Menerima Kenyataan
"Hai Nana..... namaku Eric, aku hanya ingin berteman denganmu. Maukah kamu berteman denganku...."
Nana saat itu sedang duduk membaca buku di kursi roda di depan taman Rumah Sakit, ia tampak keheranan menatap Eric dengan pandangan yang masih asing. Eric tersenyum dengan tetap menjulurkan tangan kanannya menunggu disambut oleh tangan Nana.
"Hai kak Eric...."
Nana membalas senyum kepada Eric. Pertama kalinya Eric melihat wajah hangat Nana, sangat berbeda saat mereka pertama kali bertemu dalam perjodohan tujuh tahun lalu. Eric menerka dalam hatinya, mungkinkah ini adalah sifat asli Nana yang tidak pernah ia ketahui selama ini meski mereka sudah menikah selama bertahun-tahun.
Entah kenapa hati Eric tiba-tiba terasa sakit. Kehangatan Nana membuat Eric semakin sedih, semakin merasa berdosa pada wanita yang saat ini di dalam jiwanya adalah gadis berusia 19 tahun yang masih polos.
Seandainya waktu berputar kembali disaat Nana benar-benar berusia 19 tahun, dan saat itu Eric berusia 24 tahun. Padahal di usia itu Eric sering menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Sedangkan di waktu yang sama, Nana masih sepolos itu.
(dalam hati Eric)
"Kenapa aku tidak datang mencarimu saat itu Nana... Kenapa malah aku bertemu denganmu disaat aku sudah mencintai orang lain... Yang pada akhirnya itu membuatmu kehilangan segalanya...."
Eric terus terdiam menatap Nana dan menggenggam tangan Nana. Dia tidak menyadari bahwa sejak beberapa menit yang lalu Nana memanggilnya dengan melambaikan telapak tangannya.
"Kak.... Kak Eric tidak apa-apa?"
"Oh, nggak... nggak apa-apa..."
"Apa kakak ada masalah yang sangat membebani pikiran?"
Eric tertegun dengan perhatian Nana, dia hanya membisu. Tentu saja dia tidak bisa mengatakan apapun, karena satu-satunya yang sangat membebaninya adalah perasaannya terhadap wanita yang saat ini ada di depannya.
"Aku ingat samar-samar saat pertama kali aku membuka mata, kakak yang ada di sampingku. Apa kakak tahu kenapa aku bisa dirawat di Rumah Sakit ini?"
"Aku..... tidak tahu."
"Kak Eric sama sekali tidak tahu? Kak Brian hanya mengatakan kalau Kak Kevin yang mengantarku kesini karena aku mengalami kecelakaan di Singapore. Aku tidak ingat sebelumnya apa tujuannku datang kesini?"
"Kamu tidak perlu banyak memikirkan hal semacam itu, yang penting kamu harus segera pulih."
"Tapi aku masih merasa aneh, sebelum kecelakaan aku bersama siapa? apa keluargaku tahu? kenapa selama aku disini malah hanya kak Brian dan kak Eric yang datang kesini?"
Pertanyaan Nana memekakkan telinga Eric sehingga dia tidak mampu menjawabnya. Eric terus membisu dengan pertanyaan Nana yang ditujukan pada dirinya. Saat ini dia adalah orang yang baru bagi Nana, ia tidak ingin merusak moment pertamanya mengenal Nana. Eric berusaha untuk tidak menunjukkan perasaannya.
"Kemudian beberapa waktu lalu juga aunty Julia memelukku dan menyebut dirinya Mami. Aku merasa.... sepertinya aku melewatkan sesuatu...."
Eric semakin tidak bisa membuka mulutnya, semuanya tertahan di dalam hatinya. Bagaimana dia akan menjelaskan bahwa dirinya adalah suami Nana. Namun ia takut jika Nana kembali mengingatnya sebagai pria bajingan yang telah menyengsarakan hidupnya, tentu saja Nana tidak akan mau melihatnya lagi di sepanjang hidupnya.
"Aku berteman dengan Brian, dia memintaku menjagamu saat itu. Dan ibuku tahu kamu disini. Jadi dia datang menjengukmu. Dia menyebut dirinya Mami agar Nana bisa menganggapnya sebagai orangtua juga.... karena keluarga kita saling mengenal."
Nana menunduk sedih, dia terus mengingat keluarganya yang sudah hampir satu bulan ini tidak menjenguknya.
"Bahkan orang lain pun peduli padaku, tapi mama...papa...kak Kevin yang justru sebagai dokter....mereka sama sekali belum datang melihatku atau sekedar menanyakan keadaanku melalui telepon...."
Deg.
"Nana aku permisi dulu!"
Eric langsung berlari menuju balik tembok yang membelakangi Nana. Eric menangis dengan sekuat tenaga menahan suaranya sambil membungkam mulutnya dengan kepalan tangannya. Eric sudah tidak bisa lagi membendung perasaan yang sejak tadi rasanya mau meledak.
"Maafkan aku Nana...maafkan aku.... Bagaimana aku harus bilang padamu bahwa mereka sangat menyayangimu...."
Eric menahan tangisnya sambil menggigit bibir bawahnya hingga berdarah namun tidak dirasakan oleh Eric. Hingga nafasnya terengah-engah"
"Tapi mereka sudah tidak ada... Jika saja mereka tahu kamu begini, tentu tidak akan sedetikpun mereka meninggalkanmu. Ya Tuhan.... apa yang sudah aku lakukan.... Aku yang merampas semuanya dari Nana.... Dan sekarang aku malah berpura-pura baru mengenalnya...."
Eric terus menahan dadanya yang terasa sesak. Dia bahkan saat ini tidak akan sanggup melihat wajah Nana.
Brian melihat Eric dari kejauhan, dia mengerti bahwa Eric saat ini sedang tersiksa. Tapi Eric sendirilah yang memilihnya, mengulur waktu untuk bercerai hanya ingin lebih lama bersama Nana. Eric tidak menyadari bahwa semakin dia berusaha dekat dengan Nana, dia akan semakin tersiksa dengan rasa berdosanya pada Nana.
Brian berjalan menghampiri Nana yang masih tertunduk. Brian menutup buku yang ada di pangkuan Nana.
"Kak Brian....?"
Brian tersenyum tanpa banyak kata langsung memutar kursi roda Nana dan mendorongnya ke arah berlawanan dengan posisi Eric.
"Tadi kak Eric ada disini..."
"Iya, dia tadi ijin keluar sebentar..."
Brian mengalihkan pembicaraan dengan terus menggoda Nana yang membuat Nana kembali tersenyum dengan rona wajah seperti sebelumnya.
"Aku mau menunjukkan buku yang lebih banyak adegan 20 tahun keatas. Tapi kamu kan belum cukup umur."
"Ahhh... itu menjijikkan. Kenapa kamu memberitahuku hal semacam itu?"
"Kan sebentar lagi kamu berusia 20 tahun. Jadi perlu tahu...."
"Kakak kan disini masih internship, kenapa berani sekali mencuri waktu membaca buku semacam itu?"
"Seniorku juga suka membacanya kok...hahaha...."
"Kak Brian, kapan kak Kevin selesai ujian?"
"ehm... mungkin bulan depan."
"Apa benar-benar tidak bisa ditelepon ya?"
"Setiap departmen di Rumah Sakit punya aturan sendiri dalam menentukan ujian."
"Kenapa kak Kevin tidak bersamamu? Bukankah dia sering bilang kalau dia ingin sekali magang di Singapore."
"Aku sudah ditugaskan oleh Kevin untuk menjagamu. Jadi dia menyerahkan segala urusan disini adalah kepadaku. Nanti pasti aku akan mengantarmu pulang ke Jakarta untuk bertemu mereka."
"Benarkah? Terimakasih kak...."
(suara hati Brian)
"Maafkan aku Nana, aku terpaksa membohongimu sampai kamu benar-benar mampu menerima kenyataan, bahwa mereka sudah tidak ada. Tunggu sebentar Nana.... tunggu sampai kamu benar-benar sudah kuat menerimanya."
-------------------------------
"Mommy.... mommy...."
Nana mendengar suara anak kecil yang memanggilnya, dia menoleh sampai memutar tubuhnya namun sama sekali tidak tampak anak kecil di sekitarnya.
"Mommy..."
Nana mengikuti asal suara anak kecil tersebut lalu berhenti di suatu taman. Disana ada anak kecil berlarian bersama tiga orang yang sangat dikenal Nana.
"Mama.... Papa.... Kak Kevin.... "
Mereka tersenyum pada Nana sambil melambaikan tangan.
"Mama.... Papa.... Kak Kevin...."
Nana berusaha menggapai mereka namun kemudian mereka terus berjalan menjauh seolah tidak mendengar panggilan Nana. Mereka perlahan lenyap di antara kabut putih.
"Nana...! Nana...!"
Nana terus menangis sesenggukan dalam tidurnya, dia sama sekali tidak mendengar Brian memanggil namanya. Brian terus menepuk pipi Nana yang sudah basah karena air mata.
"Nana...! Nana bangun...!"
"hah?!"
Nana membuka mata dengan wajah syok, dia melihat Brian sudah ada di sampingnya. Nana langsung memeluk bahu Brian dan menangis.
"Aku kangen mereka kak... aku kangen mama, papa, kak Kevin..."
"Tenang Nana, aku tahu kamu merindukan mereka. Saat ini belum waktunya."
Nana melepaskan rangkulannya,
"Maaf kak, aku terlalu terbawa perasaan.... Aku sangat merindukan mereka... Terakhir kali aku mengatakan pada papa kalau aku mendapat beasiswa...."
Tiba-tiba Nana terdiam, dia seolah mengingat sesuatu.
(flashback)
Di sebuah ruang keluarga rumah Nana,
"Nana mendapat LoA dari Medical School di John Hopkins dan Architecture di New York University, Pa...."
"Siapa yang akan membiayaimu kalau kamu sekolah kedokteran? Apalagi di luar negeri!Kevin saja kuliah di UI, kamu malah ambil di luar negeri. Apa kamu mampu bersaing dengan mereka?!"
"Baik pa, Nana gak akan ambil kedokteran..."
"Terserah kamu saja...!"
(flashback off)
"Papa.... papa melarangku masuk kedokteran.... seharusnya aku...."
Nana memegangi kepalanya, lalu dia kebingungan,
"Sekarang tanggal berapa kak? Seharusnya aku berada di New York. Aku ingat seharusnya aku...."
"Nana....Nana...!"
Brian memegangi bahu Nana yang kebingungan dengan mengoyak rambutnya sendiri. Nana berhenti setelah Brian berteriak padanya.
"Nana....kamu tidak perlu memikirkan apapun. Selama kamu disini, pikiranmu hanya harus fokus pada pemulihanmu. Jangan pikirkan yang lain..."
"Tapi kak...."
Brian memeluk kepala Nana dan membungkam mulut Nana dengan pelukannya. Nana sejenak merasakan ketenangan dalam hatinya. Dia memejamkan mata sebagai upayanya menenangkan dirinya sendiri.
Mungkin saat ini Nana memang harus patuh pada Brian karena kondisinya saat ini juga tidak memungkinan untuk melakukan banyak hal. Meski di dalam hatinya penuh dengan banyak pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya namun juga tidak bisa ia ungkapkan.
Pagi itu Nana melakukan fisioterapi tulang belakangnya. Dia duduk di atas matras dengan posisi kaki yang diluruskan ke depan. Nana mengikuti setiap gerakan instruktur fisioterapi, dia terlihat sangat fokus dan intens.
Nana tidak menyadari bahwa Eric sudah beberapa menit yang lalu berada di ruangan itu bersama seorang anak kecil, Caesar.
Setelah melakukan beberapa gerakan fisioterapi, Nana kembali duduk di kursi rodanya dibantu perawat. Dan saat itu Nana baru tahu disana ada Eric.
"Kak Eric..."
"Bagaimana terapinya hari ini?"
"Yah... lumayan, sekarang aku sudah bisa duduk tegak..."
Nana melirik anak kecil laki-laki yang berdiri bersembunyi di belakang Eric dengan sesekali mengintip melihat Nana.
"Halo... siapa ini?"
Nana menyapa Caesar dengan sangat ramah. Namun Caesar malah semakin menggenggam erat celana Eric dan mengusap-usapkan wajahnya.
"Caesar.... ingat yang daddy bilang tadi malam kan?"
Caesar hanya mengangguk dan melihat Nana dengan tatapan mata yang seperti akan menangis. Bibirnya mulai melengkung ke bawah, hidungnya memerah dan sesekali mengedipkan matanya sudah sedikit berair.
Selama beberapa bulan ini Caesar sebenarnya sangat merindukan Nana. Dia sangat menahan kehangatan ibunya. Biasanya dia setiap hari tidur bersama Nana dan melakukan banyak hal di rumah bersama Nana.
Tapi semalam Eric mengatakan kondisi Nana kepada Caesar. Ayahnya mengatakan bahwa saat ini ibunya masih sakit dan tidak bisa mengingat tentang Caesar maupun ayahnya. Jadi Caesar harus memanggil ibunya dengan sebutan Kakak...
Anak sekecil Caesar yang setiap hari tidak pernah berpisah dengan ibunya, lalu tiba-tiba dia harus kehilangan ibunya, dan saat ibunya kembali.... Caesar bahkan tidak bisa memanggilnya ibu, apalagi mendapatkan kembali kasih sayang dari ibunya.
"Siapa namamu?"
"Ca...Caesar...."
Nana tersenyum dan menjulurkan tangannya kepada Caesar.
"Mom...."
Eric meremas lengan Caesar, hingga Caesar membungkam kembali bibirnya menahan kalimatnya.
"Apa Caesar ini anak Kak Eric?"
Eric hanya mengangguk.
Nana hanya tersenyum seolah dia tidak merasakan perasaan apa-apa melihat Caesar.
"Caesar mau main sama kakak...? Ayo kesini."
Caesar berjalan perlahan ke arah Nana lalu Nana menariknya dan merangkulnya. Tangis Caesar akhirnya pecah dan membalas pelukan Nana. Dia memang sudah sangat merindukan ibunya selama hampir 6 bulan ini sejak kejadian kecelakaan maut malam itu.
Brian melihat reuni keluarga kecil Nana dari balik pintu ruangan fisioterapi. Brian menghela nafas dengan berat lalu mengusap titik air di sela-sela matanya.
Brian menyandarkan tubuhnya ke tembok.
(dalam hati Brian)
"Aku harus gimana, Vin.... Nana saat ini membutuhkan aku. Tapi pria kecil itu lebih membutuhkan Nana.... Aku akan menjadi orang berdosa memisahkan ikatan ibu dan anaknya.... Karena aku juga pernah merasakan ditinggal pergi ibuku...."
(off)
Nana masih kaget dengan respon Caesar yang masih meraung menangis di pangkuan Nana. Lalu Nana mengelus rambut Caesar, tiba-tiba terasa ada hentakan hebat dalam hatinya. Seolah de javu saat dia menyentuh anak kecil itu. Dia kembali mengingat mimpi semalam saat mendengar suara anak kecil.
Nana menghentikan tangannya, dan memegang kepala Caesar lalu menengadahkan wajah Caesar yang masih penuh dengan peluh air mata. Nana memperhatikan dengan seksama setiap detail bagian mata, hidung, bibir, alis, kening, rambut, dan segala indera Caesar.
"Apa Caesar mengenal kakak?"
Caesar menghentikan tangisnya dan hanya terisak dengan nafasnya yang masih terengah-engah. Caesar hanya menggeleng.
Namun kenapa Nana merasa sangat familiar dan seperti de javu. Sepertinya dia tidak hanya sekali ini bertemu dengan Caesar.
Tapi dimana....
Nana kembali merasakan seolah ia melewatkan beberapa moment dalam hidupnya.
Tapi apa yang terlewatkan....
Brian yang sudah tampak sangat dewasa, Eric yang kini sudah memiliki anak.
Lalu dirinya....
Mungkinkah dia juga sebenarnya sudah berubah???
Semakin banyak pertanyaan yang tidak bisa ia ungkapkan terus menerus menekan pikirannya. Kepala Nana terasa sakit yang luar biasa.
"Ahh.... sakit...!"
Nana terus memegangi kepalanya dengan berteriak. Caesar ketakutan melihat Nana yang tiba-tiba saja berubah.
"Nana... kamu tidak apa-apa?"
Nana semakin merasa kesakitan sambil terus memukul-mukul kepalanya sendiri. Bahkan hidungnya sampai mengeluarkan darah. Brian berlari meraih Nana dan menghempaskan Eric yang sedang berusaha menenangkan Nana.
Caesar yang ketakutan melihat Nana hanya bisa menangis dalam gendongan Eric. Mereka mengikuti Brian yang membawa Nana ke kamar perawatan.
"Mommy kenapa, daddy...?"
"Mommy akan baik-baik saja, Caesar berdoa ya... semoga mommy tidak sakit lagi..."
Eric sebenarnya tidak tega melihat Nana yang terus berteriak kesakitan. Brian dan beberapa perawat tampak sibuk memberikan tindakan medis pada Nana. Brian terpaksa memberikan obat painkiller agar Nana bisa kembali tenang dan stabil.
"Daddy, aku takut lihat mommy kesakitan..."
Caesar semakin memeluk erat leher Eric. Eric menenangkan putranya dengan memeluk erat tubuh kecil itu dan menjauhkan dirinya dari kamar perawatan Nana sampai Caesar tidak mendengar suara Nana yang berteriak kesakitan.
Eric terus mengelus punggung Caesar hingga ia tertidur. Kemudian Eric duduk di sofa luar ruangan perawatan Nana dan menidurkan Caesar yang lelah menangis di pangkuannya. Eric mengelus rambut Caesar seperti yang sering dilakukan Nana pada putra mereka.
Saat ini Eric baru menyadari bahwa putranya juga bisa merasakan penderitaan yang dialami Nana. Beban hatinya semakin bertambah, dia tidak hanya merasa berdosa pada Nana, tapi juga pada putranya....
------------------------------------
Spoiler:
Di episode selanjutnya,
Eric menandatangani Surat Perceraiannya dengan Nana.
Apa yang membuat Eric tiba-tiba berubah pikiran dengan menyetujui bercerai dengan Nana?
Apakah dia sudah menyerah dengan perjuangannya dan merelakan Nana bersama Brian?
Tetap setia membaca Novel ini,
Jangan lupa dukung author dengan klik: "Like"👍 "Love"❤️ dan berikan rating "Bintang 5"⭐⭐⭐⭐⭐ya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
maura shi
kasian caesar,ini semua mmg ulah ayahnya yg g mau menata lurus hidupnya ke depan yg cm mentingin ego cinta butanya d masalalu
2021-02-19
0
Lina ciello
gustiii karyamu thorr kok isoh gini...kmu bayangin apa sechh thorrr😭😭😭😭😭 sakno caesar thorrr ga tega thorr 😭😭😭😭😭
2021-02-13
0
Giben Nezar
haduhhhh nangis mulu nih
2021-01-14
0