PRANKKK...
Aku kembali memecahkan satu guci yang berada di dekatku. Dengan tatapan yang menantang, aku berbalik dan melangkah mendekati Daffin dan kak Reena yang masih berdiri mematung melihat atraksiku.
"Hitunglah! Aku memecahkan satu guci lagi dan menambah panjang daftar hutangku padamu." sinisku sambil terus melangkah.
Setiap satu langkah, aku mengambil satu guci dan melemparkannya ke lantai. Keributan yang aku buat memancing para pelayan untuk berkumpul. Namun, dengan cepat pula mereka membubarkan diri saat Daffin memberikan peringatan kepada mereka dengan mata jahatnya itu.
Barisan guci yang berada di dekatku menjadi sasaran amarahku saat ini. Salah sendiri, mengapa menyusun guci di sana? Aku hanya memanfaatkan guci-guci itu agar terlihat sedikit berguna. Aku tidak salah, kan?
Tanpa di tanya atau pun di teliti, aku yakin jika Daffin sangat marah padaku. Rahangnya terlihat menegang, tangan kekarnya juga mengepal. Menahan amarah yang begitu luar biasa.
Satu guci terakhir, guci itu terlihat berbeda dengan guci-guci yang aku pecahkan sebelumnya. Guci itu sangat unik dan cantik. Letaknya juga sangat dekat dengan kamar Daffin. Aku merasakan ada sesuatu yang istimewa dengan guci tersebut. 'Selesaikan saja, Ayasya!' pikirku.
Aku mengambil guci itu dan sempat melihat reaksi Daffin yang sangat terkejut, padahal sebelumnya aku sudah memecahkan entah berapa banyak guci.
"Stop it! Letakkan itu." bentak Daffin, tangannya sudah menahan tanganku. Cengkraman tangannya begitu kuat hingga aku kesakitan dan tidak sengaja melepaskan guci itu dari tanganku.
PRANKKK...
Satu guci lagi lepas dari tanganku, tapi sungguh aku tidak sengaja melakukannya. Rasa sakit di tangan, membuatku menjatuhkan guci tersebut.
"Astaga!!!" teriak kak Reena yang berada di belakang Daffin, tangannya sudah menutup mulutnya yang menganga karena terkejut.
Sungguh, aku tidak bermaksud untuk memecahkan guci itu. Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya, tapi mengelak pun tidak ada gunanya karena Daffin tidak akan mempercayaiku.
"KAU!!!" teriak Daffin, tangannya terangkat ke udara dan bersiap akan memukulku.
Masih di hari yang sama, hanya dua hari setelah pernikahan kami. Daffin sudah akan melakukan hal yang paling aku benci dari seorang pria. Akhirnya dia akan memberiku alasan untuk semakin membencinya. Aku tahu ini akan terjadi, tapi aku tidak menyangka akan secepat ini.
Mataku terpejam. Jujur saja, aku takut. Bayangkan, tangan Daffin yang kekar dan besar mendarat di wajahku yang mungil. Bisa jadi wajahku langsung rata di buatnya.
Setelah beberapa saat memejamkan mata, aku tidak merasakan apapun. Perlahan, aku memberanikan diri untuk membuka mataku dan melihat Daffin yang masih menatapku dengan kesal, dia baru saja menurunkan tangannya.
"Kenapa kau diam? Pukul aku!" Aku meraih tangan Daffin dan mengarahkannya ke wajahku. Namun, Daffin langsung menarik tangannya hingga aku ikut tertarik dan masuk ke pelukannya.
Jantungku berdebar, aku merasa seluruh tubuhku melayang. Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Apakah ini perasaan bahagia karena aku telah berhasil memecahkan banyak guci?
Aku ingat ucapan kak Erlan saat aku kedapatan mendengar jantungnya berdebar. Kak Erlan mengatakan itu karena dia mencintaiku. Lalu, sangat tidak mungkinkan jika aku mencintai Daffin. Ah, mungkin jika alasannya karena aku terlalu membencinya, itu akan lebih masuk akal.
Tapi anehnya, aku juga merasakan jantung Daffin berdebar. Mungkin, karena dia juga sangat marah padaku. Jadi jantungnya memompa oksigen dengan cepat.
"Nyonya muda? Anda baik-baik saja?" Rania berlari dari arah dapur dan membawakan kotak obat untukku.
Aku melepaskan diriku dari pelukan Daffin. Sepertinya wajahku memerah karena malu. Apa yang harus aku lakukan? Aku mendengar Daffin berdehem untuk menghilangkan rasa canggung di antara kami berdua, karena ini pertama kalinya aku bersentuhan dengan Daffin sejak kami menikah.
"Bersihkan lukamu!" titah Daffin, matanya tertuju pada kakiku yang sedikit berdarah karena terkena serpihan guci.
Rona merah terlihat di wajahnya yang berkulit sangat putih, khas keturunan Eropa. 'Kenapa wajahnya memerah? Apakah dia malu? Tapi dia 'kan tidak tahu malu.' batinku.
"Ayasya, aku akan mengantar Daffin ke depan. Kamu disini saja dan bersihkan lukamu." ucap kak Reena dengan lembut.
Ah, sungguh wanita yang sangat luar biasa. Entah hatinya terbuat dari apa? Mungkin dari baja ringan. Terlihat rapuh dan ringan, tapi mampu menanggung beban yang sangat berat dan beban itu adalah menjadi seorang istri dari pria seperti Daffin.
***
"Nyonya muda sangat pemberani. Dia sudah menghancurkan guci kesayangan tuan. Nyonya Reena saja tidak pernah menyentuhnya."
Bisikan dua pelayan yang sedang membersihkan serpihan guci terdengar di telingaku. Aku cukup terhenyak mendengar ucapan mereka. Perasaan bersalah langsung menyelimuti diriku.
"Pantas saja dia begitu marah." gumamku, sembari melihat ke arah meja yang kini kosong karena aku sudah menghancurkan semua guci yang ada.
Entahlah, berapa banyak guci yang sudah aku hancurkan sehingga menyulut emosi Daffin. "Rania, apa benar guci terakhir yang aku pecahkan adalah guci kesayangan Daffin." tanyaku pada Rania yang sedang berjongkok dan membersihkan lukaku.
"Benar, Nyonya muda," jawab Rania yang mana langsung membuat manik mataku menatapnya.
Hallo semuanya 🤗
Jangan lupa jempol👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan juga tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 dan juga votenya 👈 sebagai mood booster bagi author amburadul kesayangan kalian ini 😘
Share ceritanya Ayasya ini ke teman-teman dan kenalan kalian agar makin banyak yang kenal dengan Ayasya ini😍😍
I ❤ U readers kesayangan kuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Evi
waa marah bangat tua dafin
2021-06-06
1
snow girl
kalau visualnya davin Rio dewanto baru cocok michel ziudyt cocok banget sama rio...
2021-05-31
1
nisa manis
visualnya jelek kali kagak suka
2021-05-30
0