Aku benar-benar di buat kesal oleh tingkah laku pria menyebalkan itu. Dia hanya memberiku waktu selama sepuluh menit untuk bersiap-siap sebelum asistennya datang.
"Cepat sedikit! Kamu membuat pria hebat sepertiku harus menunggumu." ketusnya, sembari terus melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Hei, Plankton! Aku ini sedang sakit dan aku baru saja tersadar setelah dua hari tertidur. Buat dirimu berguna dengan membantuku!"
Aku sedikit kesulitan saat memakai sepatuku, karena aku masih merasakan nyeri di punggung tanganku yang terlihat membengkak.
Walaupun dengan wajah penuh emosi, dia akhirnya menghampiriku. Awalnya aku pikir dia akan berlutut dan memakaikan sepatu untukku, tapi ternyata khayalanku terlalu tinggi terhadapnya.
Pria menyebalkan itu merebut sepatu yang berada di tanganku, kemudian melemparkannya ke dalam tempat sampah. "Jangan memakai barang murahan seperti itu lagi mulai sekarang!"
'Sepatuku ... itu pemberian kak Erlan saat aku memenangkan lomba lari di sekolah.'
Aku langsung berdiri dan menyusulnya. "Hei, Udang rebus! Siapa yang memberimu hak untuk membuangnya?" teriakku.
Tanpa ragu, aku merogoh tempat sampah dan mengambil kembali sepatu yang dia lemparkan sebelumnya.
"Buang itu!" bentaknya, dengan kasar dia kembali merebut sepatuku dan membuangnya. "Aku bisa membelikanmu seratus pasang sepatu yang lebih mahal dan lebih bagus dari sepatu itu." tambahnya.
Rasanya, ingin sekali aku menelannya hidup-hidup. "Aku tidak butuh seratus pasang sepatu! Aku hanya butuh sepasang sepatu karena aku hanya punya sepasang kaki bukan seratus pasang kaki."
Mataku terasa panas, mulai merindukan kesejukan air mata rupanya. Aku tak ingin menahannya dan aku pun langsung menangis sejadi-jadinya di hadapan pria menyebalkan itu.
Dan pria yang tak punya hati itu, bukannya membujukku dia justru keluar dari ruangan perawatanku tanpa menoleh sedikit pun.
Bagaikan kuda dengan kerbau, kak Erlan akan selalu membujukku dan menemaniku dengan sabar setiap kali aku menangis. Meskipun aku tahu hal itu cukup menjengkelkan baginya.
'Suami? Suami apa yang membuat istrinya menangis lalu mengacuhkannya?'
Sepertinya, tangisku tidak ada gunanya di hadapan seorang pria seperti tuan Stevano. Menyadari hal itu aku pun berhenti menangis dan mengelap pipiku yang terasa basah karena air mata.
Tepat saat aku akan membuka pintu, seseorang membuka pintu itu lebih dulu. Aku menarik kembali tanganku dan memundurkan tubuhku beberapa langkah ke belakang.
"Selamat siang, Nyonya muda," Seorang pria muda membungkukkan tubuhnya di hadapanku. "Perkenalkan, saya Shaka. Asisten sekaligus sekretaris pribadi tuan Daffin." jelasnya, kembali menegakkan tubuhnya.
Jangan tanya bagaimana wajahnya? Dia sangat tampan. Jujur aku langsung terpesona melihat wajahnya, tapi tentu saja tidak setampan kak Erlan.
"Nyonya muda?" tegurnya, saat aku masih tidak melepaskan pandanganku darinya.
"Ah, iya, selamat siang. Hallo, Shaka, senang bertemu denganmu. Panggil saja aku Ayasya!" ucapku ramah dengan tangan terulur sebagai tanda perkenalan.
"Maaf, Nyonya muda, apakah anda sudah siap? Tuan Daffin sudah menunggu anda di mobil." ucapnya, mengacuhkan tanganku yang masih menggantung di udara.
'Huh, kanebo!'
***
Koridor rumah sakit nampak lengang, tanpa seorang pun yang berlalu lalang disini. Menggelitik rasa penasaranku. "Shaka, kenapa disini sepi sekali?" tanyaku pada Shaka yang berjalan di belakangku.
"Ini lantai VVIP, Nyonya muda, hanya di peruntukkan bagi keluarga Stevano." jelas Shaka, aku hanya manggut-manggut paham.
"Nyonya muda?"
"Iya?" Aku menghentikan langkahku dan menoleh pada Shaka yang kini menatapku.
"Kenapa anda tidak memakai sepatu?" Pandangan Shaka tertuju pada kakiku yang bertelanjang tanpa sepatu.
"Ah, ini, aku suka dinginnya lantai rumah sakit." elakku, kemudian menaik turunkan kakiku seolah sedang berjalan di tempat.
'Gara-gara ulah si Plankton, aku harus bertingkah konyol seperti ini.'
***
"Kenapa kalian lambat sekali?" Hal pertama yang di ucapkan pria menyebalkan itu saat kami berada di mobil.
"Maaf, Tuan," Hanya itu yang di katakan Shaka, tanpa pembelaan sedikit pun.
"Kami berjalan, bukan terbang. Tentu saja membutuhkan waktu." jawabku santai, tak memperdulikan tatapan terkejut Shaka dan juga pak supir yang terdiam sejak tadi.
"Apa? Apa ada yang salah dengan ucapanku?" sergahku, saat tatapan tajam itu tertuju padaku.
Aku mendengarnya mendengus kesal kemudian memalingkan wajahnya, tak ingin berdebat sepertinya.
Tercipta keheningan yang cukup panjang selama perjalanan hingga aku tidak tahan saat mobil mewah yang ku tumpangi melewati rumahku dan akan berputar balik menuju rumah mewah Stevano.
"Berhenti, Pak supir!" teriakku sembari memukul-mukul bagian belakang bangku pengemudi.
"Apa yang kau lakukan!!!" bentak pria menyebalkan itu, di barengi dengan tatapan seolah akan langsung menerkamku.
"Aku... aku ...," Sial. Kerongkonganku tercekat di saat yang tidak tepat. "Aku ingin pulang ke rumahku!!!" teriakku, tak pelak membuat ketiga pria itu terkejut.
Mereka bertiga menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan, kemudian terdengar decakan dari mulut pria menyebalkan yang mengakui dirinya sebagai suamiku. "Urus dia!" ucapnya seraya memalingkan wajah dan menyilangkan kakinya.
"Nyonya muda, mulai hari ini anda akan tinggal bersama dengan Tuan Daffin dan Nyonya Reena." jelas Shaka, seolah mengerti maksud dari bos angkuhnya.
"Aku tidak mau! Aku tidak mau tinggal serumah dengan Plankton menyebalkan seperti dirinya."
"Apa katamu? Aku? Plankton? Tidakkah kau menyadari bahwa dirimulah yang lebih cocok untuk menjadi Plankton!" Tatapan menghina darinya mendarat dari ujung rambut hingga ujung kakiku.
"Aku -"
"Panggil aku Daffin! Bukan yang lain." selanya, mengakhiri pemberontakanku.
***
Mobil mewah Daffin memasuki basement rumah besarnya, dengan cepat Shaka membukakan pintu untukku dan pak supir membukakan pintu untuk Daffin.
Astaga, aku harus mulai terbiasa dengan namanya. Sebenarnya lidahku lebih lentur saat memanggilnya Plankton, tapi untuk saat ini aku akan menurutinya sampai aku bisa menemukan cara untuk melawannya.
Daffin berjalan lebih dulu dan membiarkan aku berjalan di belakangnya di temani oleh Shaka.
"Tidak bisakah kau berjalan lebih cepat?"
"Tidak bisakah kau melihat kakiku yang tidak sepanjang kakimu?"
Daffin melemparkan tatapan membunuhnya padaku dan langsung terfokus pada kaki telanjangku. "Kenapa kau tidak memakai sepatu?"
Aku memutar bola mataku dengan malas. "Aku meninggalkan sepatuku di rumah sakit, karena seseorang mengatakan akan membelikan aku seratus pasang sepatu!"
Sepertinya Daffin bukan tipe pria yang suka berdebat, terlihat dari sikapnya yang langsung mengacuhkanku dan kembali berjalan tanpa menungguku.
"Dasar, Udang rebus!" gerutuku.
"Anda mengatakan sesuatu, Nyonya muda?" tanya Shaka, aku melupakan dirinya yang masih berdiri di sampingku.
"Tidak. Mungkin kau baru saja di bisikkan sesuatu oleh lalat yang lewat." sanggahku.
Hallo semuanya 🤗
Jangan lupa tap jempolnya 👍 sebelum atau sesudah membaca dan juga jangan lupa tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 agar author menyadari kehadiran kalian.
Share ceritanya Ayasya ke teman-teman kalian agar makin banyak yang kenal dengan Ayasya ya 😘
Yang sayang author amburadul ini, tolong votenya dong😍
I❤U readers kesayangan kuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
tini karim
masa masih hamil lagi pingsan kok bisa nikah ..n entah walinya siapa .. meski cuman novel tp ya ga gitu juga cr nikahnya
2024-08-04
0
Surti
aku suka dgn sikap ayasya yg keras dan tidak takut👍👍👍👍
2023-02-10
0
Salmawati
wkwkwk seru nih kyanya...lnjut thoorr
2021-06-06
1