"Matamu bengkak?" tanya Noe. Setidaknya ada satu orang yang peduli dengan keadaanya walau Bia tahu kepedulian Noe hanya sebatas ia sedang mencari bahan untuk digosipkan.
Bia mengangguk. Ia masih menunduk sambil merapikan alat-alat tulis di atas meja untuk bersiap menerima materi hari ini.
"Kamu kenapa memangnya, Bi?" tanya Noe. Bia menggeleng. Jawaban Bia memang membuat Noe sedikit kecewa. Hanya saja apapun tentang Bia tidak terlalu penting bagi mahasiswa lain. Meski gagal, tidak akan berefek apapun.
Ketika menggeser tasnya tanpa sengaja Bia menjatuhkan pensil ke lantai. Gadis itu menunduk untuk mengambilnya. Namun ketika kembali mengangkat kepala, Bia mendadak merasa pening. Penglihatannya kabur dan seperti ada benturan keras di belakang kepala.
Tangan Bia meraih sisi meja untuk bersandar. Tak tahu kemana energi yang masih tersisa tadi hingga Bia jatuh terkulai ke lantai. Kontan keadaan kelas yang masih ramai berubah panik. Akibat tiadanya mahasiswa di kelas Bia membuat mahasiswi kebingungan sendiri membawa Bia ke ruang kesehatan. Bahkan mereka bergotong royong mengangkat tubuh Bia yang sedikit gemuk.
"Wajahnya pucat sekali," komentar dokter ketika melihat keadaan Bia. Tubuh gadis itu sudah terbaring di atas ranjang pasien. Noe dan dua mahasiswi lain masih di sana untuk memberikan keterangan.
"Apa dia sudah terlihat sakit sejak tiba di kampus?" tanya dokter.
Noe mengingat-ingat. "Aku hanya melihat matanya sembab," jawab Noe.
Mendengar jawaban Noe, dokter mulai memeriksa Bia. Berkali-kali ia menggeleng setiap merubah posisi stetoskopnya.
"Sebaiknya hubungi keluarganya agar dibawa ke rumah sakit. Tolong hubungi bagian kemahasiswaan juga," saran dokter.
Tiga orang yang menunggu Bia hanya sanggup memanggil bagian kemahasiswaan. Tidak ada satu pun yang tahu bagaimana cara menghubungi keluarga Bia karena gadis itu sangat tertutup. Ponselnya juga dikunci.
Satu jam kemudian Bia mulai membuka mata. Gadis itu terkejut melihat tantenya duduk dengan wajah kecewa berhadapan dengan rektor dan juga seorang dokter. Pucat sekali wajah tantenya hingga membuat aura hitam merasuk menggangu pikiran Bia.
"Maaf, Bu. Masalah ini akan menjadi aib bagi universitas ini. Apalagi Drabia salah satu mahasiswa berprestasi dan mendapat beasiswa penuh. Harusnya ia menjadi contoh bagi mahasiswa lain," ucap rektor sambil berdiri berkacak pinggang seolah sedang menghakimi Tante Rubi.
"Saya janji masalah ini tidak akan diketahui mahasiswa lain." Rubi masih memelas bagi kelanjutan hidup keponakannya. "Gadis itu yatim piatu, selain mengandalkan kepintarannya, ia tidak memiliki apapun. Kasihani dia."
Rektor menggeleng. Ia menunduk dengan wajah kalut. "Maaf, saya terpaksa menghapus Drabia dari daftar penerima beasiswa dan dia resmi dikeluarkan sebagai mahasiswa di kampus ini," tekan rektor.
Bia mematung. Ia tidak mengerti apa yang terjadi tapi yang barusan ia dengar mengguncang seluruh sel di otaknya. Bia turun dari ranjang pasien. Langkah yang sempoyongan tidak menghentikannya untuk terus mendekati tiga orang dewasa yang sedang membahas nasibnya.
"Salah saya apa, Pak? Saya selalu belajar dengan rajin. Tiga bulan ini saya selalu mendapat nilai terbaik di fakultas." Bia menangis. Suaranya parau. Bahkan ia tidak sadar betapa pucatnya wajah dan keringat yang membasahi tubuhnya terasa dingin ketika disentuh.
Rektor melipat tangan di depan dada. Ia menunjuk wajah Bia dengan kesal. "Salah apa? Kamu hamil tanpa suami dan mempermalukan nama universitas ini, apa itu wajar?"
Mulut Bia terbuka. Matanya turun dan tangannya gemetaran. Ia menganggap apa yang dikatakan rektor sebagai mimpi buruk singkat. Namun setelah telapak tangan Tantenya begitu keras menyentuh pipi, Bia sadar ia tidak bermimpi.
"Siapa laki-laki itu? Bagaimana bisa kamu melakukan hal sekotor ini dengannya? Orangtua kamu sudah tidak ada, harusnya kamu belajar yang rajin. Kamu malah mencoreng wajahku. Apa yang adikku katakan mendengar putrinya membuat aib bagi keluarga?" bentak Rubi. Napasnya semakin cepat. Ia malah tidak bisa menahan emosi melihat keponakannya.
Rubi mengambil tas di atas meja lalu berjalan pergi ke luar ruang kesehatan. Bia masih mematung di sana. Dibandingkan rasa malu yang harus ia terima, Bia lebih takut pada kenyataan jika hidupnya hancur saat ini juga.
"Nak, lebih baik kau jujur pada Tantemu. Paksa pria itu untuk bertanggung jawab. Sekarang hidupmu hanya bisa mengandalkan ayah dari bayi dalam perutmu," nasehat dokter yang memeriksanya.
Bia menggeleng. Tanggung jawab? Bagaimana? Ayah dari bayi ini memutuskan hubungan dengannya tadi malam dan Bia menyetujui itu seperti orang yang bodoh.
Bia duduk di lantai dengan tatapan kosong. Kehadiran Bia dalam hidup Dira saat ini saja sudah menjadi penghalang. Apalagi dengan hadirnya seorang anak yang tidak diinginkan. Bia memegangi perutnya. Ia menatap wajah rektor yang memerah.
"Bagaimana bisa begini? Kenapa harus aku?" tanya Bia pada takdirnya yang sudah terbayang akan segelap terowongan. Ia bahkan tidak memiliki jalan keluar selain, meminta kesanggupan Dira untuk meninggalkan cita-citanya seperti apa yang kini Bia alami. Namun Bia yakin Dira bisa, karena ia tahu pria itu sangat mencintainya.
**🍁🍁🍁
Kalau Suka jangan lupa like dan ramaikan sama komen, ya? Ajak teman-teman sejagad MT untuk baca novel ini 🙏**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Marlina
sebagai orang tua kini harus sering menasehati anak2 kita kenikmatan satu MLM akan menghancurkan hidup dan cita2 selamanya,,, semoga anak2 kita TDK seperti itu,aminn
2022-03-23
1
Yuni Dradjad
Ulang baca lagi.
2022-02-22
0
Damiyati
lanjut
2022-01-23
0