Suara langkah kaki seseorang terdengar di telingaku, aku membuka mataku perlahan dan melihat seorang pria mendekat ke arahku. Wajah pria itu terlihat samar-samar karena mataku yang belum terbuka sempurna.
"Daffin?" gumamku saat wajah pria itu mendekat dan mendaratkan ciumannya di keningku.
Seharusnya aku marah atau mencoba menjauhkan tubuhku darinya, tapi kehangatan yang kurasakan membuat diriku nyaman dan justru kembali terlelap dalam pelukannya.
***
Semburat cahaya mentari terlihat dari celah tirai yang tidak tertutup rapat. Hari ini langit begitu cerah dan mentari bersinar sangat terang, seolah pertanda badai akan segera berlalu.
"Selamat pagi, Nyonya muda," Rania berdiri membungkuk di depanku, tubuhnya menghalangi cahaya mentari yang menimpa wajahku.
"Selamat pagi, Rania," Dengan malas aku beringsut bangun dan menjauhkan selimut yang membungkus tubuhku. 'Tunggu dulu! Selimut?'
Aku bergantian menatap Rania dan juga selimut yang masih tertahan di kakiku. "Rania?"
"Iya, Nyonya muda?"
"Siapa yang memindahkan aku kesini?"
"Maksud anda, Nyonya muda?"
Dahiku berkerut mendengar jawaban Rania. "Aku ingat, semalam aku turun ke bawah. Aku bertemu seorang pelayan dan memintanya menyiapkan makan malam lalu aku tertidur karena terlalu kenyang, tapi kenapa aku sudah ada di kamar? Siapa yang memindahkanku?"
'Mungkinkah yang semalam itu bukan mimpi?' pikirku, mengingat lagi kejadian semalam.
Rania mendengarkanku dengan raut wajah yang tak pasti. Aku yakin dalam hatinya ia merutukiku yang selalu meninggalkannya saat malam hari.
"Kenapa anda tidak membangunkan saya, Nyonya muda?" tanya Rania akhirnya. 'Benar 'kan aku? Dia pasti akan bertanya seperti itu.'
"Maaf, Rania, aku tidak ingin mengganggumu. Aku hanya ingin menunjukkan guci yang ...," Aku baru sadar jika guci yang sudah susah payah aku perbaiki masih tertinggal di lantai bawah.
"Astaga!!! Gucinya, Rania," teriakku yang langsung di pahami Rania.
Rania melesat cepat dari kamarku tanpa menunggu perintah. Terkadang, ada untungnya juga memiliki seseorang yang selalu tahu keinginanku tanpa aku mengutarakannya.
***
Aku baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Rania yang tertunduk sedih ketika pandangan matanya bertemu denganku.
"Ada apa, Rania? Dimana gucinya?" tanyaku ketika tak melihat guci itu dimanapun.
"Maaf, Nyonya muda, saya tidak menemukan guci itu dimanapun. Saya juga sudah bertanya kepada pelayan yang lain, tapi tidak ada yang melihatnya." jelas Rania dengan wajah penuh penyesalan.
'Kalau begini, sia-sia saja aku menyatukan kembali guci itu.' batinku nelangsa.
Kakiku terasa lemas seolah melayang di udara, kepalaku terasa pusing dan tiba-tiba saja aku merasakan seperti ada sesuatu yang mengaduk-aduk perutku. Mual. Aku merasakan mual yang luar biasa.
"Nyonya muda?" panggil Rania yang berlari mengikutiku memasuki kamar mandi. "Anda baik-baik saja?" tanyanya.
Aku mengangguk untuk mengurangi kekhawatiran Rania. Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa aku tiba-tiba mual. Mungkinkah ini morning sickness? Tapi sebelumnya aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya?
***
Langkah kakiku gontai saat menuruni tangga, aku sedang menuju meja makan karena seorang pelayan memanggilku untuk sarapan atas permintaan kak Reena. Ingin sekali aku menolaknya, tapi aku tidak ingin menyakiti hati kak Reena.
Begitu sampai di bawah, aku melihat Daffin dan kak Reena sedang menikmati sarapan mereka dengan bahagia. Aku jadi berpikir, apa gunanya aku disini? Sebagai lalat pengganggu?
"Selamat pagi, Kak Reena. Selamat pagi, Shaka." sapaku ketika sampai di meja makan.
"Pagi, Ayasya, ayo minum susumu dulu kemudian sarapan agar bayimu sehat!" ucap kak Reena penuh perhatian.
Berbeda dengan kak Reena, Daffin menghabiskan sarapannya dengan tenang seolah tidak terusik sedikitpun dengan kehadiranku. Dia bahkan menyuapi kak Reena dan berbincang sedikit dengan Shaka yang berdiri di belakangnya.
'Di pikirnya aku ini angin yang berhembus, terasa tapi tak terlihat. Sepertinya, yang semalam itu benar-benar hanya mimpi.' batinku ketika tak juga di hiraukan Daffin.
"Shaka, bibirmu kenapa?" tanyaku pada Shaka, aku baru menyadarinya saat Shaka membisikkan sesuatu pada Daffin.
"Ini?" Shaka menyentuh bibirnya. "Saya tidak sengaja terjatuh, Nyonya muda," lanjutnya.
"Oh, benarkah? Rania, ambilkan kotak obat!" pintaku pada Rania yang langsung bergerak untuk mengambil kotak obat.
Aku langsung berdiri dan mengambil kotak obat yang di bawa Rania dari dapur. "Sini, biar aku obati lukamu."
Shaka terlihat sangat terkejut dengan ucapanku hingga dia mundur beberapa langkah untuk menjauhiku. Dengan sigap aku menangkap lengan Shaka dan memintanya untuk duduk di kursi yang sebelumnya aku duduki.
Baru saja aku akan menyentuh bibir Shaka menggunakan sebuah kapas yang sudah ku lumuri obat. Daffin langsung berdiri dan meminta Shaka untuk mengikutinya. "Ayo, Shaka!"
"Tidak. Shaka akan disini sampai aku selesai mengobatinya." tukasku, yang membuat Daffin geram.
Daffin menatapku dengan tajam. Aku sudah bersiap untuk melawannya walaupun aku tahu seharusnya aku meminta maaf padanya atas perbuatan yang aku lakukan kemarin, tapi aku berniat meminta maaf dengan menunjukkan guci yang sudah aku lem. Sekarang, guci itu tiba-tiba menghilang dan membuatku jadi tidak tahu harus bagaimana cara meminta maaf tanpa menurunkan harga diriku di hadapan Daffin.
Aku mendengar Daffin mendengus dan meninggalkan ruang makan, tanpa bertengkar denganku seperti hari-hari sebelumnya. Entah apa yang salah dengan diriku, tapi aku merasa ada yang kurang saat Daffin mengacuhkanku. Sepertinya aku mulai tidak waras.
"Aku akan mengantar Daffin ke depan." ucap kak Reena, kemudian berjalan menyusul Daffin yang sudah lebih dulu keluar.
"Nyonya muda, saya baik-baik saja. Ini hanya luka kecil." Shaka mencoba berkelit agar bisa melarikan diri.
Dia pikir aku bodoh, walaupun tubuhku kecil tapi aku memiliki otak yang cukup besar. Apalagi soal bersilat lidah, akulah juaranya. Aku ingat, nenek selalu berkata jika aku akan menjadi mulutnya kak Erlan dan kak Erlan akan menjadi telingaku. Itu semua karena aku pandai berbicara sedangkan kak Erlan sangat suka mendengarkan orang lain berbicara.
"Nyonya muda?" Sentuhan hangat di bahuku, membuatku kembali ke alam nyata. Alam dimana aku sudah tidak bisa bertemu dengan nenek dan kak Erlan lagi.
"Ah, iya, Rania." Aku melihat Rania yang sedang mengambil alih rencanaku untuk mengobati Shaka. "Sudah selesai?" tanyaku kemudian.
"Sedikit lagi, Nyonya muda," jawab Rania, tangannya tampak gemetar saat ia menyentuh bibir Shaka.
Aku menikmati pemandangan yang terjadi di hadapanku dengan hati yang bahagia. 'Apakah Shaka memang sedingin itu? Apa dia tidak tahu jika Rania menyukainya?'
"Tuan sudah menunggu saya, Nyonya muda," sergah Shaka, dia sudah akan berdiri tapi di tahan oleh Rania.
"Sedikit lagi, Tuan," lirih gadis itu, matanya memancarkan harapan dan kebahagiaan yang begitu besar setiap kali dia menatap Shaka.
"Rania benar. Diamlah! Lagi pula untuk apa kau kesana? Hanya menghirup polusi cinta yang di sebarkan oleh Daffin dan juga kak Reena." sungutku. Sebenarnya aku kesal dengan sikap Daffin pagi ini padaku, dia seperti tidak menganggap kehadiranku lagi.
Shaka diam untuk beberapa saat dan kembali bangkit dari kursi untuk menyusul Daffin yang sudah menunggu. "Maaf, Nyonya muda," Shaka membungkuk hormat dan berbalik menuju pintu keluar.
"Jangan sampai terluka lagi, Shaka!" teriakku, tapi ternyata ucapan isengku langsung di tanggapi oleh Shaka.
"Semuanya tergantung sikap anda, Nyonya muda."
Hallo semuanya 🤗
Jangan lupa jempol 👍 dulu terus tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 serta vote sebanyak-banyaknya 👈 sebagai mood booster untuk author yang amburadul ini 😍
I ❤ U readers kesayangan kuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
J Ruby
Bisa jadi Daffin yg bogem Shaka krn Shaka mau gendong Acha ke kamar 😁
2022-03-21
0
ᥫ᭡ིྀℜ𝔦𝔫𝔦 𝔤𝔢𝔪𝔦𝔫𝔦 ིྀও•∘
jangan" yg nyium aca si shaka mkny.kena bogem plankton
2021-07-01
1
ᥫ᭡ིྀℜ𝔦𝔫𝔦 𝔤𝔢𝔪𝔦𝔫𝔦 ིྀও•∘
jangan" yg nyium aca si shaka mkny.kena bogem plankton
2021-07-01
0