Malam ini adalah malam pertama pernikahanku dengan Daffin. Sumpah demi apapun, aku tidak membayangkan malam pertama yang penuh gairah seperti malam pertama pada umumnya.
Aku hanya menyayangkan sikap Daffin yang justru menempatkan aku di sudut rumahnya seperti sebuah pajangan. Jika memang dia tidak menginginkan aku, lalu kenapa dia memaksa untuk menikahiku? Membuatku seolah menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya dengan kak Reena.
Memikirkan semua itu membuatku lapar. Sepanjang hari aku terus mencari kemungkinan paling masuk akal apa yang bisa mendorong seorang Daffin Stevano menjadikan aku sebagai istri keduanya. Sedangkan, hubungannya dengan kak Reena terlihat baik-baik saja bahkan sangat harmonis.
Sudahlah, lambat laun semuanya pasti akan jelas. Saat ini lebih baik aku makan dan mengumpulkan energi sebanyak mungkin untuk menghadapi hari esok.
Aku menurunkan kakiku dari tempat tidur dan melihat Rania yang sedang tertidur di sofa yang berada di samping tempat tidurku.
Tebakanku benar. Rania bukan pelayan, tapi mata-mata. Dia terus saja mengawasiku sepanjang hari, bahkan dia sampai tidur di kamarku.
'Gadis malang! Pekerjaan yang kau lakukan sungguh berat.' Aku menatap Rania yang terlihat kelelahan.
Dengan hati-hati aku melangkahkan kaki agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Rania. Aku sampai merasa seperti seorang pencuri.
Aku menggapai pegangan pintu dan menurunkannya perlahan. Dengan alasan yang sama, yaitu aku tidak ingin mengganggu waktu istirahat Rania.
Setelah berhasil keluar dari kamar, aku baru bisa bernafas dengan lega dan mulai berjalan seperti biasa. "Sepertinya semua orang sudah tidur." bisikku pada diri sendiri, ketika melihat semua ruangan yang tampak gelap.
Begitu akan menuruni tangga, aku mendengar suara seseorang yang berasal dari lantai bawah.
"Reena sudah pulang?" tanya Daffin pada seorang pelayan.
"Belum, Tuan," jawab pelayan yang sudah terlihat berumur.
"Baiklah, kamu istirahat saja. Aku akan menunggunya pulang." titah Daffin pada pelayan itu. "Kamu juga pulanglah!" sambung Daffin, pada Shaka yang berdiri di belakangnya.
Rupanya dia baru saja kembali. Aku bahkan tidak tahu kalau dia pergi. Ah, hubungan seperti apa yang sedang kami jalani ini.
Sesuai perintah Daffin, Shaka dan pelayan itu pun pergi meninggalkan Daffin seorang diri di sana. Dan aku? Apa yang sedang ku lakukan disini? Rasa laparku hilang dan berganti menjadi rasa penasaran ketika melihat Daffin yang mulai gelisah menunggu kak Reena pulang. Itulah sebabnya aku masih berdiri disini untuk mengamatinya.
"Nyonya muda?" Sebuah tepukan lembut mendarat di bahu kiriku.
Karena terkejut aku langsung menoleh dan melihat Rania yang sudah berdiri di sampingku. Sepertinya dia langsung mencariku begitu menyadari aku tidak berada di dalam kamar.
"Apa yang sedang anda lakukan, Nyonya muda?" tanya Rania dengan wajah yang masih mengantuk.
"Ah, aku... aku lapar tadi." jawabku beralasan.
"Kenapa anda tidak membangunkan saya?" Wajah bantal Rania segera berganti menjadi raut wajah penuh penyesalan.
"Aku tidak ingin mengganggu tidurmu. Jadi, aku pikir aku akan mengambil sendiri makananku." Aku mencoba menghilangkan perasaan bersalah Rania.
"Maaf, Nyonya muda, tidurku terlalu lelap hingga tidak menyadari -"
Aku segera menyela ucapan Rania. "Sudahlah, lagipula aku sudah kenyang sekarang. Ayo, kita kembali ke kamar!"
Sebelum berjalan kembali ke kamar, aku sempat melirik ke bawah dan melihat Daffin yang menyandarkan tubuhnya di sofa sembari terus memandang ke arah pintu.
'Sayang sekali, aku tidak akan bisa mengetahui akhir dari penantiannya.'
***
"Nyonya muda?" Suara Rania dan cahaya yang masuk melalui jendela membuatku terjaga di pagi hari pertamaku di rumah Stevano.
"Selamat pagi, Rania!" Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran tempat tidur.
"Tidur anda nyenyak, Nyonya muda?" tanya Rania, tangannya masih sibuk membuka satu persatu tirai yang menghalangi cahaya mentari.
"Cukup untuk membuatku melupakan kegetiran hari kemarin." Sarkasme sekali jawabanku. Tentu saja hal itu langsung membuat Rania mengalihkan perhatiannya padaku.
"Nyonya muda?" lirih terdengar suara Rania saat tatapannya tertuju padaku.
Sebenarnya aku ingin sekali berbagi cerita pada Rania, tapi aku masih ragu padanya. Aku tidak tahu apakah dia bisa di percaya atau tidak.
"Aku baik-baik saja, Rania." jawabku singkat, berharap Rania akan melupakan kata-kataku sebelumnya.
"Baiklah, Nyonya muda, anda ingin sarapan disini atau di meja makan?"
"Aku akan membersihkan diriku dan turun ke bawah. Kau duluan saja."
***
Setelah selesai dengan ritual pagiku, aku pun langsung turun untuk sarapan pagi. Begitu sampai di meja makan, aku melihat Daffin sudah duduk di sana sambil mendengarkan laporan dari Shaka.
"Selamat pagi, Shaka," sapaku saat melewati Shaka yang berdiri di samping Daffin.
"Selamat pagi, Nyonya muda," jawab Shaka sedikit gugup. Mungkin karena aku hanya menyapanya tanpa menyapa Daffin.
Aku langsung duduk di barisan kursi yang berada di samping kiri Daffin. Namun, aku mengosongkan satu kursi yang bersebelahan langsung dengannya.
Perhatian Daffin sempat tertuju padaku sesaat, tapi dengan cepat dia langsung mengacuhkanku lagi. Siapa yang peduli padanya? Aku hanya perlu bertahan hingga aku menemukan cara untuk melawannya.
"Tidak perlu, Rania!" sergahku pada Rania yang akan mengambilkan sepotong roti isi untukku. "Aku punya tangan dan aku bisa melakukannya sendiri." Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan Rania.
"Ehemm ...." Tiba-tiba Daffin berdeham, menarik perhatianku padanya. Sepertinya dia tersindir dengan ucapanku karena seorang pelayan baru saja mengisi piringnya dengan roti isi.
"Ada apa? Daf... Fin?" tanyaku dengan nada yang di buat-buat. "Apakah kerongkonganmu tersedak tulang roti?" sambungku, dengan bibir bergetar menahan tawa.
"Apa maksudmu? Kau pikir -" Daffin tidak menyelesaikan ucapannya karena kak Reena tiba-tiba datang dan bergabung bersama kami.
"Morning, Daff!" Ciuman pagi hari di lakukan kak Reena di hadapanku dan semua pelayan yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.
Apa mereka pikir kami ini patung? Seenaknya saja menampilkan pertunjukkan kemesraan seperti itu di hadapan kami semua. Aku jadi semakin yakin, jika Daffin menikahiku hanya karena dia ingin menambah jumlah penonton aksinya di rumah ini.
'Norak!!!'
Aku memilih untuk tidak memperdulikan apapun yang mereka lakukan. Dengan santai aku menghabiskan sarapanku tanpa suara.
"Apakah anda ingin sarapan di kamar saja, Nyonya muda?" bisik Rania, ketika Daffin mulai menyuapi kak Reena dengan potongan roti yang sama dengannya.
'Hahahaha ... kau pasti berpikir aku cemburu pada mereka, kan?' batinku. "Tidak, Rania. Aku akan menyelesaikan ini sampai akhir." jawabku.
Kak Reena langsung beralih menatapku. "Maaf, Ayasya, aku melupakan dirimu. Bagaimana kondisi kandunganmu?"
'Kandungan? Dia juga tahu aku sedang mengandung?'
"Baik, Kak Reena." jawabku sembari melirik ke arah Daffin yang menganggapku seolah tak ada.
"Baguslah. Jaga kandunganmu dengan baik dan katakanlah jika kau membutuhkan apapun!" tutur kak Reena, nampak ketulusan dari sorot matanya.
"Terima kasih, Kak Reena." jawabku, kemudian menghabiskan suapan terakhir roti di tanganku. "Aku sudah selesai." sambungku.
Tanpa menunggu perintah dari siapapun, aku langsung berdiri dan berniat untuk keluar mencari angin. Atau jika bisa, aku ingin pulang ke rumahku sendiri.
"Mau kemana kamu?" Suara berat Daffin menghentikan langkahku. Aku menoleh dan melihatnya menatapku dengan tajam.
"Apakah aku seorang tahanan? Tidak bolehkah aku menghirup udara bebas?"
Hallo semuanya 🤗
Jangan lupa jempol 👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan juga tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 agar author menyadari kehadiran kalian 😘
Share ceritanya Ayasya ini ke teman-teman atau kenalan kalian agar makin banyak yang kenal dengan Ayasya 🥰
Kalau ada yang mau vote author boollleehh bangett 😍
I ❤ U readers kesayangan kuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Evi
heeee👍👍👍👍
2021-06-06
1
Andhina
lanjut
2021-04-20
3
Ummi Raihan Yazid
jagan jdi lmah ya
2021-04-18
2