Setelah kejadian itu aku juga Tika akhirnya berteman. Selama beberapa hari kami terus
saja menghabiskan waktu bersama-sama di sekolah, dan dia mulai mengajariku cara
berdoa yang baik soalnya aku masih terikat dengan adat agama sekolah lamaku.
Dia sangat baik, sangat baik, begitu baiknya dia selalu bersamaku, meski ia tahu ada yang tak suka padaku. Bohong
semua bohong, Penipu semua penipu mereka kejam, meski perkataan kami sangat
sederhana layaknya anak kecil namun untuk sesama anak kecil itu sangatlah
jahat.
“ Tika kalo kamu mau main sama dia kita tidak mau teman kamu yah. “ kata
temanku Tiara.
“ Fik? Maaf yah? Bundaku adalah teman Bunda Tiara juga, aku takut diadu oleh
Tiara. “ Wajahnya berubah sedih.
“ Tenang! saya akan bermain dengan Yusuf saja, diakan selalu di jauhi karena
air liurnya, tapi aku tidak akan menjauhinya, walaupun sesungguhnya aku pun
merasa sedikit jorok hihihihihih.. “ Jawabku berakhir canda agar tak saling
menyinggung.
“ Hihihi, aku main dulu yah. “ Iapun berlalu pergi.
“ Fika! kita tangkap capung yok! Disana ada banyak! Mau ikut menangkap!? “ Seru
Kak Farhan mengajakku.
“ Fika! sini lagi banyak capung lohh. Ada banyak warna yang bisa kamu pilih “
Saut kak Fadli tetanggaku.
“ Iyah! tunggu Fika ke situ yah kak, nanti kakak pegangin fika yah kak.. “
Jawabku buru-buru memakai sandal.
“ Ayukk Fikk nanti capungnya pada pergi “ Saut Kak Reza.
Aku, kak Fadli, Farhan, Rifky, Rehan, Dan teman-teman lainnya saat ini memburu capung
dihalaman sekolah, ini sebuah tantangan yang menarik sebab bila tidak hati-hati
maka kita akan kehilangan capung. Tapi tidak dengan kami semua, menurut kami
ini hal yang mudah dan sudah biasa di lakukan oleh kami sebab setelah menagkap
capung kami akan memperlihatkan warna capung pada yang lain dan melepaskan lalu
menangkapnya lagi, dan seterusnya hingga bell masuk. Terkadang kami juga
menangkap belalang, hal inilah yang
paling sulit bagiku soalnya bila lengah ia akan melompat sebelum tangan kita
mendarat di tanah, itu salah satu keseruan yang paling aku rindukan tiap libur
sekolah.
Jangan heran dengan semua kegiatan bermain kami sebab guru kami tidak melarang
kami bermain apapun di halaman sekolah kami sebab bagi mereka itu adalah suatu
metode kembang diri bagi anak anak seperti kami ini. Lalu bagaimana dengan
pakaian kami, apkah kotor? Itu sudah pasti jangan ditanyakan lagi, Orang tua
kami tidak perna marah pada kami sebab kami hanya akan melakukannya setiap hari
rabu, kami,dan jam senam saja sebab saat itulah kami tidak memakai pakaian
putih putih.
“ satuuuuu, duaaaaa, tiga,,!!!! Hup!! “ hitungku dalam hati.
“ Yehhh dapattt!!! “ senangku saat menangkap belalang kunyit yang besar.
“ Wahh hebatt.. Fika kamu lincah yah sampai bisa dapat sebesar itu, nanti bantu
aku menangkap belalang sebesar itu yah? “ Puji Rifky merangkulku.
“ Siapa dulu.. Itukan Adikku hehehe.. “ Saut Kak Fadli ikut merangkulku juga.
“ Fadli, adikmu ini cewek tapi lincah yah hahahah kamu kalah sama dia, Hahahaha
“ Ejek Kak Alamsyah, teman Kak Fadli.
“ Badanku kan besar aku mana bisa mengejar belalang sebesar itu, dan lagi itu
pasti lompatannya tinggi juga jauh iyah kan Fikk?? “ Elak ka Fadli.
“ Hahahaahah “
Sontak tawa kami terdengar nyaring.
Beberapa hari
kemudian..
Pagi ini aku dan Dinda terlibat perkelahian mulut, sesungguhnya aku tidak melakukan apa-apa
untuk mencari masalah dengan teman kelasku sendiri, akan tetapi entah kenapa
mereka sangat membenciku dan seakan mereka ingin aku pindah dari sekolah ini,
padahal aku hanya ingin menggantung tasku di lemariku saja namun tiba-tiba ada
yang mendorongku.
“ Jauh-jauh sana! Plinses biutiii!! Nanti bajuku bau
tepung kayak kamu lagi. “ Dinda mendorongku.
“ Memangnya bau tepung itu bagaimana sih? Bukannya tepung itu tidak punya bau yah? “
tanyaku dengan sedikit takut.
“ itu karna kamu sudah biasa dengan bau tepung jadi hidungmu tidak bisa lagi mengenali bau
itu, kan kamu hanya anak dari tante penjual kue! “ katanya mengejekku.
“ Memangnya kenapa kalo AFIKA! anak dari penjual kue !!! “ Nadaku berubah menjadi kasar.
Seketika Ustazda kami datang sebab mendengar suara teriakanku yang begitu besar, dan
benar saja semua terjadi dengan kemauan mereka, rencana mereka berhasil, seakan
disini aku yang paling salah, dan disinilah aku yang paling disudutkan.
“ Heh!? Siapa yang tadi teriakk teriakk !! “ Tanya Ustazda Ummi yang marah dengan nada pelan.
“ Dia stazda…. Si Afika tadi bentakin Dinda.. “ Adu Dinda padanya.
“ Afika! Kamu ini kenapa seperti itu hah? Skarang juga kamu harus minta maaf pada Dinda “
Kata Ustazda menatap tajam padaku.
Dimata Ustazda Ummi seperti telah terjadi kebaran yang kini tengah berkobar-kobar, juga tak
segan-segan untuk meratakan siapa saja dan apa saja.
“ Tpi Usstt….. “ Kataku terputus
“ Tidak Afika! Tidak.. kamu harus meminta maaf pada Dinda, kalian itu teman satu kelas bukan
teman beda kelas, bahkan tema beda kelaspun harus kamu jaga silahturahmimu
oadanya, ayok sekarang minta maaf pada Dinda, “ Lagi Ustazda Ummi yang mulai
memaksaku.
“ Tidak, tidak mau, Afikaa ngak salah kok, kenapa harus Afika yang minta maaf. “ jawabku
dengan nada ragu-ragu.
“ Afika!! Ustazda akan hitung sampai 3 kamu harus minta maaf… “ Lgi Ustazda Ummi
mengancamku.
“ 1……………..2………… “ Ustazda Ummi mulai menghitung.
“ …. “ Mulutku bungkam berucap.
“ 3!, Kamu ini keterlaluan yah!! Jam istirahat nanti kamu tidak Ustazda IZINKAN untuk memakan
bekal kamu dan kamu harus berdiri disini sampai pulang nanti, paham kamu!!! “
Nada Ustazda mulai meninggi Karen merasa kesal padaku.
Aku sangat ingat kejadian ini, kejadian yang membuatku merasa dikucilkan, merasa sangat
tersisihkn, merasa sangat lemah, merasa sangat tidak dibutuhkan. Dunia kejam!
Mereka tidak memandang bulu untuk menginjak-nginjak harga diri seseorang selagi
mereka memiliki kekuasaan maka tidak diperlukan adab yang benar untuk menghukum
orang kecil seperti kami. Aku baru saja berusia 6 tahun, akan tetapi harus
merasakan masa masa pembulian dilingkungan sekolah. Saat itu aku pun perna
berpikir, apakah seperti ini cara guru kami mengajarkan muridnya, sebab
seingatku Mam.Merni tidak perna memperlakukanku seperti ini, dia sangat baik
dan suaranya sangat lembut, dia juga tak perna memarahi muridnya bila ada yang
berkelahi ataupun membela salah satu muridnya meskipun terbukti salah.
Sepulang sekolah, Mama mengecek kembali kotak bekalku dan juga Buku PR ku, itu sudah
kebiasaan Mama sedari Kakakku dahulu hingga sekarang masih ia lakukan pada
kami. Awalnya dia menanyakan aku tentang sokalahku hari ini akan tetapi pembicaraan
kami dihentikan oleh Mama sebab mendapati bekalku yang masih utuh tidak
tersentuh sedikitpun, tatahannya masih sebagus saat dibuat pagi ini.
“ Afika? kenapa kamu tidak makan bekalmu?? Apa kamu sakitt? “ Tanya mama memegang kotak
bekalku.
“ Zuuu… Zuuuu… tadiiiiiiii…Afikaaaaaaaaaa dihukummmmmmmm “ jawabku sambil bermain motor motoran pemberian kak Fadli.
“ Loh kok dihukum… “ Tanya Mama.
“ Ngeeeeeenggg.. zuuuu….bib bibbbbbbbb.. zuuuuuuuuu.. “ Aku tidak menghiraukan.
Tentu saja tidak aku hiraukan, saat itu aku masih anak anak yang selalu berpikir untuk fokus
pada permainanku sediri dibandingkan memikirkan sebuah masalah yang terjadi
padaku, dan aku pun bukan sosok anak kecil yang suka mengadu jika suatu hal
telah terjadi padaku ini bukan kali pertamanya aku pulang dengan perut yang
kosong, tetapi sudah 4 atau 5 kalinya, namun Mama tidak perna tahu sebabnya apa.
Tiba-tiba aku merasa terserang sesuatu yang mengenai perutku dan rasanya sangat
sakit, begitu sakitnya yang kurasakan tampa sadar aku pun mulai menangis dengan
suara yang keras, dan sontak membuat para tetanggaku menjadi kaget
mendengarnya. Mamaku yang kala itu sedang melakukan aktifitas jualannya yang
berletak dipinggir jalan raya, memdadak meninggalkan tempat jualannya
dikarenakan salah satu tetanggaku berlarian untuk memberi tahukan bahwa aku
saat ini sedang menangis kesakitan di dalam kamar. Sungguh berita buruk bagi
seorang Ibu yang sedang menacari tambahan nafka bagi keluarga sederhananya.
Bagi seorang Ibu sesibuk apapun pekerjaannya, namun tetap saja ia akan terkejut
apabila mendengar anaknya saat ini sedang menagis kesakitan, dan secepat
mungkin ia akan pergi memberi pertolongan pertama yang ia ketahui untuk
meringankan rasa sakit pada anaknya.
Sesampainya dirumah.
“ Aduhh sakiitttt.. hikss hiksss hiksss hiksss sakit aduh perut ku sakit Mahhh..
Mama…Mama.. sakitt huhu sakitt perut hiks hiks hiks.. “ Tangis ku mendadak
makin membesar dengan diikuti rasa sakit yang menusuk-nusuk.
“ Afika?? Kamu kenapa?? Sayang!! Sayang!! Kamu kenapa.. sini Mama kasih kamu obat yah biar
sakitny areda yah sayang “ Panik Mama mencari obat pereda sakit perut.
“ Ini diminum yah nak! “ Mama memberiku obat.
Setelah kejadian yang menimpa diriku barusan, mendadak Mama menapakkan kakinya menuju rumah Tante Lina
yang bersebelahan dengan rumah kami untuk meminta tolong. Mama menerka bahwa aku
terkena mag sebab aku tak makan apa pun sedari pagi hingga jam 12 siang dini
hari.
“ Ina?? Fajar ada tidak? “ Tanya Mama.
“ Ada kak, kenapa kak? Kok panik gitu sih, ada apa? “ Balas Tante Lina.
“ Ituu, Afika sakit perutt, kakak mau minta tolong dianterin ke dokter, soalnya suami kaka
dapat Shiff pagi dikantornya dia. “ Jawab Mama Panik.
“ Yah sudah kak tunggu sebentar yah? “ Tante Lina pergi meninggalkan mama.
Tidak lama kemudian Tante Lina pun akhirnya keluar dengan suaminya dan segera mengeluarkan
mobilnya dari halaman rumah mereka untuk menjemputku. Paman dengan sigap
langsung menggendongku masuk kedalam mobil mereka dengan kondisiku yang masih
merintih kesakitan, perjalanan menuju puskesmas hanya membutuhkan waktu 30
menit dari jarak yang di tempuh pamanku. Tibanya kami disana, para perawat
langsung memeriksaku dengan benda aneh yang menggantung dilehernya, lalu
ditempelkannya pada perutku yang kesakitan.
Tak cukup 10 menit, dokter tersebut lalu memberikanku sebuah obat serbuk untuk diminum saat
itu juga, sambil berkata bahwa aku akan segera sembuh dari sakit perutku ini.
Setelah meminumnya aku pun mulai menahan tangisku sebab rasa sakitnya memang
mulai berkurang dari sebelumnya.
“ Bagaimana pak mantri? Apakah anak saya akan baik baik saja?. “ Tanya paman pada dokter
tersebut.
“ Anak bapak mengalami keram pada bagian perut, apakah anak bapa sering terlambat makan
belakangan ini? Ataukah dia salah memakan sesuatu yang menyebabkan ia
kesakitan? “ Tanya kembali dokter pada pamanku.
“ Saya tidak tau pak?. “ jawab paman bingung.
“ Baiklah saya akan menanyakan sendiri pada anak bapak yah. “ jawab dokter tersebut sambil
berjalan menujuku.
Percakapan itu berlangsung didepan mataku, aku pun mulai memberanikan diri untuk bersuara pada
Dokter tersebut yang sedang menanyakan satu pertanyaan sulit dibandingkan
perkalian yang sudah aku kuasai disekolah. Saat menjawab aku takut bahwa jika
aku memberi tahukan bahwa belakangan ini aku sering beberapa kali dihukum oleh
Ustazda untuk tidak diperbolehkan makan siang karena tak ingin meminta maaf
pada sesame temanku.
“ Nona Afika?
Bapak dokter mau Tanya, Nona Afika sering tidak makan jajanan luar? “ Tanya
dokter dengan rama.
“….. “ Aku
menggelengkan kepalaku.
“ Ohhh, tidak
perna yah?. Kalau begitu Nona Afika sering tidak makannya itu tidak dihabiskan?
“ Lagi dokter tersebut.
“ …. “ Aku
enggan bersuara.
Melihat aku
diam ketakutan, Pamanku berniat untuk menyakankan hal itu lagi padaku, akan
tetapi dengan mengajakku bermain. Dan akhirnya BOOM!! .
“ Kakak?
Kenapa Afika sering dihukum begini dan kita tidak tahu, kalau kakak kasih tahu
dari awal maka saya akan bantu kaka untuk melaporkannya pada kaka saya sendiri,
agar guru itu bisa di proses dengan segera, sekalipun anak itu sangat nakal
namun ia tidak ada hak untuk melarangnya makan walaupun tak ingin meminta maaf
pada tema kelasnya!!! “ Wajah Paman mulai memerah.
“ Kakak juga
ngak tahu, setiap kakak tanyakan kenapa bekalnya tidak di habiskan, ia hanya
akan diam tak menjawab apapun, atau terkadang mengatakan sudah kenyang. “ Jawab
Mama.
“ Sudah-sudah.
Yanggg, mending kamu tanyakan sendiri kenapa teman temannya dan juga dia tidak
bisa akur, dan kenapa juga dia tidak meminta maaf saja jika itu sebuh
kesalahannya dia. “ Usul Tante Lina Pada suaminya dengan nada lembut.
Saat itu aku
di dudukan di kursi pelastik yang tak jauh dari percakapan para orang tua.
Mendengar usulan istrinya Paman akhirnya membujukku untuk menjelaskan semua ini
dengan sangat terperinci. Saat paman menjanjikan akan membawaku pergi bermain
di FunStastion akupun menjawabnya dengan tingkahku layaknya seorang anak
berumur 6 tahun.
“ Waktu itu
Afika mao…. Ehh apa yah?? Afika lupaa.. hihihi “ Jawabku menggaruk kepalaku
yang sebenarnya tidak gatal.
“ Oh,yah!
Waktu ituuu… Afika mao naroh tas Afikaaa.. tapiiii, Teman Afika pada ngedorong
Afika sampe jauhhhhhhh.. jauhhhhhhh sekali. “ Jawabku sambil menggerakkan
tanganku.
“ Terus apa lagi
nak? “ Lagi Pamanku.
“
Tteruuuussss.. Afika di katain gini. “ Aku pun mulai berdiri dengan langkah
yang tak imbang.
“ Eh, plinses
buti. Minggil Sanaa.. nantiii badanku bau tepunggg.. kamu itu anak penjual
kueee. “ Kataku memperagakan cara temanku membuli.
“ Lalu Afika
bilang apa?! “ Tanya Tante Lina yang menyimak.
“ Yah Afika
mallah dong, Afika teriak kayak gini. “ Lagiku memperagakannya sambil memegang
perutku.
“ Emangnya
kenapa kao Mamaku penjual kuee!! “ Seruku yang tak lagi sekencang kebenaran.
“ Kayak gitu
tante tapi suala Afika Lebih gede lagi dali pada itu. Udah yah Pelut Afika
sakit tante.. Afika mao tidur dulu deh. “ Kataku ingin meninggalkan.
“ Afika
sayangggg? Sabar dulu yah nak.. kamu harus cerita seeeeeemuanya, biar Mama tau
nak. Setelah tiu apa yag terjadi mengapa kamu dihukum oleh Ustazda kamu dan
tidak boleh beristirahat sayang? “Kali ini Mama yang bertanya dengan serius
namun tetap dengan nada membujukku.
Jangan lupa untuk like, dan love yah:))
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments