Pagi itu, aku dan kak Erlan sedang berjalan santai di tepi danau seperti yang biasa kami lakukan setiap pagi.
Tanpa sengaja tubuh kak Erlan bertabrakan dengan seorang pria.
"Maaf... maaf ...." ucap kak Erlan.
Pria itu mengusap bahunya, yang aku pikir mungkin dia merasa tubuh kak Erlan yang suci sudah mengotori bajunya.
"Kenapa Kakak minta maaf? Dia yang salah!" sungutku, aku tak terima kak Erlan harus meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dia lakukan.
"Tapi aku 'kan memang salah, Ca, karena terlalu terpesona dengan kecantikan kamu jadi tidak melihat kalau ada orang di depanku." jelas kak Erlan.
Aku yakin, kak Erlan hanya mencoba menjinakkanku. Kak Erlan tahu betul bagaimana kelakuanku saat sedang marah.
"No problem, aku juga salah -" jawab pria itu, tapi aku langsung menyelanya.
"Benar. Kamu memang salah. Jadi, jangan coba-coba menyalahkan kak Erlan!"
Pria itu memalingkan wajahnya, tapi aku sempat melihatnya tersenyum sinis. Walau aku tak yakin, tapi aku memang memperhatikan dirinya secara mendetail sejak tadi.
"Maaf, Tuan, saya akan mengganti rugi -"
'Apa? Ganti rugi apa?' Batinku. "Kakak! Ganti rugi apa? Kakak tidak salah. Lagi pula tidak ada yang rusak, jadi tidak ada yang perlu di perbaiki!" Aku menatap sinis pria itu dari ujung rambutnya hingga ke ujung sepatunya.
"Kamu pikir aku barang yang bisa rusak!" bentak pria itu, mengejutkan aku yang sedang mengamatinya.
Aku menangis seketika, tapi sungguh bukan karena aku takut padanya. Hanya saja, aku tidak pernah di bentak oleh siapapun selain oleh guru ketika aku tidak mengerjakan tugas sekolah.
"Sudah... sudah... jangan menangis!" Lengan kekar kak Erlan melingkari tubuhku.
"Apakah adikmu selalu seperti itu?" tanya pria itu, terdengar nada bersalah dari suaranya.
Aku merasakan tangannya menyentuh bahuku. "Maafkan aku, Adik kecil!" ucapnya padaku.
Aku mendengar kak Erlan terkekeh, bisa kutebak mungkin karena pria itu menyebutku adik kecil.
Tentu aku tidak terima di panggil seperti itu olehnya. Aku pun segera berbalik dan memelototi pria itu.
"Dengar, Tuan jangkung! Aku bukan Adik kecil!" tegasku menantang. "Dan aku bukan adiknya, Kak Erlan." sambungku.
Pria itu mengernyit mendengar ucapanku, terlihat jelas di matanya bahwa dia sangat tidak suka dengan sikapku.
"Maaf, Tuan, gadis kecil yang cantik ini adalah istriku." ungkap kak Erlan, yang membuat manik pria itu langsung menatap tajam kepada kak Erlan.
"Apakah kau seorang pedofilia?"
***
Aku benar-benar kesal pada pria bule tadi, selain karena dia mengira aku seorang anak kecil. Dia juga sudah menuduh kak Erlan tersayangku sebagai seorang pedofilia.
"Kenapa wajahmu masih cemberut seperti itu?" tanya kak Erlan, yang duduk di sebelahku masih dengan senyuman secerah mentari.
"Aku masih kesal. Harusnya tadi Kakak membiarkan aku -" ucapanku menggantung karena kak Erlan menempelkan jarinya di bibirku.
Kebiasaan yang selalu di lakukan kak Erlan saat dia sedang tidak ingin mendengar ocehanku. Dan jujur saja, itu sangat ampuh. Aku pun langsung terdiam layaknya kecoa yang tersemprot cairan pembunuh serangga.
"Aku tahu kamu sangat menyayangiku, tapi kamu juga tahu 'kan aku sangat menyayangimu. Jadi, jangan pernah membuat dirimu berada dalam masalah apalagi hanya karena masalah sepele." tutur kak Erlan menasihatiku.
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Di dunia ini, hanya kak Erlan yang menyayangiku setelah nenek. Mereka berdua adalah alasan hadirnya seorang Ayasya.
Aku memeluk kak Erlan dengan sangat erat, seolah takut seseorang merebutnya dariku.
"Hei, kamu tidak malu di lihat oleh bapak penjual bubur?" tanya kak Erlan, walaupun sebenarnya aku tahu dia juga suka jika aku memeluknya.
"Biarkan saja! Anggap saja bapak sedang menonton cerita cinta anak muda." gurauku pada bapak penjual bubur yang hanya senyam-senyum melihat tingkahku.
Setelah berdebat dengan pria tadi, aku merasa sangat lapar dan kak Erlan mengajakku untuk sarapan bubur ayam seperti biasanya.
Saat sedang menunggu bubur ayam pesanan kami, tiba-tiba saja pria menyebalkan itu datang lagi.
"Aku ingin dua porsi dan tolong di bungkus!" pintanya pada bapak penjual bubur ayam.
Merasa ada yang memotong antrian, tentu saja aku tidak terima. "Aku rasa kau bukan temannya bebek, Tuan,"
Pria itu menoleh dan menatapku dengan heran. "Iya?"
"Kau tuli?"
"Tidak. Tapi kurasa kau mungkin salah satu kerabat bebek," lontar pria itu. "Karena sejak tadi kau selalu menyosor ucapanku." ejeknya kemudian.
Aku berpikir untuk memperingatkannya, bahwa bebek saja tahu etika untuk mengantri. Namun, yang terjadi sebaliknya. Dia justru menemukan alasan untuk mengejekku.
***
Kak Erlan benar-benar pria yang baik dan sangat pengertian. Dia membiarkan pria itu mendapatkan buburnya lebih dulu.
"Terima kasih," ucap pria itu. Aku melihatnya memberikan uang yang lebih banyak dari harga dua porsi bubur ayam.
"Kembaliannya, Tuan," ucap penjual bubur.
"Tidak perlu. Itu untuk membayar bubur Tuan dan Nyonya kecilnya ini." jawab pria itu datar, kemudian menatap sekilas pada kak Erlan yang sedang tersenyum dan menganggukan kepalanya sopan.
'Itulah suamiku. Dia tahu sopan santun, tidak sepertimu!'
Aku melihat kak Erlan dan pria itu secara bergantian selama beberapa detik, sungguh menyebalkan! Gigi kak Erlan sampai mengering karena tersenyum, tapi pria itu tetap memasang wajah kaku dan dinginnya.
Ingin rasanya aku memaki pria itu, kalau saja kak Erlan tidak memperingatkanku sebelumnya.
Aku melihat punggung pria itu yang semakin menjauh dari tempatku berada. 'Pergilah lalat pengganggu!'
"Kak, dia itu siapa? Sombong betul!" ketusku.
"Dia itu tuan Daffin Stevano. Suaminya nyonya Reena." jelas penjual bubur.
"Daffin siapa? Reena siapa?" tanyaku bingung, karena tak pernah mendengar kedua nama itu sebelumnya.
"Itu loh, yang rumahnya paling besar. Tidak jauh dari sini. Itu, atapnya terlihat dari sini." tunjuk penjual bubur itu pada sebuah rumah yang memang paling besar di lingkungan tempat tinggal kami.
"Itu 'kan rumah yang berada di depan rumah kita, Kak. Aku benar, kan?" tanyaku memastikan.
"Iya, Ca, tapi aku juga baru tahu kalau pemiliknya tuan itu." ucap kak Erlan dengan bahu terangkat.
"Masa tetangga sendiri tidak kenal, Tuan," goda penjual bubur, di barengi dengan mendaratnya dua mangkuk bubur ayam di hadapan kami.
"Terima kasih, Pak, kami baru di sini dan tidak pernah bertemu dengan tuan Stevano sebelumnya." ungkap kak Erlan, membuat bapak penjual bubur manggut-manggut paham.
Aku menatap dua mangkuk bubur di hadapanku dan teringat bahwa pria itu yang membayarnya tadi.
"Nanti dulu, Kak!" Aku menahan tangan kak Erlan yang akan menarik mangkuk tersebut.
"Kenapa?" tanya kak Erlan bingung.
Aku tidak menjawab, mataku nyalang menatap sekeliling. Hingga tatapanku berhenti pada dua orang anak kecil yang sedang memunguti sampah.
"Hei, kalian! Kemarilah!" panggilku pada kedua anak itu dengan melambaikan tangan.
Kedua anak itu menoleh dan langsung menghampiriku. " Iya, Nyonya, kami tidak mengambil apapun. Kami hanya memungut sampah." lirih salah satu anak yang terlihat lebih besar.
Aku tersenyum miris mendengar ucapan anak itu, dia mengira aku akan memarahinya. "Tidak, bukan itu. Kalian sudah makan?" tanyaku.
Kedua anak itu saling bertatapan. "Belum, Nyonya,"
Aku menoleh dan menatap kak Erlan. Seolah paham dengan pemikiranku, kak Erlan pun mengangguk seraya memejamkan matanya sesaat sebagai tanda persetujuannya.
"Kalau begitu, duduklah dan makan ini!" Aku mendorong kedua mangkuk yang ada di hadapanku.
Kedua anak itu tetap tak bergeming. Kentara betul mereka segan terhadapku dan juga kak Erlan.
"Tenang saja! Seseorang baru saja mengeluarkan sedekahnya."
Hallo semuanya 🤗
Sejauh ini gimana? Tolong komentarnya dong biar author bisa tambahin bumbu kalau kurang sedap 🤭
Jangan lupa jempol👍 dulu sebelum atau setelah membaca dan jangan lupa tinggalkan jejak 👣 kalian di kolom komentar 👇 sebagai tanda support kalian terhadap author 😘
I ❤ U readers kesayangan kuuuhhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Asmidar Jasman II
lanjutttt juttt juttt😉😉😉😉
2022-01-16
1
Maria Biamnasi
lanjut
2021-06-02
0
Ayat Moenty
lama gak pernah baca lagi..moga novel yg ku pilih ini tdak mengecewakan 🙏🙏
2021-05-22
0