Asmara Belia

Asmara Belia

Bagian 1. Kelas Baru

Assalaamu 'alaikum Kanca

Selamat Membaca

Semoga Suka

💙💙💙

Liburan kenaikan kelas telah usai, siswa-siswi yang sedang menikmati masa liburannya kini harus kembali pada rutinitas semula, yaitu masuk ke sekolah seperti biasanya, sama seperti seorang gadis muslimah yang pagi-pagi sekali sudah rapi dengan seragam abu-abunya, dialah Zaina Tanisha. Usai merapikan khimar yang menutupi kepala sampai di bawah dadanya, Zaina beranjak mengambil tas selempangnya lalu ia keluar dari kamarnya, tak lupa ia berucap bismillah untuk memulai lembaran barunya sebagai siswi kelas XI SMA di salah satu sekolah yang ada di Ibukota Jakarta ini.

Zaina menghentikan langkahnya di ruang makan, aroma masakan sudah tercium semerbak di indera penciumannya, ia pun mengedarkan pandangannya ke meja makan yang sudah tersaji nasi goreng plus telur ceplok.

"Selamat pagi Putri Ayah," sapa seorang laki-laki paruh baya yang baru saja selesai menyajikan masakan buatannya.

Zaina tersenyum ke arah sang Ayah yang bernama Lutfan, kemudian ia membalas ucapan selamat paginya.

"Selamat pagi juga Ayah, wah ini Ayah yang masak?"

Lutfan mengangguk seraya mengajak sang putri untuk duduk di kursi yang kosong, "Iya ini Ayah yang masak, spesial untuk Putri Ayah yang akan berangkat sekolah, ayo kita makan."

Zaina mengangguk cepat, ia sudah tidak sabar ingin mencicipi nasi goreng buatan sang Ayah yang dibuat spesial untuknya, tak lupa Zaina berdoa dulu sebelum makan. Dan wajah Zaina langsung berubah setelah selesai memasukkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya.

"Maa syaa Allah ini enak banget Ayah, Ayah memang hebat, meskipun Ayah seorang dosen tapi Ayah juga jago masak, Zaina sayang Ayah," ucap Zaina sembari menghampiri Lutfan dan memberikannya pelukan sayang.

"Ayah juga sayang Zaina, meskipun Zaina tidak tinggal bersama Ibu tapi Ayah akan berusaha untuk menjadi Ayah dan Ibu untuk Zaina."

"Terima kasih Ayah."

"Sama-sama Nak."

Zaina memang tinggal hanya bersama sang Ayah, karena kedua orang tuanya sudah berpisah, tepatnya tujuh tahun yang lalu. Ibunya yang bernama Unaisha tinggal bersama adiknya yang kini berumur 9 tahun, Lais namanya. Meskipun kedua orang tuanya telah berpisah namun Zaina dan Lais tetap mendapatkan kasih sayang dari keduanya, Lutfan dan Unaisha tetap menjaga hubungan yang baik demi kebahagiaan anak-anak mereka, mereka memang sudah bukan suami istri lagi tapi bagi anak-anak mereka, mereka tetap Ayah dan Ibunya.

Zaina melirik jam tangan berwarna pink yang melingkar indah di pergelangan tangannya, jam menunjukkan pukul 06.25 pagi, Zaina sudah harus berangkat sekolah agar ia tidak terlambat, dan sarapannya juga telah selesai.

"Ayah, Zaina berangkat sekolah dulu ya, assalaamu 'alaikum.''

"Iya hati-hati ya bawa motornya, jangan ngebut, wa 'alaikumus salaam.''

Usai berpamitan dan mencium tangan sang Ayah, Zaina melangkah keluar dari rumahnya, ia pun menaiki motor matic berwarna pink kombinasi putih yang terparkir di garasi rumahnya yang nampak standart, tidak besar juga tidak kecil. Usai memakai helm cantik yang berwarna pink, Zaina pun menyalakan mesin sekaligus melajukan motornya dengan kecepatan yang sedang, sesuai nasihat sang Ayah untuk berhati-hati dan tidak mengebut tentunya demi keselamatannya.

*****

Zaina sudah sampai di sekolahnya, ia memarkirkan motornya dengan rapi, setelah itu ia membuka helmnya dan turun dari motornya. Zaina melangkah menuju kelasnya namun saat kedua kakinya menampaki lantai koridor tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya, Zaina pun menoleh ke arah sumber suara itu.

"Zeya?," panggil lirih Zaina dengan tatapan mata yang bertanya-tanya saat melihat seorang gadis yang seumuran dengannya itu berjalan cepat menghampirinya.

Zaina menatap gadis berhijab di hadapannnya dengan rasa tidak percaya, ia merasa aneh dengan sahabat karibnya ini yang sudah setahun menjalin hubungan persahabatan dengannya.

"Zeya ini kamu?, ini sungguhan kamu?," tanya Zaina tak percaya.

Zeya menganggukkan kepala seraya mengembangkan senyuman termanisnya, ia juga sempat memperbaiki khimarnya yang kurang rapi, maklum ini pertama kalinya ia menggunakan khimar yang menutupi kepalanya.

"Iya ini aku, masa kamu sudah lupa sama aku gara-gara liburan kemarin?," Zeya sempat kesal karena sahabatnya sendiri sudah melupakannya.

Zaina menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia bukan lupa dengan Zeya tetapi ia merasa ada yang berbeda dari sahabatnya ini.

"Bukan Zeya, aku bukan lupa sama kamu, cuma, maa syaa Allah kamu cantik sekali hari ini, kamu cantik lho pakai khimar, aku sampai pangling melihatnya."

Zeya pun tersenyum usai mengetahui alasan Zaina hampir tidak mengenalinya, yaitu karena kain polos berwarna putih yang menutupi kepalanya sampai hampir menutupi dadanya juga.

"Iya Zaina alhamdulillah aku sudah memantapkan hati aku untuk menutup aurat, aku mendapatkan hidayah dari kamu, ketaatan kamu sama Allah membuat aku sadar dan mata hatiku terbuka lebar. Selama satu tahun kita bersahabat, aku mendapatkan banyak sekali ilmu agama dari kamu, salah satunya tentang menutup aurat, doakan aku ya semoga aku istiqomah."

Zaina langsung berhambur memeluk Zeya dengan rasa haru yang tak tertahankan. Ia senang sekali karena kini sahabat satu-satunya sudah mau menutup auratnya sama seperti dirinya, tiada kebahagiaan yang paling indah kecuali melihat sahabat sendiri mulai taat kepada perintah Allah, itulah yang Zaina rasakan saat ini.

"Aamiin, aku akan selalu doakan kamu agar istiqomah, kita saling mengingatkan ya, saling mengingatkan dalam hal kebaikan."

Zeya mengangguk, ia sempat mengusap air matanya yang terjatuh lirih, "Zaina terima kasih ya, terima kasih sudah mau menjadi sahabat aku, aku bersyukur bisa bersahabat sama kamu, kamu membawa hal positif dalam hidup aku, aku juga mendapatkan hidayah dari kamu, dari kamu yang selama ini tidak pernah lelah untuk mengingatkan aku kepada Allah."

Kini giliran Zeya yang berhambur memeluk Zaina dengan rasa haru yang luar biasa. Ia bersyukur karena memiliki teman dekat yang sholihah seperti Zaina, bahkan tanpa disangka telah membawa hidayah dari Allah untuknya.

"Sama-sama Zeya, ini semua karena Allah, Allah yang memberikan hidayah sama kamu, aku hanya perantaranya saja."

Usai berpelukan hangat dengan cucuran air mata haru, akhirnya sepasang sahabat ini melangkah bersama menuju kelas baru mereka setelah mereka dinyatakan naik ke kelas XI SMA. Dulu saat kelas X SMA mereka satu kelas dan sekarang mereka satu kelas lagi, Zaina dan Zeya sama-sama bersyukur karena Allah masih mengizinkan mereka untuk tetap satu kelas.

Kini Zaina dan Zeya sudah masuk ke kelas baru mereka, teman-teman yang lainnya juga sudah mulai berdatangan, Zaina memilih duduk di bangku tengah nomor dua sementara Zeya duduk di bangku bagian kanan tepat sebelah bangku Zaina.

Sementara di luar kelas ada dua orang siswa laki-laki yang sedang berjalan menuju kelas yang dimasuki oleh Zaina dan Zeya, mereka adalah sepasang teman dekat namun penampilannya berbeda jauh, yang satu penampilannya sangat keren ditambah paras wajahnya yang rupawan sehingga para siswi yang menatapnya tak bisa berpaling akan pesonanya, dialah Muhammad Xakiel Rafisky. Sementara siswa laki-laki yang satunya yang bernama Wafi Wahidan berpenampilan cukup keren, paras wajahnya juga cukup mendukung namun tak bisa menandingi ketampanan dan kekerenan sosok seorang Xakiel yang wajahnya seperti arti namanya yaitu tampan.

Setelah sampai di depan kelas mereka tidak lantas segera masuk, melainkan berdiri di samping ambang pintu sembari memandangi satu persatu siswi-siswi yang masuk ke kelasnya.

"Lo ngapain sih Kiel masih tebar pesona ke cewek-cewek lain?, lo kan sudah punya pacar," oceh Wafi yang tidak habis pikir dengan kelakuan Xakiel yang suka tebar pesona, untung tampan kalau tidak mungkin Wafi akan berpura-pura tidak mengenalinya.

"Gue sudah putus sama Maya," jawab Xakiel dengan santai.

Wafi yang mendengarnya malah terkejut sampai kedua matanya terbelalak tak percaya, "Lo seriusan sudah putus sama Maya?, kenapa putus?, Maya itu cewek tercantik di sekolah ini lho Kiel, banyak yang tergila-gila sama Maya, termasuk gue juga."

Xakiel terkekeh melihat ekspresi Wafi yang sepertinya tidak menyangka bahwa ia akan putus dengan Maya, siswi tercantik di sekolah mereka.

"Gue pengen putus saja, gue sudah bosan sama dia, lagi pula kita sudah nggak sekelas lagi, jadi gue mau cari yang baru di kelas ini, istilahnya, kelas baru pacar baru."

Wafi hanya bisa geleng-geleng kepala, orang tampan memang bebas melakukan apa saja, apalah dirinya yang hanya memiliki wajah biasa-biasa saja, jangankan cewek cantik akan tertarik padanya, semut yang berjalan di tembok saja ogah menoleh ke arahnya.

Kring.....

Suara bel masuk telah berbunyi, Xakiel dan Wafi pun masuk ke dalam kelas bersamaan dengan teman-teman sekelasnya. Xakiel memilih tempat duduk barisan pertama di bagian sisi kiri sementara Wafi duduk di belakangannya. Tak lama kemudian seorang guru perempuan dengan seragamnya yang rapi dan hijabnya yang indah masuk ke dalam kelas.

"Selamat pagi," sapanya dengan ramah.

"Pagi Bu," balas semua siswa dan siswi serentak.

"Saya ucapkan selamat datang di kelas XI B, dan perkenalkan nama saya Ibu Alma, saya adalah wali kelas kalian di sini, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bicarakan kepada saya ya, karena istilahnya saya adalah pengganti orang tua kalian di kelas ini, apa bisa dimengerti?"

"Mengerti Bu."

Alma tersenyum simpul, ia cukup lega karena anak-anak didiknya nurut dan patuh kepadanya. Semoga saja ini bukan karena hari pertama mereka bisa nurut dan patuh kepadanya, semoga seterusnya juga begitu.

"Oh iya kita harus membuat struktur kelas dulu ya, sebelum saya tunjuk apakah ada yang bersedia menjadi ketua kelas di sini?"

Siswa-siswi dengan kompaknya saling bertukar pandangan, kira-kira siapa diantara mereka yang bersedia untuk menjadi ketua kelas tanpa ditunjuk dan dipilih?

"Saya Bu."

Semua tatapan langsung tertuju ke arah seorang siswa laki-laki yang sedang mengacungkan tangan dan otomatis bersedia untuk menjadi ketua kelas.

"Iya, siapa namanya?," tanya Alma kepadanya.

"Nama saya Muhammad Xakiel Rafisky, panggilannya Xakiel Bu," ucap Xakiel dengan suara lantang.

Alma memberikan senyuman kepada Xakiel, tentunya senyuman salut karena keberanian Xakiel yang bersedia menjadi ketua kelas tanpa disuruh dan ditunjuk.

"Oke ketua kelas sudah ada, sekarang wakil kelas, ada yang bersedia?"

Suasana kembali hening, siswa-siswi hanya bisa menukar pandangannya masing-masing, belum ada yang mengacungkan tangan untuk menjadi wakil kelas.

"Saya Bu."

Suara itu bersumber dari bangku belakang, semua siswa-siswi kembali menoleh ke arah pemilik suara itu. Dia adalah siswa laki-laki yang paras wajahnya cukup rupawan dan penampilannya rapi dan bersih, ia dapat dikategorikan sebagai siswa teladan.

"Iya, namanya siapa?," tanya Alma lagi.

"Nama saya Rifad Yusman Bu, panggilannya Rifad," ucapnya sopan.

Mendengar nama itu terlontarkan tiba-tiba saja Zaina terdiam, dan detik berikutnya ia langsung menoleh ke arah siswa laki-laki yang baru saja memperkenalkan namanya.

"Rifad," ucap Zaina dalam hati.

Tanpa sengaja Rifad pun ikut menoleh ke arah Zaina, lalu tanpa berpikir panjang Rifad langsung menyapa Zaina dengan melemparkan senyuman tulusnya pada Zaina. Lantas Zaina ikut tersenyum namun hanya sekilas dan kembali menatap ke arah Alma yang sedang berdiri di depan kelas.

"Zaina, Rifad sekelas sama kita?" ucap lirih Zeya pada Zaina dengan tak menyangka.

Zaina hanya mengangguk dan kembali fokus menatap ke arah Alma, begitu juga dengan Zeya yang ikut menghargai kehadiran Alma sebagai wali kelasnya.

"Oke kelas kita sudah ada ketua dan wakilnya, sekarang tinggal sekretarisnya, saya mau sekretarisnya cewek ya, jadi untuk siswi-siswi yang berminat menjadi sekretaris silakan angkat tangan," ucap Alma sembari menatap satu persatu wajah para anak didiknya yang perempuan.

Cukup lama tidak ada suara dan acungan tangan dari haum hawa, Alma pun hendak bersuara kembali tetapi tiba-tiba ada suara yang lebih dulu mendahuluinya.

"Zaina Bu," celetuk Zeya dengan lantang.

Mendengar namanya disebut bahkan oleh sahabatnya sendiri, Zaina langsung menoleh ke arahnya, ia terbelalak karena Zeya menyebutkan namanya untuk menjadi sekretaris kelas.

"Mana yang namanya Zaina?" tanya Alma kepada para siswi.

Dengan ragu-ragu Zaina mengangkat tangannya sembari tersenyum canggung. Alma justru membalasnya dengan senyuman yang lebar.

Semua mata pun tertuju ke arah Zaina, termasuk Xakiel tapi hanya sekilas karena menurut Xakiel wajah perempuan yang bernama Zaina itu biasa saja, dan tidak masuk kriterianya terlebih Zaina memakai hijab, tidak menarik baginya bahkan ia merasa seperti sedang melihat karung beras di kelas.

"Zaina, apakah kamu bersedia menjadi sekretaris kelas?," tanya Alma kepada Zaina.

Zaina belum menjawabnya, ia merasa kurang bisa menjadi sekretaris kelas ini, dipikirannya pasti ada yang lebih bisa darinya.

"Zaina pasti mau Bu, soalnya dia kemarin di kelas X juga jadi sekertaris, jadi sudah berpengalaman Bu," sahut Zeya memberikan informasi kepada Alma tentang Zaina.

"Iya Bu, Zaina memang pernah menjadi sekretaris kelas, kebetulan saya juga sekelas sama Zaina," ucap Rifad ikut menimpali ucapan Zeya.

Zaina terdiam sejenak, ia menoleh sekilas ke arah Rifad, lalu ia kembali menatap ke arah Alma yang sudah menunggu jawaban darinya.

"Iya Bu, saya mau," ucap Zaina perlahan.

Alma pun tersenyum lega karena Zaina bersedia menjadi sekretaris kelas dan kini tinggal satu jabatan yang masih kosong dan harus segera diisi juga.

"Baik kalau begitu tinggal satu lagi, yaitu bendahara kelas dan biasanya yang pintar mengelola uang itu cewek, jadi untuk yang cewek siapa yang mau jadi bendahara kelas?, atau ada yang mau merekomendasikannya seperti Zaina tadi?"

Diam-diam Zaina menoleh ke arah Zeya, ia tersenyum ke arah sahabatnya yang tidak melihatnya, lalu Zaina kembali menghadap ke depan.

"Zeya bersedia Bu," ucap Zaina dengan lantang dan sukses membuat Zeya terdiam bak patung.

"Yang mana yang namanya Zeya?" tanya Alma sembari mencari wajah pemilik nama Zeya yang direkomendasikan oleh Zaina untuk menjadi bendahara kelas.

"Sa-saya Bu," jawab Zeya terbata-bata.

"Zeya apakah kamu bersedia menjadi bendahara kelas?"

Zeya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sejujurnya ia tidak bersedia menjadi bendahara kelas terlebih ia belum pernah menduduki jabatan itu tetapi mengapa sahabatnya, si Zaina malah menunjuk dirinya untuk menjadi bendahara kelas, yang ada nanti uang kelas itu malah jadi semangkok bakso di kantin.

"Maaf Bu saya bukannya tidak bersedia, tapi sebelumnya saya belum pernah jadi bendahara kelas Bu, jadi saya belum berpengalaman," jawab Zeya yang menolaknya dengan halus.

Alma tersenyum memakluminya, tetapi ia melihat sepertinya Zeya cocok untuk dijadikan bendahara kelas meskipun belum ada pengalaman dalam bidang itu.

"Tapi menurut Ibu kamu cocok kok jadi bendahara kelas, kamu orangnya jujur, tadi saja kamu jujur kan kalau kamu belum pernah jadi bendahara kelas, jadi saya yakin kamu bisa menjadi bendahara kelas yang baik, Ibu mau kamu bersedia menjadi bendahara kelas ya Zeya?!"

Rasanya kepala Zeya benar-benar gatal, sejujurnya ia tidak mau menjadi bendahara kelas, besar tanggung jawabnya, tetapi ia juga tidak mungkin menolak perintah Alma sebagai guru wali kelasnya, ah rasanya Zeya seperti buah simalakama, jadi serba salah.

Akhirnya Zeya memutuskan untuk menganggukkan kepalanya, ia bersedia menjadi bendahara kelas sekaligus ia bersedia memegang tanggung jawab yang besar, pokoknya jika sampai ada uang yang hilang ia akan menyalahkan Zaina karena Zaina yang telah menunjuk dirinya sebagai bendahara kelas, tapi ia akan berusaha untuk menjaga amanah dari Alma untuk menjadi bendahara kelas yang jujur dan amanah.

Akhirnya Alma dapat bernapas dengan lega karena struktur kelas sudah lengkap dan tinggal ditulis sebagus mungkin lalu ditempel di dinding kelas, tapi ada satu lagi yang belum dan ia meminta Zaina untuk membuatkannya.

"Sekarang struktur kelas kita sudah lengkap, tinggal satu lagi yaitu jadwal piket, Zaina Ibu minta tolong untuk dibuatkan jadwal piket kelas ya, nanti Zeya tolong bantu Zaina juga ya," pinta Alma kepada Zaina juga Zeya.

"In syaa Allah Bu," jawab Zaina lirih.

"Siap Bu," jawab Zeya bersemangat.

Sebagai sekretaris kelas memang salah satu tugasnya yaitu membuat jadwal piket kelas dan untungnya Zaina sudah berpengalaman akan hal ini jadi ia sudah mengerti dan tinggal membuat saja.

"Baik kalau begitu sekarang kita bisa mulai pelajarannya, namun sebelum itu saya akan mengabsen kalian dulu, saya ingin tahu nama-nama kalian, saya absen dulu ya."

"Iya Bu." Jawab siswa-siswi secara serentak.

💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙💙

*Assalaamu 'alaikum Kanca Ukhfira

Selamat datang kembali di cerita Ukhfira

🤗🤗🤗

Alhamdulillah Ukhfira sudah ada cerita baru

Masih anget-anget lagi

Semoga Kanca suka

Dan tentunya semoga dapat menebarkan manfaat

Aamiin Allahumma Aamiin

By the way on the bus way

Bagaimana nih Kanca kesan pertamanya setelah baca Asmara Belia bagian pertama

Penasaran kelanjutannya???

Ditunggu yaaa

Semangatin Ukhfira juga dengan like dan komen Kanca serta votenya jugaaaa

Oh iya satu lagi, Kanca baca nama Xakiel gimana nih pengucapannya???

Sakiel atau Sakil?

Yang bener itu Sakil ya Kancaaa

Tulisannya emang dibikin keren gitu😎, tapi jangan sampai salah baca ya Kanca😂

Noted: Kanca itu artinya teman, dari bahasa Madura, jadi buat yang suka sama karya Ukhfira kalian adalah Kanca Ukhfira alias Teman Ukhfira🤗

Madura, 21-11-2020

13.32 WIB

Ttd

Ukhfira

Wassalaamu 'alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh*.

Terpopuler

Comments

so-v

so-v

saya datang lagi kak..
authornya org madura ya..? kaloya berarti padeh madurenah 😁 salam settong dere

2020-11-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!