Suapan demi suapan nasi masuk ke dalam mulutku dengan susah payah. Bagaimana tidak? Daffin terus menatapku tanpa berkedip sekalipun. Apakah dia sungguh-sungguh akan membunuhku setelah memberiku makan? Di pikirnya aku ini kambing atau apa, yang akan di potong setelah di beri makan.
Aku sudah tidak tahan lagi. "Tidak bisakah kau pergi?" keluhku. Jujur saja, aku tidak mengharapkan jawaban yang manis dari mulut pria berhati gelembung sepertinya.
Helaan nafas Daffin terdengar jelas di telingaku walau posisi kami berseberangan. Tunggu dulu, bukankah seharusnya aku yang menghela nafas karena kesal menghadapi suami seperti dirinya. Kenapa jadi dia yang bersikap seolah aku selalu menyusahkan dirinya.
"Kenapa kamu menghela nafas seperti itu?" sinisku. Aku memicingkan mataku dan menatap Daffin dengan penuh curiga.
"Lalu? Aku harus berhenti bernafas?" sergah Daffin. "Dan kau bisa menikah lagi." lanjutnya, yang membuatku merasa sedikit tersinggung.
Pernikahan kedua yang kujalani saat ini bukanlah keinginanku, bahkan sampai hari ini pun aku masih bertanya-tanya bagaimana mungkin semua ini terjadi? Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui? Kenapa pernikahan kami terdaftar secara resmi sedangkan Daffin belum bercerai dengan kak Reena? Ah, penuh sudah isi kepalaku dengan semua permainan Plankton yang menyebalkan sepertinya.
"Ya. Matilah dan agar aku bisa menikah lagi dengan pria yang lebih kaya, tampan, dan pastinya lebih muda darimu." jawabku asal, maksudku hanya ingin menjawab apa yang Daffin katakan.
Reaksi Daffin menunjukkan bahwa dia tidak terima dengan apa yang baru saja aku katakan. "Aku? Tua?" tanyanya dengan nada yang terdengar sedikit aneh.
"Hemm." jawabku, karena mulutku penuh dengan makanan. Walaupun aku sangat kesal pada Daffin, tapi aku tidak boleh mengabaikan aksi cacing-cacing di perutku.
"Jawab aku ketika aku sedang bertanya!" bentak Daffin, membuatku langsung menatapnya.
"Kau guru?"
"Bukan."
"Kau petugas interview?'
" Tentu saja bukan. Aku ini suamimu. Apa kau sudah melupakannya?" lontar Daffin, kemarahan nampak jelas di matanya.
"Aku tidak lupa. Hanya tidak ingin." Lagi-lagi aku menjawab santai, karena aku sedang menikmati makanan yang ada di hadapanku.
Sepertinya Daffin menatapku dengan tatapan membunuh andalannya, tapi aku tidak memperdulikan apapun yang dia lakukan. Saat ini, makanan lebih penting dari apapun. Aku harus hidup dan sehat jika ingin keluar dari sini.
"Bersikaplah seperti seorang istri yang baik." ucap Daffin, sungguh menggelikan mendengar hal itu keluar dari mulutnya.
Aku meletakkan sendokku dan beralih menatap Daffin yang tidak melepaskan pandangannya dariku. "Sudahkah kau bersikap sebagai suami yang baik?"
"Kau!!!" Daffin sudah berdiri dan terlihat akan menghampiriku.
"Daffin? Dimana kamu?" Suara kak Reena menjadi lonceng peringatan bagi kami berdua.
Daffin nampak memandang ke arah pintu yang berukuran besar. "Kau selamat karena Reena memanggilku." ucapnya.
"Iya, aku harus mentraktir kak Reena karena sudah menyelamatkan hidupku yang berharga ini." jawabku. "Sekarang pergilah temui istrimu. Aku ingin makan dengan tenang bukan dengan Udang rebus." keluhku.
Langkah kaki Daffin terdengar menjauhiku. Sepertinya dia sudah berjalan keluar dari ruangan ini, tapi saat aku menaikkan pandanganku ternyata Shaka masih berdiri dengan sabarnya di sampingku.
"Kenapa kau masih di sini, Shaka?" sinisku. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran dirinya di ruangan ini, apalagi hanya ada kami berdua di sini.
"Maaf, Nyonya muda, ini perintah tuan Daffin." jelas Shaka.
"Astaga!!! Aku bahkan tidak bisa makan dengan tenang." gerutuku, sudut mataku terus memperhatikan Shaka yang tidak bereaksi sedikitpun.
Apakah Shaka benar-benar setia pada Daffin? Mungkinkah dia bisa membantu meski dengan alasan kemanusiaan? Eh, tapi Shaka manusia 'kan bukan robot?
"Shaka? Berapa usiamu?" tanyaku memecah keheningan di antara kami.
Shaka mengerutkan dahinya. "Tentunya saya lebih tua dari anda, Nyonya muda." jawabnya.
"Benarkah? Tapi tidak setua Daffin, kan?" tanyaku lagi yang di barengi dengan tawa yang membahana di seisi ruangan.
Aku sampai lelah tertawa, ini tawa pertamaku setelah kematian kak Erlan. Tapi kenapa alasannya harus melibatkan Daffin si Plankton?
Berbeda denganku, Shaka hanya diam menanggapi ucapanku barusan. 'Apa dia tidak memiliki selera humor? Atau dia hanya takut pada Daffin.' batinku.
"Shaka?"
"Iya, Nyonya muda," jawab Shaka, dia terlihat enggan sekali melayaniku.
"Bisakah aku meminta sesuatu darimu?" tanyaku penuh harap. Aku tidak memiliki harapan sebesar itu, tapi tidak ada salahnya mencoba.
"Selama saya mampu. Saya akan memberikan apapun yang Anda minta, Nyonya muda," jelas Shaka.
Aku seperti mendapat angin segar, tanpa ragu aku berkata, "bisakah kau membantuku keluar dari rumah ini?"
"Tidak bisa, Nyonya muda," tolak Shaka, yang mana langsung menghilangkan nafsu makanku yang sempat kembali tadi.
"Kenapa tidak bisa? Jika kak Reena yang memintanya, apakah kamu juga akan menjawab hal yang sama?" tanyaku untuk memastikan posisiku di rumah ini.
"Segala sesuatu di rumah ini berjalan atas keinginan Nyonya Reena. Jadi saya harap anda mengerti, Nyonya muda." tutur Shaka.
Aku mengangguk. "Aku mengerti. Aku hanyalah selir di sini. Aku tidak punya hak apapun dan keinginanku bahkan nyawaku tidaklah penting."
Deraian air mata mengalir di pipiku. Aku membiarkannya keluar sebagai ungkapan kekecewaan pada hidup yang aku jalani saat ini.
"Maaf, Nyonya muda," Shaka membungkuk hormat di hadapanku.
***
"Nyonya muda? Nyonya muda?" Rania berteriak memanggilku begitu dia melihatku keluar dari ruangan tempat Daffin mengancamku tadi.
Aku menoleh sekilas pada Rania, tapi aku tidak ingin berhenti atau mengatakan apapun padanya. Mereka semua sama. Mereka hanya patuh pada Daffin dan kak Reena. Benar-benar sangat menyakitkan bagiku.
Aku melangkah dengan sangat cepat. Aku tidak lagi memperdulikan para pelayan yang mulai berbisik-bisik ketika aku melewati mereka. 'Bahkan pelayan saja berani menggosipkan diriku.' pikirku.
Semua ini bukan salah mereka, yang mereka lihat adalah Daffin tidak pernah menghargaiku. Aku tidak lebih hanya seorang selir yang di jadikan koleksi untuk menambah daftar istri.
"Nyonya muda, hati-hati dengan langkah anda." Rania masih mengikutiku, dan sesekali mengingatkanku.
Begitu aku melewati kamar utama, aku melihat Daffin dan kak Reena sedang bermesraan. Mereka membiarkan pintu kamar terbuka dan memperlihatkan kemesraan mereka berdua. Kontras sekali dengan cara Daffin memperlakukanku.
Aku sangat kesal, bukan karena aku cemburu melihat kemesraan Daffin dan kak Reena. Namun, aku merasa di permainkan dan tidak di hargai sama sekali disini.
"Kau pikir aku boneka voodoo yang akan diam saja meskipun kau terus menusukku dengan jarum." gumamku, rasanya ingin sekali aku menampar wajah angkuh Daffin.
Aku melanjutkan jalanku dan dengan sengaja aku menjatuhkan sebuah guci yang terpajang di meja dekat kamar utama.
PRANKKK...
Guci itu pun pecah, serpihan guci berserakan dimana-mana. Seperti hatiku yang hancur dan tak bisa lagi di perbaiki.
"Ayasya?" Aku mendengar kak Reena memanggilku, tapi aku tetap berjalan menuju kamar tidurku sendiri.
"Hei, berhenti!" teriak Daffin. "Dengar! Hutangmu bertambah padaku." teriaknya lagi saat aku tak juga menghentikan langkahku.
Mendengar ucapannya, aku langsung menghentikan langkahku dan menoleh. "Hitung saja! Hitung sebanyak kalkulatormu bisa. Aku sudah tidak peduli."
Hallo semuanya 🤗
Jangan lupa jempol 👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan juga tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇juga votenya ya 👈 sebagai mood booster bagi author amburadul kesayangan kalian ini😘
Share ceritanya Ayasya ini ke teman-teman dan kenalan kalian supaya makin banyak yang kenal dengan Ayasya 😍
I ❤ U readers kesayangan kuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Evi
ada apa dengan tua dafin
2021-06-06
1
nisa manis
nmanya juga bumil gampang emosian dipecahin srmua guci
2021-05-30
1
Herwina Tanjung
apa sih maksud ayusya berdebat trs sm daffin ,,,dk enak telelu melawan sm suami ,,itu kn dosa sm krng sopan santun sm suami
2021-04-25
2