"Aca? Sayang? Kamu lagi apa?" tanya kak Erlan ketika dia melihatku sedang di dapur.
"Membuatkan kopi untuk kakak, tapi aku tidak bisa menemukan gulanya." jawabku dengan bahu terangkat.
Selama kami pindah disini, semua keperluan dan kebutuhan kami berdua di urus oleh kak Erlan sepenuhnya. Itu sebabnya aku tidak tahu dimana kak Erlan meletakkan gulanya.
Dengan sigap kak Erlan menuruni tangga untuk menghampiriku. "Tidak perlu gula, Sayang, aku cukup menatapmu dan kopi ini akan terasa manis." ucap kak Erlan, kemudian menyeruput kopi pahitnya.
Aku hanya bisa tersenyum setiap kali kak Erlan mencoba untuk menggodaku. "Betul, Aca memang manis." ucapku menyombongkan diri.
'Ah, dia memang kak Erlan tersayangku. Dia selalu bisa menemukan kelebihan di setiap kekuranganku.'
Perasaan bahagia selalu melingkupi hatiku setiap kali aku menatap kak Erlan. Tanpa ragu aku langsung memeluknya. "Aca sayang kak Erlan," ungkapku.
Dengan cepat tanganku sudah melingkari tubuh kak Erlan, membuatnya sedikit tersentak. Namun, kak Erlan segera membalas pelukanku.
Kepalaku tepat berada di dada kak Erlan yang mana membuatku harus memiringkan kepala dan menempelkan telingaku di dada bidang kak Erlan.
Aku merasakan jantung kak Erlan berdegup kencang. Seperti seseorang yang baru saja selesai berlari.
"Kak?"
"Hemm,"
"Kakak habis olahraga?"
"Tidak, kenapa?"
"Jantung Kakak, dag... dig... dug ...."
Kak Erlan terkekeh mendengar ucapanku, kemudian dia melepaskan kontak tubuh kami. "Itu karena aku mencintaimu," ungkapnya sembari menangkup kedua pipiku.
Aku menatap manik mata kak Erlan, seumur hidupku aku hanya mempercayai dirinya. Yang aku tahu kak Erlan tidak mungkin membohongiku, tapi kenapa jantungku tidak berdegup kencang ketika kak Erlan memelukku?
'Apakah aku tidak mencintai kak Erlan?'
"Kak, tapi jantung -"
"Jantungku akan selalu berdetak untukmu," ucap kak Erlan, di susul dengan sapuan bibirnya di bibirku dengan lembut.
Kontak yang begitu lembut awalnya, semakin lama terasa semakin panas saat kak Erlan mulai merengkuh tubuhku dan menaikkannya ke atas meja dengan tangan kak Erlan yang menjagaku di kedua sisi.
Lidah kak Erlan mulai memaksaku untuk membuka mulut. Awalnya aku mengikuti permainan kak Erlan, tapi saat lidah kak Erlan mulai beraksi aku merasakan sesuatu yang aneh disana.
"Pahit!!!"
***
Kak Erlan masih saja tertawa saat aku mengantarnya ke mobil.
"Kakak!!!" teriakku tak terima kak Erlan terus menertawakan insiden ciuman pahit itu.
"Uh, Acaku sayang jangan merajuk nanti Kakak akan terkena hukuman Tuhan." goda kak Erlan.
Deg. Aku merasa ada yang aneh dengan ucapan kak Erlan. "Jangan bawa-bawa nama Tuhan, Kak!"
"Kenapa? Tuhan tahu aku mencintaimu dan -"
"Aca tidak mau Tuhan menghukum Kakak!" ucapku dengan linangan air mata yang langsung membuat rona bersalah di mata kak Erlan.
"Maaf, aku tidak bermaksud -"
"Cukup, Kak! Aca sayang Kakak, jadi Aca mau Kakak tetap di samping Aca." rengekku kembali memeluk kak Erlan.
"Tidak bisa, Ca," jawab kak Erlan yang membuatku langsung melepaskan pelukanku.
"Ke- Kenapa?" Kerongkonganku bahkan sampai tercekat mendengar jawaban kak Erlan.
"Aku 'kan harus bekerja, Sayang," ucap kak Erlan lembut, jari besarnya menghapus air mataku.
Aku tersenyum lega, tapi entah mengapa aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi dan itu membuatku sedikit resah.
"Bisa tidak aku meminta Kakak untuk tidak pergi bekerja?" tanyaku penuh harap.
"Bumil lagi manja, ya?" Kak Erlan balik bertanya sembari mencubit hidungku.
Benar. Aku sedang hamil muda. Itu sebabnya kami memilih pindah dan memulai hidup yang mandiri, jauh dari om dan tante yang masih di kampung halaman untuk menjaga panti asuhan nenek.
"Iya, ini maunya baby." Aku beralasan dengan mengusap-usap perutku yang masih rata.
Kak Erlan tersenyum kemudian berlutut di hadapanku. "Maaf, Baby, Ayah ada klien penting hari ini. Tolong jaga Ibumu yang manja ini, ya!" ucap kak Erlan kemudian mencium perutku.
"Mommy! Aku tidak suka di panggil ibu." tegasku.
Ibu. Satu kata itu selalu membuat dadaku terasa sesak. Aku tidak pernah merasakan rasanya memiliki ibu. Aku tidak tahu sehangat apa pelukan seorang ibu. Aku tidak tahu seperti apa wajah ibuku. Aku hanya tahu bahwa seorang ibu seharusnya menyayangi anaknya bukan membuang anaknya.
"Baiklah, Mommy Aca. Baby sudah setuju Ayahnya pergi bekerja." ucap kak Erlan seraya kembali berdiri menatapku.
Aku menghela nafas, merasa tidak bisa lagi mencari alasan untuk menahan suamiku agar tetap berada di rumah.
Kak Erlan mendaratkan kecupannya di keningku. "Jaga dirimu dan baby baik-baik! Tetaplah bahagia dimanapun kamu berada dan dengan siapapun."
Ucapan kak Erlan menusuk hatiku, walaupun itu di ucapkan dengan sangat lembut. Mungkin kak Erlan benar, hormon kehamilan membuatku menjadi sangat sensitif.
Aku terus menatap kak Erlan yang sudah berada di balik kemudi dan melambaikan tangannya padaku. Senyuman selalu menghiasi wajah tampannya.
"Hati-hati di jalan, Kak!" Aku membalas lambaian tangan kak Erlan.
'Tuhan, aku mempercayakan keselamatan kak Erlan padamu. Dan tolong jangan kecewakan aku!'
***
Aku benar-benar merasa bosan terus berada di rumah, tanpa melakukan apapun. Ini semua memang keinginanku, aku merengek pada kak Erlan bahwa kehamilan ini membuatku lemah sehingga aku tidak bisa pergi kuliah. Kak Erlan yang baik hati pun langsung menuruti keinginanku dan mengajukan cuti kuliah untukku.
Sekarang, aku justru merasa bosan dirumah ini seorang diri. "Apa yang bisa ku lakukan seorang diri?" gumamku.
Aku mengambil jaket dan memilih untuk keluar rumah sebelum kak Erlan pulang. Setidaknya aku bisa pergi ke danau dan menikmati suasana sore hari disana.
Sungguh sial nasibku! Baru saja aku membuka pintu pagar rumahku, pandangan mataku langsung ternodai oleh pemandangan yang ada di hadapanku.
Aku melihat si pria menyebalkan itu baru saja keluar dari mobil mewahnya bersama dengan seorang wanita yang tidak bisa aku lihat wajahnya karena dia berdiri membelakangiku.
'Mungkin itu istrinya, sungguh malang nasibmu nona!'
Sepertinya pria itu menyadari aku sedang memperhatikannya, karena dia tiba-tiba menatapku dengan tajam.
'Baby, jangan melihatnya! Dia tidak patut di tiru!' Aku mengusap-usap perutku, berharap bayi yang ada di perutku mengerti isi hatiku.
Aku tidak takut! Aku balik memelototinya. "Kau pikir aku takut!!!" ucapku tanpa suara, karena aku sebenarnya takut jika dia sampai mendengarnya.
Samar-samar aku melihatnya menggelengkan kepala, kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah besarnya itu.
Setelah melihatnya, aku jadi kehilangan selera untuk jalan-jalan. Aku memilih masuk kembali ke dalam rumah dan menunggu kak Erlan pulang.
Hallo semuanya 🤗
Semoga kalian menikmati alur ceritanya 🥰
Jangan lupa jempol 👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan jangan lupa juga tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 supaya author merasakan dukungan kalian😘
I❤U readers kesayangan kuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Mmh Dava Fatur
ceritanya terlalu ribet ya ,,ko blm faham ceritanya gmn,,,,
2021-06-05
0
Liana Rismawati
masih blm ada feel nya
2021-05-20
1
AYU DANI
masih nyimak belum paham intinya
2021-05-19
0