Sebuah Jawaban
1 jam kemudian Eric sampai di kantornya Nana.
Dia menemui Nana namun ternyata tidak ada di tempat. Eric berkali-kali menelpon Nana namun dia tidak mengangkat telepon Eric. Ponselnya sengaja dimatikan.
Eric menelpon Malik, namun juga tidak diangkat. Sepertinya Malik sengaja dibungkam oleh Nana.
Eric dengan emosinya yang sudah tidak bisa dibendung langsung menanyakan staf kantor yang dekat dengan Malik.
Semua staf hanya diam,
"Kalau sampai ada apa-apa dengan Nana, kalian yang akan aku bawa ke meja hukum, dengan tuduhan kelalaian!"
Semua staf menjadi ribut saling menunjuk dan akhirnya mereka mengajukan Wayan, teman satu ruangan Malik.
Kemudian Eric menyuruh Wayan untuk menelpon Malik menggunakan ponselnya Wayan.
Ada panggilan masuk ke ponselnya Malik dari Wayan, Malik ragu menerimanya tapi akhirnya Malik mengangkat panggilan telepon Wayan.
"Malik, kamu dimana?"
"Aku sedang di perjalanan mengantar Nona Alina, ada apa?"
"Antarkan Nona Alina ke kantor, ada tamu penting yang mau bertemu."
"Siapa Bli ? (sebutan untuk kakak laki-laki dari bahasa Bali)"
Wayan sedikit berbisik kepada Malik.
"Tuan Eric disini, dia marah pada kami semua. Kalau kamu tidak mau kita semua dipecat segera kirim lokasi kamu sekarang."
Wayan menutup teleponnya.
Malik sedikit gentar, lalu membuka aplikasi GPS-nya tanpa sepengetahuan Nana.
"Siapa Malik?"
"Eh.... Wayan..."
Suara Malik sedikit bergetar, namun ia berusaha untuk tidak ketahuan oleh Nana.
"Apa ada masalah di kantor?"
"Tidak ada Nona, Wayan cuma mau titip ke saya untuk beli sesuatu."
"Oh...."
Malik diam-diam melanjutkan share location dan mengirimnya kepada Wayan melalui WhatsApp.
Wayan menerima pesan dari Malik dan langsung diteruskan kepada Eric.
Tanpa menunggu waktu, Eric pergi menggunakan mobil kantor mengejar Nana dan Malik.
Eric mengikuti GPS yang menunjukkan lokasi Nana, mereka menuju ke daerah Badung, Bali.
Eric meningkatkan kecepatannya, dia lalu memilih jalur alternatif lain agar bisa memotong jalur yang akan dilalui Nana.
Ckiiiiitttttt.....!!!
"Ya Tuhan, Malik! Ada apa?"
Malik hanya diam karena dia fokus pada seseorang yang turun dari mobil di depannya.
Eric berjalan cepat menuju mobil Nana.
Nana baru menyadari kehadiran Eric saat pintu sopir tiba-tiba dibuka oleh Eric.
"Malik, turun!"
Eric dengan nada dingin menyuruh Malik turun. Namun Nana menarik baju Malik dari belakang.
"Malik, kamu tetap disini!"
"Turun, Malik!"
Eric menatap mata Malik yang sudah agak ketakutan. Dia ragu namun ia tidak mau terlibat dalam urusan kedua atasannya itu.
"Maaf Nona, saya pergi dulu."
Malik keluar dari mobil Nana dan masuk ke dalam mobil kantor yang dipakai Eric sebelumnya.
Eric masuk ke dalam mobil Nana dan langsung mengunci central lock. Nana sudah tidak bisa keluar lagi dari mobil.
Eric mengemudikan mobil dan membawa Nana menuju tempat yang lebih tenang untuk mengajaknya bicara.
Nana sudah pasrah dengan apapun yang akan dilakukan Eric terhadapnya.
Selama perjalanan mereka tidak mengucapkan sepatah katapun. Eric duduk di kursi sopir, sedangkan Nana masih berada di kursi penumpang seperti posisi sebelumnya.
Nana tidak berani melihat ke depan, dia hanya melihat ke arah jendela.
Sesekali Eric melihat Nana dari spion depan, dia mengamati perubahan tubuh Nana yang saat ini sedang hamil.
Saat mereka sampai di dekat Pantai Payung di Badung Bali, Eric berhenti.
Dia turun dari mobil dan masuk lagi melalui pintu penumpang di sebelah Nana.
"Nana lihat aku sekarang"
Nana tetap melihat ke arah jendela.
Eric menganggap Nana masih bersikap acuh padanya, tapi sebenarnya Nana takut menghadapi Eric.
"Nana... Aku masih menahan kesabaran selama kamu mau buka mulut."
Nana tetap membisu. Eric menarik tangan Nana.
"Nana, harus dengan cara apa supaya kamu tidak menghindar terus seperti ini! Apa yang kamu inginkan!"
"Lepaskan aku Eric!"
Nana meronta melepaskan tangannya dari genggaman Eric, namun tangan Nana yang diameternya hanya setengah dari diameter tangan Eric, tidak mampu melepaskan tangan putih berotot itu.
"Lihat aku, Nana! Atau aku akan memaksamu!"
"Memaksa apa! Kamu mau memaksaku membunuh janin ini?! Atau sekalian membunuhku juga?!"
Eric melihat mata Nana yang sudah berair.
"Eric, aku tahu aku salah karena tidak mengatakan apa-apa padamu tentang masalah ini. Tapi ini bukan salahku! Aku juga tidak mengharapkan semuanya terjadi! Aku bisa apa? Anak ini hidup dalam tubuhku, bukan aku yang memintanya, juga bukan kehendaknya hidup di tubuhku! Tapi ini kehendak Tuhan! Apa aku salah jika aku ingin memberikan kesempatan hidup padanya?!"
Air mata Nana semakin deras.
Eric yang sejak awal ingin menemui Nana dalam keadaan marah, perlahan hatinya luluh.
Kali ini Eric melihat Nana yang dikenalnya sebagai wanita dingin seperti tak berperasaan, berubah menjadi wanita yang sedang mengemis padanya dengan wajah iba yang penuh luapan kesakitan dalam hatinya.
Eric menghela nafas panjang dan melirihkan suaranya,
"Nana... Aku tidak akan menyuruhmu membunuh anak ini, bahkan mengaborsinya meski bila aku tahu dari awal."
Nana terkejut mendengar ucapan Eric.
"Kamu tidak tahu selama ini berapa banyak kebimbangan yang aku lalui selama menjalani pernikahan denganmu, Eric. Kehadiranku yang dari awal sudah membuatmu benci, bahkan di matamu apapun yang aku lakukan selalu membuatmu semakin benci, penghinaan demi penghinaan yang aku terima darimu semuanya adalah wujud kebencianmu. Bahkan aku tidak pernah hidup melewatkan satupun kebencian darimu! Dan sekarang, bagaimana aku akan percaya kamu tidak akan membunuhku karena aku sudah membiarkan anak ini hidup? Kamu pasti berpikir aku sengaja melakukannya agar aku bisa memanfaatkannya untuk meluluhkanmu! Iya kan?!"
Nana semakin berteriak dalam keputus asaan dan terus menangis.
"Kamu salah Eric! Aku bukan wanita seperti itu! Kamu salah!"
"Nana dengar dulu!"
"Aku tidak mau mendengarmu!"
"Nana!!!!"
Eric memegang kepala Nana dengan kedua tangannya dan menghadapkan ke wajahnya.
Eric menyelami tatapan nanar dari wajah kecil yang hampir seukuran telapak tangan Eric, wajah yang saat ini rona mukanya kemerahan karena tangisan pilu dengan mimik wajah yang menyayat hati.
Eric berbicara dengan perlahan dengan menatap mata Nana dalam-dalam.
"Aku tidak pernah membencimu Nana. Dari awal aku tidak membenci dirimu."
Nana melepaskan genggaman tangan Eric di wajahnya.
"Kamu sendiri yang bilang kita akan hidup dalam alur kita masing-masing. Aku dan kamu sama-sama memiliki orang lain di hati kita. Mungkin bagimu mudah mengabaikan seseorang, tapi bagiku itu sulit..."
"Jadi karena itu kamu selalu menghindariku? Karena itu juga kamu bersikap dingin padaku?"
Nana hanya diam dengan tetap melihat ke luar jendela.
Nana sama sekali tidak merespon ucapan Eric, lalu Eric melanjutkan kalimatnya.
"Justru aku pikir selama ini kamu yang membenciku, Nana. Sikapmu yang selalu menunjukkan seolah kamu adalah wanita yang paling hebat, ambisius dan tidak butuh orang lain, itu adalah keangkuhan yang tidak pernah aku sukai darimu."
Nana melihat jauh ke arah laut dari jendela, dan berusaha menggali kembali hatinya.
"Eric, aku tidak pernah memiliki teman sejak kecil selain kak Brian dan kakakku sendiri. Teman-teman sekolahku enggan berteman denganku yang mereka pikir aku adalah anak manja yang sombong dan pilih-pilih teman, tapi kenyataanya sangat jauh berbeda. Aku menjauh dari mereka bukan karena aku tidak mau berteman dengan mereka, tapi karena aku tidak memiliki keberanian bergaul dengan mereka. Aku takut mereka membullyku karena aku tidak memiliki banyak hal seperti yang mereka punya. Setiap hari mereka selalu menceritakan kesenangan mereka saat bermain, memiliki mainan, dan berpetualang. Sedangkan aku banyak menghabiskan waktuku hanya di rumah untuk belajar, les, membaca, dan melakukan kegiatan sesuai keinginan ibuku. Ayah ibuku selalu tidak pernah memberiku pilihan, sedangkan anak-anak lain punya waktu dengan kesenangan mereka sendiri. Bahkan saat ayahku memberi kebebasan pada kakakku untuk memilih cita-citanya dan mendukung perjuangannya menjadi dokter. Tapi aku harus berjuang sendiri untuk bisa kuliah di New York dengan beasiswa, dan kerja paruh waktu sebagai pencuci piring di restoran hanya agar aku hidup berkecukupan dan tenang menjalani hidupku dalam kesendirian tanpa berhubungan dengan banyak orang. Tapi semua orang selalu melihatku dari apa yang aku capai, bukan dari seberapa banyak darah, keringat, dan air mata yang sudah aku keluarkan. Karena aku memang tidak mau terlihat lemah dan kesakitan, bahkan di mata keluargaku sendiri."
Bibir Eric seolah membeku, dia selama ini memang salah menilai Nana. Dia tidak pernah berusaha mengenal Nana. Yang dia tahu, Nana adalah orang ketiga yang tiba-tiba datang merusak semua kebahagiaannya. Padahal Eric bukan satu-satunya orang yang tidak bahagia, justru Nana yang sebenarnya lebih tidak bahagia.
Eric yang pernah sengaja mengirim Nana ke Phuket agar dirinya leluasa mencari dan menyelidiki keberadaan Edis, tidak pernah memikirkan sedikitpun nasib Nana.
Dan kali ini Eric sengaja menyuruh Nana ke Bali juga agar dia bisa melanjutkan pencariannya terhadap Edis yang masih nihil.
Namun tampaknya kali ini berbeda, Nana sedang hamil dan itu semua adalah kesalahan Eric.
Sekalipun Eric tidak mencintai Nana, akan tetapi dia adalah pria sejati yang bertanggung jawab.
Meskipun Eric tidak bisa melupakan Edis hingga detik ini, sepertinya dia harus menyerah sedikit demi sedikit.
"Aku akan bertanggung jawab Nana, Mari kita besarkan anak ini.... Aku akan berusaha menyayanginya, tapi...."
Eric masih ragu mengatakannya, tapi Nana bisa membaca apa yang ada di pikiran Eric.
"Kamu tidak perlu memaksa dirimu sendiri untuk membuka hatimu, aku tidak akan mengemis padamu. Hanya anak ini yang memiliki ikatan tanggung jawab denganmu. Tapi kita tidak ada kewajiban untuk saling membuka hati. Semua adalah pilihanmu, Eric."
Eric tahu Nana memang paling bisa membaca pikirannya, namun sebenarnya ia berharap mereka bisa saling mengenal lebih dalam dan berusaha membuka hati.
"Aku sebenarnya ingin mengatakan bahwa aku butuh waktu, Nana... Aku dengan Edis menjalani hubungan selama 4 tahun. Dan dalam waktu selama itu kami melakukan banyak hal yang sulit dilupakan. Edis adalah wanita yang aku pilih dengan hatiku. Berbeda denganmu yang tiba-tiba datang ke kehidupanku tanpa seijinku... Jadi aku butuh waktu untuk menerima kehadiranmu."
"Sekali lagi, aku tidak memaksamu Eric, aku juga tidak akan berusaha menarik hati dan perhatianmu, aku hanya akan menjalani hidupku sebagai ibu dari anak ini. Terimakasih kamu telah memberikan kesempatan dia hidup. Itu sudah cukup bagiku"
Nana dengan lapang dada menerima segala keputusan Eric.
Nana tahu memang sulit melupakan seseorang di masa lalu, bahkan dirinya juga masih belum mampu melupakan Brian, meski Nana tidak pernah melakukan banyak hal bersama Brian. Apalagi Eric yang hubungannya sudah sangat dalam dengan Edis, sudah seperti suami istri, tentu saja itu akan lebih sulit bagi Eric.
"Mulai minggu depan, kamu akan kembali ke Singapur. Sampai kamu melahirkan, kamu tidak perlu memikirkan urusan kantor. Kamu bisa mengajak mama Lisa dan asistenmu juga. Mulai saat ini, jangan pulang ke apartemen, tapi ke rumahku."
Nana tidak percaya Eric memberikan keputusan yang tidak pernah ia duga.
"Lalu masalah perceraian itu...."
"Jangan pikirkan itu dulu, sekarang kita harus memikirkan dan bekerja sama untuk membesarkan anak ini."
Nana memejamkan matanya dan air matanya kembali mengalir. Dia sangat lega dengan keputusan Eric yang mengijinkannya melahirkan anak yang dikandungnya.
Meski Nana tahu suatu saat mungkin Eric akan berubah, hati manusia siapa yang akan tahu.
--------------------------
5 tahun kemudian,
"Caesar....!!!"
"Grandma...!"
Julia datang ke rumah Eric dengan membawa banyak kado untuk Caesar. 2 hari lagi cucunya akan ulang tahun yang ke-5 namun pada saat itu Julia harus pergi ke Hongkong.
Julia mencium seluruh wajah cucu laki-lakinya itu dengan gemas.
"Grandma bawa apa itu?"
"Grandma bawa banyak kado untuk little boy Grandma yang lusa ulang tahun..."
"Tapi Grandma, mommy bilang Caesar gak merayakan ultah seperti tahun lalu. Tahun ini mau dirayakan di welfare house dekat sekolah Caesar..."
"Wah... bagus itu. Caesar pasti banyak teman disana."
"Caesar malu... Caesar gak mengenal mereka..."
"Tidak apa-apa, Caesar tidak perlu malu. Caesar kan smart boy..."
Caesar adalah anak yang 5 tahun lalu dilahirkan oleh Nana. Setelah tahu Nana hamil saat itu, Julia semakin menyayangi Nana. Bahkan kasih sayangnya kepada Caesar melebihi kasih sayangnya kepada Eric.
Dua minggu ini Eric berada di Seattle untuk melakukan study banding, sementara Nana harus menggantikan Eric di kantor selama Eric berada di Seattle.
Caesar memiliki postur dan wajah yang sangat mirip dengan Eric. Bahkan Julia sendiri melihat Caesar seperti melihat sosok Eric di masa kecil. Namun Caesar memiliki watak dan sifat yang cenderung seperti Nana saat masih kecil, pemalu dan tertutup.
"Kata mommy, daddy besok pulang Grandma..."
"Oh iya? Lalu Caesar minta kado apa sama daddy?"
Caesar hanya menggeleng kepalanya, ia memang tidak mengharapkan apa-apa dari Eric selain kehadiran Eric. Karena Caesar sudah sangat merindukan Eric.
Eric sebenarnya sangat dekat dengan Caesar, namun karena kesibukan Eric yang membuatnya sering berpisah dengan Caesar.
"Caesar cuma pengen tidur sama daddy..."
Julia memeluk cucunya. Dia menyadari Caesar memang memiliki keterbatasan waktu bersama Eric. Namun ia bersyukur karena Nana bisa menjadi ibu yang sangat sempurna untuk Caesar. Bahkan Nana mampu membagi waktunya sebelum bekerja untuk mengurus sendiri semua kebutuhan Caesar.
Keesokan harinya, Nana mengajak Caesar ke bandara untuk menjemput Eric. Tidak berapa lama tampak Eric keluar dari pintu kedatangan, Caesar berlari memeluk Eric.
Eric menggendong putranya dan memeluknya penuh kerinduan.
Nana hanya melihat mereka dari jauh.
Bagi Nana, Eric sudah berperan menjadi ayah yang baik bagi putranya.
Saat di Mobil, Caesar tertidur di pangkuan Eric. Suasana di mobil terasa canggung karena Nana maupun Eric tidak ada yang memulai pembicaraan.
Tiba-tiba Caesar meraih satu tangan Eric dan satu tangan Nana lalu Caesar mendekap tangan mereka dalam satu pelukan.
Suasana menjadi lebih canggung. Eric dan Nana sama-sama memalingkan wajah malu mereka ke arah jendela yang berlawanan.
Sesampainya di rumah, Eric menggendong Caesar menuju kamarnya. Namun Nana bermaksud menggantikan Eric menggendong Caesar. Tiba-tiba Caesar terbangun namun kepalanya masih bersandar di bahu Eric.
"Caesar mau tidur di kamarnya daddy...."
"Caesar.... daddy capek, Caesar tidur sama mommy aja ya...."
"No.... Caesar mau sama daddy...."
Caesar semakin kuat merangkul leher Eric, lalu Eric memberi isyarat pada Nana untuk membiarkan Caesar tidur dengannya.
Pada tengah malam, Caesar menangis karena dia memang terbiasa tidur dengan Nana di kamarnya.
Eric membangunkan Nana dan menyuruhnya tidur di kamarnya bersama Caesar, dia akan tidur di sofa.
"Mommy..., daddy kemana?"
"Daddy tidur di sofa, karena kasurnya tidak cukup untuk kita bertiga."
"Tapi kasur ini lebih besar dari kasur Caesar yang biasanya cukup untuk mommy dan Caesar. Seharusnya kasur daddy cukup untuk bertiga."
"Caesar tidur aja ya.... besok pagi harus bersiap pergi ke Welfare House kan?"
"Caesar mau tidur sama daddy juga, mom...."
Sebelum Nana memanggil, Eric sudah masuk kamar, sepertinya Eric memang mendengar pembicaraan mereka saat di pintu kamar.
"Iya... daddy akan tidur disini bersama Caesar dan mommy juga."
Nana melotot ke arah Eric, seolah dia mengancam jangan pernah berbuat macam-macam.
Namun Eric mengabaikan Nana dan tidur di samping Caesar sampai Caesar terlelap.
Nana juga ikut terlelap di samping Caesar, namun tiba-tiba Eric mencium pipi Nana.
Seperti ada sinyal alarm yang kuat, Nana membuka matanya dan melihat Eric sudah berada di belakangnya. Nana menjauhkan wajah Eric, tapi Eric malah menahan tangan Nana dalam genggamannya.
Eric menggoda Nana sambil tersenyum nakal, dia sangat menyukai ekspresi Nana yang marah dan kesal tidak jelas.
"Kamu apa-apaan Eric... Lepas..."
"Kamu sedikitpun tidak merindukan aku? Aku tahu kamu cuma gengsi."
"Diam...!"
Eric tanpa banyak kata langsung mencium bibir Nana dan menahan kepala Nana agar mereka semakin lama berciuman.
Nana berusaha melepaskan diri dengan memukul dada Eric karena ada Caesar yang tidur di sampingnya.
Nana sudah hafal dengan bahasa tubuh Eric. Meskipun saat ini mereka sudah pernah beberapa kali melakukan hubungan suami istri, tapi Eric-lah yang selalu memulainya dengan memaksa Nana.
Meski pada akhirnya Nana harus menyerah dan mengikuti keinginan Eric.
Harus bagaimana lagi? Nana saat ini adalah satu-satunya wanita yang ada di samping Eric.
Eric memang sudah terbiasa melakukan skinship dengan kekasih-kekasihnya dulu sebelum menikah dengan Nana, bahkan sebelum dengan Edis.
Jadi mana mungkin Eric tahan dengan adanya wanita disampingnya, apalagi Nana adalah wanita yang berada di rumahnya setiap hari, ibu dari anaknya, dan tentu saja dia tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti yang dia lakukan dengan Edis dulu.
----------------------------------------
Spoiler episode selanjutnya;
Saat Eric menemani Caesar pergi ke Welfare House untuk merayakan ulang tahun, ternyata disana dia bertemu dengan Edis setelah bertahun-tahun Eric tidak bertemu.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Jangan lupa dukung author dengan klik: "Like"👍 "Love"❤️ dan berikan rating "Bintang 5"⭐⭐⭐⭐⭐ya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Lintang Maharani
ini novel yg bagus banget loh
2021-11-04
1
maura shi
wohoooow spoilernya bikin darting reader up
2021-02-19
0
maura shi
q tau perasaan nana,q juga pribadi yg sulit bergaul dgn org baru,kadang org yg melihat dr jauh blgnya q sombong g mau gabung dgn yg lain apalagi d tunjang jgn wajah jutek,tatapan mata yg tajam makin melekatlah predikat somse itu d diri q
cm sahabat2 deket q yg blg kalo q g sombong tp sprti yg kebanyakan org g kenal q,malah mereka lebih condong ngatain q cerewet
2021-02-19
1