Aku masih saja menangis setelah Daffin mengatakan bahwa dia telah membuang mobil kak Erlan. Aku benar-benar merasa bersalah pada kak Erlan, karena aku tidak bisa menjaga barang-barang peninggalannya.
Aku ingat betul, bagaimana sulitnya kak Erlan mendapatkan mobil itu. Dia harus menabung bertahun-tahun dan juga bekerja paruh waktu untuk membeli sebuah mobil agar aku tidak kepanasan dan kehujanan di jalan.
Keluarga kak Erlan memang tidak kekurangan, tapi kak Erlan adalah sosok pria yang mandiri dan dia juga cukup tahu diri untuk tidak merepotkan nenek dan juga tantenya.
Setiap hal yang kak Erlan pilih dan lakukan, semua itu pasti di pertimbangkan di atas kepentingan dan kebahagiaanku. Maka setiap hal yang kak Erlan miliki akan selalu menjadi milikku, tapi kini satu-persatu barang itu lepas dari tanganku tanpa bisa aku menahannya.
"Plankton sialan!!! Daffin sialan!!! Pergi saja kau ke kutub dan semoga kau di injak oleh bigfoot!!!" kutukku, tanganku dengan geram memukul-mukul bantal yang berada di pangkuanku.
Rasa lelah mulai menghinggapiku karena terus saja menangis dan meracau. Hingga tanpa aku sadari mataku mulai terpejam dan memasuki alam mimpi yang sedikit menenangkanku.
***
"Nyonya muda? Nyonya muda?" Suara Rania terdengar dari kejauhan.
Aku membuka mataku dan melihat Rania yang baru saja meletakkan nampan berisi makanan di atas meja. "Makan malam anda, Nyonya muda."
Makanan itu terlihat sangat lezat, tapi aku tidak akan menyentuhnya. Tekadku sudah bulat, aku akan mogok makan hingga Daffin mengembalikan sepatu dan juga mobilku beserta dengan isinya.
Aku memalingkan wajahku, menghindari godaan dari aroma daging asap yang menggugah selera. 'Bertahanlah, Aca! Jangan tergoda!'
Air liurku sudah menetes bila tidak ingat bagaimana perlakuan Daffin padaku. Dia harus tahu bahwa aku ini sangat kuat dan tidak mudah di hancurkan. Aku akan mengganti namaku bila dia bisa mengalahkan egoku yang tak terkalahkan ini.
'Hahahaha' Seringai jahat muncul di sudut di bibirku, membayangkan aku akan mengalahkan si Plankton menyebalkan itu.
"Aku tidak ingin makan, Rania." ucapku pada Rania yang berdiri mematung di samping tempat tidurku.
"Tapi, Nyonya muda ...," Rania menatapku dengan sedih, seolah dia merasakan kesedihan dan keterpurukanku.
"Aku baik-baik saja. Aku tidak lapar." sanggahku. 'Cepat bawa pergi! Atau aku tidak bisa menahannya lagi.' batinku berkecamuk.
"Baiklah, Nyonya muda." Rania mengangkat kembali nampan yang dia letakkan di atas meja kemudian keluar dari kamarku.
"Sabar 'ya, Baby! Kita harus berjuang, Mommy tidak akan membiarkan Plankton itu menjajah kita." ucapku sembari mengelus-elus perutku.
***
Krookkk...
Tengah malam, perutku terus saja berdendang. Membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sejak aku hamil, aku selalu merasakan lapar pada jam-jam tengah malam seperti ini. Di tambah lagi aku tidak makan malam, yang mana semakin meningkatkan volume nyanyian di perutku.
Aku melirik Rania yang sudah terlelap di sofa. Gadis itu sudah terlihat seperti pengasuhku, karena pekerjaannya sepanjang hari hanya menjaga dan menemaniku kemana pun aku melangkah.
Setelah beberapa saat mengamati Rania dan yakin jika dia tidak akan tiba-tiba terbangun seperti malam kemarin, aku pun melangkah keluar dari kamar dengan hati-hati.
Seperti malam sebelumnya, rumah ini tampak sepi dan gelap. Hanya ada beberapa lampu yang di biarkan menyala sebagai penerangan. Aku berjalan dengan santai sambil sesekali melihat ke kiri dan ke kanan untuk mengawasi keadaan.
Kakiku mulai melangkah menuruni tangga satu persatu, tapi saat hanya tersisa beberapa anak tangga lagi. Aku melihat sosok Daffin yang sedang berbaring di sofa dengan sebelah tangan yang menimpa dahinya.
'Sedang apa Daffin di sana?'
Apa yang harus ku lakukan? Haruskah aku menghampirinya? Tidak. Dia akan semakin menindasku, lagi pula itu juga akan merusak rencanaku untuk mogok makan jika dia sampai tahu aku turun untuk mencari makanan.
Aku memutar tubuhku perlahan dan kembali menaiki anak tangga. Lagi-lagi aku harus menahan lapar karena keberadaan Daffin yang membuatku kehilangan nafsu makan.
***
Aku benar-benar melancarkan aksi mogok makanku esok harinya, aku memutuskan tidak turun untuk sarapan. Beberapa kali Rania memaksaku untuk turun, tapi aku menolaknya dengan alasan aku sedang tidak ingin makan. Padahal sesungguhnya, aku tidak bisa tidur semalaman karena rasa lapar yang mendera sepanjang malam.
"Keluarlah, Rania! Aku ingin sendirian. Jangan ganggu aku!" Aku mendorong tubuh Rania menuju pintu agar dia keluar dari kamarku.
"Tapi, Nyonya muda, anda belum makan apapun sejak semalam." ucap Rania, terdengar jelas bahwa dia sangat mengkhawatirkan keadaanku.
Terkadang aku berpikir, apakah gadis ini benar-benar bersimpati padaku? Apakah dia bisa di percaya? Aku masih harus mempertimbangkannya lagi, sebelum aku mencari sekutu untuk melawan Daffin.
"Biarkan. Aku lebih baik mati dari pada harus -" ucapanku menggantung saat melihat sosok tinggi menjulang memenuhi ambang pintu.
"Kau ingin mati? Baiklah, ayo! Aku akan membantumu." sinis Daffin, tangannya langsung meraih tanganku dan dengan kasarnya ia menarik tanganku sehingga aku terpaksa mengikuti langkahnya. Lebih sederhananya, dia menyeretku.
Astaga, Tuhan! Baru dua hari dan dia sudah menyeretku seperti ini. Ambil nyawaku, Tuhan! Ambil saja. Dari pada aku harus menghadapi pria tiran sepertinya.
Beberapa pelayan yang sedang sibuk melakukan pekerjaan mereka sempat memperhatikan kami, tapi hanya beberapa detik karena Daffin langsung melemparkan tatapan membunuh pada mereka.
Aku tidak bisa mengatakan apapun. Bibirku terasa keluh. Mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Pada akhirnya, Daffin benar-benar akan menunjukkan sifat aslinya yang kejam.
Kami memasuki sebuah ruangan yang cukup luas, disana terdapat banyak buku yang terjajar rapih di rak yang memenuhi ruangan itu. Pandanganku terhenti pada pigura besar yang terpasang di tengah-tengah ruangan, foto pernikahan Daffin dan kak Reena yang terlihat sangat sempurna.
Miris sekali, jangankan foto pernikahan. Aku bahkan tidak punya hak atas hidupku sendiri saat ini. Semua sudah sangat jelas, Daffin tidak pernah menginginkan diriku.
Daffin melepaskan tanganku dan berjalan mendekati tirai besar yang berada di seberang pintu. Dengan kasar Daffin menarik tirai tersebut yang ternyata menyembunyikan pemandangan yang sangat ingin aku lihat. Rumah indahku bersama kak Erlan.
"Ratakan semuanya dengan tanah!" ucap Daffin dengan dinginnya tanpa memperdulikan perasaanku.
"Baik, Tuan," jawab seseorang yang berada di belakangku.
Aku langsung menoleh dan melihat Shaka yang baru saja membungkuk hormat pada Daffin. Pria itu sama dinginnya dengan Daffin, bedanya dia tidak pernah bersikap kasar padaku.
Hallo semuanya 🤗
Jangan lupa jempol 👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan juga tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 sebagai mood booster untuk author amburadul kesayangan kalian 😘 di tambah vote juga boleh 😍
I ❤ U readers kesayangan kuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Maria Biamnasi
manusia apa monster???? 🤦🤦🤦
2021-06-03
1
Mariati Mariati
aneh kok mau2nya dinikahin paksa daffin kalau demi mempertahankan rmh erlan
2021-06-01
0
Rhee Ea Arifthyanie
kutunggu kebucinanmu tuan daffin
2021-05-27
0