Detik itu menjadi saat terakhir Bia melihat tantenya. Air mata sudah mulai mengering, bukan karena kesedihan hilang. Namun karena keberadaannya tidak cukup untuk melukiskan kesedihan di hati. Langkah gadis itu masih terjebak antara mimpi buruk dan kesadaran. Berkali-kali ia berpegangan pada pagar rumah yang ia lewati menuju apartemen kecil dimana ia tinggal.
Bia tertegun melihat beberapa orang sudah menantinya di depan pintu. Mereka memasang wajah kesal meski ada sedikit rasa kasihan yang tersisa. Bia meneguk ludahnya. Ia mengusap dada. Gadis itu sudah siap dengan penghakiman yang akan ia terima.
"Maaf, Bi. Saya pikir lebih baik kamu meninggalkan tempat ini. Kami tidak ingin apa yang ada dalam perutmu itu membawa kesialan," ucap salah seorang tetangga Bia.
Tidak tahu darimana kabar tentang kehamilan Bia tersebar. Padahal baru kemarin Bia tahu tentang keadaannya dan sekarang semua orang mencari tahu tentangnya karena berita itu. Bia mengangguk. Ia hanya bisa menunduk tanpa melihat pandangan jijik yang mengarah padanya.
Bia masuk ke dalam rumah, ia tidak peduli dengan barang yang ada di sana. Bia hanya mengambil beberapa pakaian ke dalam koper serta beberapa benda berharga yang bisa ia jual.
Bahkan penghuni apartemen ini setia menunggunya hingga keluar. Mereka masih berdiri di lorong putih apartemen dan bersandar pada tembok sambil berbincang tentang masalah yang sama, 'seorang gadis tidak tahu diri hingga membuat tantenya meninggal'.
"Makanya, jangan mentang-mentang pintar, anaknya dibiarkan bergaul semaunya," komentar salah satu dari mereka. Karena ruangan rumah begitu sempit, Bia bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di luar.
"Aku jarang bergaul dengan orang lain," batin Bia.
"Jangan-jangan dia pulang malam setiap hari untuk menginap dengan pacarnya," komentar yang lain.
"Aku belajar di perpustakaan," lagi-lagi Bia meralat. Namun ucapannya hanya terbatas di dalam batin. Gadis itu menarik koper ke luar.
"Ini," Pak Ernest memberikan sebuah amplop. Bia menatapnya heran. "Ini uang sewa rumah. Aku anggap kalian tidak menempatinya selama sebulan ini jadi aku kembalikan." Pak Ernest memaksa Bia mengambil amplop itu. Bia mengambilnya. Ia butuh uang itu untuk mencari tempat sewa baru.
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Bia. Gadis itu berjalan meninggalkan apartemen dan menuruni tangga dengan susah payah membawa sebuah koper dan harta seadanya.
Malam sudah larut. Bia menatap langit sambil sedikit mendesah. Ia tidak tahu ternyata sendirian jauh lebih menakutkan dari apa yang ia bayangkan selama ini. Bia tidak tahu harus pergi kemana. Ia hanya mengikuti kemana langkah membawanya.
Suasana jalanan masih ramai dan lampu-lampu toko masih menyala. Beberapa orang yang melihat Bia berjalan menatap dengan heran. Ia semakin jauh dari tempat yang dulu ia sebut sebagai rumah. Hingga tidak terasa, kakinya mulai lelah. Bia menepi di sebuah halte.
Beberapa kali ia pijiti kakinya yang pegal. Mata Bia berkeliaran mencari tujuan. Namun sepanjang apa yang ia tangkap, hanya ada gedung-gedung tua berisi toko dan perkantoran. Bagaimanapun tubuhnya tidak seperti dulu. Berjalan terlalu jauh membuat perut Bia terasa sakit. Gadis itu memekik sambil memegang perutnya dan sedikit menunduk.
"Apa kau tidak malu? Setelah menyiksa batinku, kini kau menyiksa tubuhku!" omel Bia pada janin dalam kandungannya. Namun bukannya merasa lebih baik, justru rasa sakitnya semakin menjadi. Bia sampai bersandar di tiang halte karenanya. Ia mencoba meremas kuat-kuat jaket yang ia kenakan, hasilnya tetap sama.
Bia menarik napas panjang. Ia mencoba menengangkan pikiran hingga akhirnya menghembuskan napas pelan dan rasa sakitnya mulai berkurang.
"Tidak, hidupku saja sudah cukup sulit. Bagaimana bisa aku masih membawa anak ini," keluh Bia. Ia melihat lipatan perutnya. Beberapa hari lalu ia sempat mengeluh pada Dira karena perutnya semakin gendut padahal ia sudah mencoba mengurangi porsi makan. Sekarang ia tahu alasan kenapa perutnya semakin besar. Benda di dalam sana bukan hal yang mudah dikeluarkan.
Tiba-tiba Bia memperoleh ide. Ia keluarkan ponselnya dan mencari beberapa artikel tentang cara mengugurkan bayi. Usia Bia sekarang tujuh belas tahun. Ia lulus satu tahun lebih awal. Seharusnya ia masih terhitung sebagai wanita di bawah umur.
Percuma Bia pergi ke Heren dan meminta pertanggung jawaban Dira. Hanya buang-buang waktu saja karena pria itu pasti akan berkilah. Belum lagi orang-orang dibelakang labelnya. Mereka akan melindungi pria itu.
Keluarga Dira juga bukan orang biasa. Papanya pemilik perusahaan terbesar di Livetown. Anggap saja keluarga Kenan adalah pemilik negara ini. Mereka bukan lawan sepadan bagi Bia.
"Cara melindungi diriku sekarang hanya, melenyapkan bayi ini," tekad Bia. Ia tahu tentang regulasi aborsi bagi remaja di bawah umur yang hamil di luar nikah. Bia yakin pihak rumah sakit negara akan mengizinkannya - mengingat Bia yatim piatu dan tidak punya tempat tinggal.
Setidaknya jika perutnya tidak semakin membesar, Bia bisa mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Ia harus hidup untuk sedikitnya membalas budi pada tantenya.
🍁🍁🍁
Kalau Bingung mau komen apa, bilang saja gimana rasanya baca novel ini? Jangan lupa likenya tinggalkan di sini, ya? Dukungan kalian sangat berarti. Salam dari author laknat
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Siska Fatma Sari
Aq udah 3x baca cerita tentang bia, Dira n divan. ceritanya g ngebosenin
2023-11-11
2
Candy
ngulang baca gara gara novel Dinia 🤣🤣.
Padahal udah lama banget tamat bacanya 😅
2023-05-22
0
syareefah
sejauh ini menarik ceritanya..
2023-05-04
0