"Tante!" panggil Bia. Beberapa kali dipanggil dengan suara lantang, Tantenya tidak memberikan respon. Barulah Bia semakin keras menangis. Ia mengguncang-guncang pegangang pintu dan bergantian dengan mengetuk juga memanggil. Suara yang cukup gaduh hingga mengusik tetangga yang lain.
"Ada apa, Bia?" tanya Pak Enerst. Dia dan istrinya Nyonya Aran berdiri di depan pintu rumah Bia yang masih terbuka.
"Tanteku di dalam dan dia sama sekali tidak merespon panggilanku. Tolong aku, Pak!" jelas Bia dengan suara gemetaran dan disela dengan tangisan.
Pak Ernest mengangguk. Ia berlari mendekati Bia disusul istrinya. Tanpa aba-aba, Pak Ernest langsung menendang sekuat tenaga pintu kamar itu. Syukur karena kayunya yang tidak terlalu kuat, pintu itu langsung terbuka.
Bia terkejut melihat tantenya sudah tergeletak di lantai. Ia raih tubuh renta itu. "Tante, kenapa?" tanya Bia sedikit mengguncang wajah Tantenya berharap wanita itu lekas sadar. Namun tidak ada jawaban sementara tubuhnya semakin dingin.
"Pak?" tanya Bia sambil menatap Pak Ernest yang duduk berhadapan dengannya.
"Harus di bawa ke rumah sakit, Bi," saran Ernest.
"Biar aku telpon ambulan," Nyonya Aran menawarkan diri.
Bia mengangguk. Ia peluk tubuh Tantenya yang sama sekali tidak menunjukkan pergerakan. Ya Tuhan, apalagi ini? Bia mulai terisak-isak saking lamanya menangis. Dalam satu hari ia mendapat kejutan terburuk.
"Tante," panggil Bia lagi penuh harapan agar wanita itu bangun. Lain saat kedua orangtuanya pergi, tanpa Tante Rubi, ia tidak punya siapapun lagi.
Ambulan tiba beberapa menit setelahnya. Seorang dokter dan beberapa perawat datang. Negara ini memang memiliki sistem kesehatan paling baik. Setiap ada keadaan darurat, seorang dokter akan ikut di dalam ambulan.
Ia memeriksa kesadaan Rubi. Namun sejauh apapun ia cek, pada akhirnya hanya lenguhan yang keluar dari mulutnya. Dokter itu menatap Bia. "Apa kau punya anggota keluarga lain?" tanya dokter tersebut. Bia menggeleng.
Ayahnya dan Tante Rubi hanya dua bersaudara. Bahkan ibunya anak tunggal. Bia punya seorang kakak dan adik. Mereka meninggal bersama orangtua Bia saat kecelakaan. Sekarang yang Bia miliki hanya Rubi.
"Tabahlah, dia sudah tiada," ungkap dokter. Bia mematung. Ia bisa membayangkan hari dimana esok hilang dari kamus. Hatinya diselimuti awan gelap dan yang tersisa hanya tangis. Hati Bia dihujani panah, perih dan sakit. Sejauh apapun ia menepis kenyataan, keadaan ini tidak bisa ia pungkiri.
"Lalu aku dengan siapa?" tanya Bia. Ia pegang pipi Tante yang menjaganya selama delapan tahun ini. Pipi itu sudah dingin dan kaku. Tiada nyawa yang menghangatkan tubuh kosong itu. Bia menunduk, bibirnya bergetar dan dengan suara berat Bia kembali menangis.
"Ini semua karena aku," ucap Bia meremas roknya sendiri. Begitu derasnya air mata hingga menetes ke lantai.
"Dia terkena serangan jantung. Penyakit ini memang mematikan. Mungkin karena ia terkejut akan sesuatu," jelas dokter.
"Ia terkejut karena aku hamil," batin Bia. Ia memegang perutnya lalu menepuk-nepuk dengan keras. "Semua ini karena anak terkutuk ini!" umpat Bia dalam hati.
Ia mengingat senyum malu-malu Dira saat menuntun selingkuhannya. Emosi Bia memuncak. "Pria berengsek!" umpat Bia lagi. Kali ini terdengar oleh orang-orang di kamar tantenya. Mereka heran dengan ucapan Bia yang begitu terasa dipenuhi amarah.
"Bi, kamu baringkan tantemu di tempat tidur. Biar kami beritahu tetangga lain untuk mengurus jenazahnya," saran Pak Ernest.
Bia menggeleng. "Tanteku masih hidup," ucapnya menepis argumen semua orang di ruangan itu.
Dokter menepuk pundak Bia. "Tabah, Nak. Ini memang berat ketika awal. Ke depannya kau pasti bisa melewati semua sendiri," nasehat dokter.
Pak Ernest mengangguk. "Kau anak yang pintar. Bahkan kau mendapat beasiswa di kampus. Kau tidak perlu takut dengan masa depan." Pak Ernest ikut memberi semangat.
Bia menggelengkan kepala. Tidak, hidupnya berakhir hingga di sini. Tidak ada beasiswa, tidak ada lagi kuliah. Bia sudah kehilangan semuanya. Bagian paling buruk, tidak ada lagi keluarga. "Hidupku hancur," ucap Bia lirih. Ia memukul-mukul dadanya yang sesak. Bahkan oksigen seakan menolak masuk ke dalam tubuh yang sudah ia anggap kotor.
"Aku ingin mati saja," ucap Bia dengan harapan yang telah hilang dalam angannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Lala_lela067
aku baca ulang, masih sama nyeseknya/Sob/
2023-12-16
0
Najwa_auliarahma
entah kenapa feeling ku mengatakan berita Dira itu cuma setingan, biar nama nya makin naik...
2022-08-29
0
ulala ❤️❤️
titik terendah seorang bia
2022-04-13
0