, pandangannya terpaku pada sosok manis yang sedang mengernyit, bercanda dengan mamanya. Dunia berhenti seketika, hampir sebulan mereka tidak bertemu. Frolline jauh lebih baik dari pertemuan mereka yang terakhir.
“Dia terlihat berubah. Tidak menangis lagi,” batin Ditya.
Dengan langkah pasti, Ditya menghampiri Frolline yang sedang berbincang dengan para orang tua. Gadis itu sedang menjadi bulan-bulanan, karena tertinggal ia seorang yang masih sendiri. Firstan dan Angella sudah menikah.
“Ah, Mami. Aku tidak mau bekerja, cukup mencari suami kaya dan aku bisa membeli apa saja,” celoteh Frolline saat diminta masuk ke perusahaan papanya.
Marisa tertawa. “Ah, putriku sudah pintar sekarang,” sahutnya menepuk pucuk kepala Frolline.
“Itu karena kamu memanjakannya setiap waktu, Risa. Dia jadi pemalas sekarang,” keluh Nyonya Gunawan, Mama Frolline.
“Karena tertinggal dia. Kita harus benar-benar menjaganya, supaya tidak jatuh ke tangan yang salah,” lanjut Papi Firstan.
“Papi, aku merasa menjadi putri satu-satunya,” ucap Frolline.
“Aku belum mau menikah sekarang. Aku mau berjalan-jalan keliling dunia,” lanjut Frolline, kembali tertawa.
Ditya berdiri mematung. Sejak tadi, ia hanya diam memerhatikan. Sesekali tersenyum saat Frolline mengucapkan sesuatu, sampai sang kakak menyadarkannya.
“Ditya, mari bergabung di sini. Putriku sedang stand up comedy,” ucap Marisa, menarik adiknya untuk duduk di sisinya.
Ditya menurut, menyapa satu-persatu yang duduk lebih dulu di sana, termasuk Papa dan Mama Frolline.
“Ditya!” panggil Frolline saat menyadari lelaki yang pernah dikenalnya sebulan yang lalu ikut duduk hadapannya.
“Ke mana saja? Kenapa baru muncul sekarang?” tanya Frolline terlihat biasa.
“Aku sedang banyak pekerjaan.” Ditya menjawab singkat, sesekali melempar senyuman.
“Kamu harus memanggilnya Om, Fro!” ucap Marisa, protes dengan cara Frolline memanggil adiknya.
“Dia adikku satu-satunya,” jelas Marisa lagi.
Frolline memerhatikan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Lama menatap sampai Ditya salah tingkah sendiri.
“Ah, dia terlalu muda, Mami. Aku tidak mau memanggilnya Om!” tolak Frolline akhirnya.
“Panggil aku Ditya,” ucap Ditya, ikut menyetujui permintaan Frolline. Terdengar aneh harus dipanggil Om oleh gadis yang disukainya.
Dari arah dapur muncul Angella dan Firstan ikut bergabung. Kembali Marisa mengingatkan putra dan menantunya untuk menyapa adiknya.
“Om!” sapa Angella dan Firstan bersamaan.
Kalau Angella bersikap ramah, berbeda dengan Firstan yang bersikap tidak bersahabat. Ia masih mengingat jelas pertengkaran mereka sebulan yang lalu. Kalau bukan karena maminya, ia akan berpikir ulang untuk mengakui Ditya sebagai Om-nya.
“Terima kasih hadiahnya, Om,” ucap Angella yang mengingat kalau Ditya telah memberinya dan Firstan hadiah pernikahan sebuah rumah mewah di perumahan yang sama dengan mertuanya.
Ditya tersenyum dan mengangguk.
***
Acara makan malam itu berjalan hangat, dengan Frolline sebagai bintang utama. Karena dari awal sampai akhir, hanya ia saja yang berceloteh tanpa henti.
Sedangkan Ditya, pria itu paling diam sendiri. Tidak berbicara ataupun terlibat dalam percakapan. Hanya menyimak, sesekali menjawab saat ditanya.
Namun tanpa ada yang menyadari, sejak awal perhatiannya hanya tertuju di satu titik, yaitu Frolline. Meskipun tidak ada percakapan sama sekali dengan gadis yang mencuri perhatiannya.
Selesai makan malam, Ditya terlihat menghampiri Papa Frolline yang sedang duduk menyendiri di ruang tamu.
“Malam, Om,” sapanya, berusaha membuka pembicaraan, ikut duduk di sebelah Gunawan.
“Oh, silakan. Tidak bergabung dengan yang lain?” tanya Gunawan. Tatapannya tertuju pada pemilik rumah, istri, putri dan menantunya yang sedang berbincang di ruang keluarga.
“Tidak, aku tidak terlalu suka keramaian,” sahut Ditya singkat, sesekali melirik ke arah Frolline yang sedang menebar canda tawa di ruang sebelah.
“Emm ... bagaimana dengan bisnis property akhir-akhir ini, Om?” tanya Ditya tiba-tiba.
Sejak tadi ia memutar otak untuk membuka pembicaraan dengan Papa Frolline. Selain untuk mengisi kejenuhan, ia juga merasa perlu mengenal lebih dekat keluarga dari gadis yang disukainya.
Beruntung, Matt sudah mengumpulkan data-data tentang keluarga Frolline, jadi ia tidak bingung ketika dihadapkan dengan situasi canggung seperti ini.
“Bisnis property sedang lesu. Jauh dibandingkan tahun lalu,” jelas Gunawan.
“Kamu sendiri bekerja di bidang apa?” tanya Gunawan.
“Aku bekerja di perusahaan farmasi, suplemen, nutrisi, dll,” sahut Ditya, tidak terlalu menjelaskan statusnya. Kemungkinan kakaknya, Marisa juga tidak akan menggunakan nama besar Halim Hadinata, mengingat Marisa sudah terusir sejak menikah dengan kakak iparnya.
Keduanya terlibat perbincangan serius, sampai Marisa memanggilnya untuk berbicara berdua.
***
“Ditya, bagaimana kabar Mommy?” tanya Marisa. Setelah sekian lama memendam kerinduan, akhirnya pertanyaan ini muncul juga di bibirnya.
“Mommy baik. Kenapa tidak pulang ke rumah, mencoba berdamai dengan Daddy dan Mommy?” tanya Ditya. Mereka sedang berdiri di samping kolam renang. Tempat yang lebih privacy untuk membahas masalah keluarga mereka.
“Kalau Daddy, aku masih sering melihatnya di televisi, tetapi Mommy, tidak pernah muncul sama sekali,” ucap Marisa berkaca-kaca.
“Pulanglah ke rumah, Kak. Mereka juga pasti merindukanmu. Kasihan putramu, dia juga berhak menikmati kekayaan Halim Hadinata,” ucap Ditya.
“Aku juga sudah hampir dua bulan tidak pulang ke Surabaya,” cerita Ditya.
“Bagaimana denganmu? Kamu tidak ada rencana menikah?” tanya Marisa tiba-tiba, mengalihkan topik pembicaraan.
***
T b c
Love You all
Terima kasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Nur Lizza
lnjut
2022-11-07
1
Hana Sumiyawati
makin kubaca makin timbul penasaran nih. semangat thor
2022-02-14
0
Sunarty Narty
nah Ditya minta jodohin tu ma kk mu,kk mu kn dkt dg fro..
2021-12-03
0