Langkah kakiku terhenti begitu memasuki rumah mewah milik Daffin. Sungguh sangat jauh berbeda dengan rumahku yang berada di seberang jalan.
Rumah yang hampir lima kali lebih besar dari rumahku itu di desain dengan sangat mewah dan elegan. Banyak ornamen bergaya Eropa di sini. Mungkin Daffin keturunan Eropa, sehingga rumahnya di buat sama dengan rumah-rumah yang ada di negara asalnya.
Aku mengedarkan pandanganku, mengamati setiap sudut rumah yang akan menjadi neraka bertopeng surga bagiku.
"Duduklah!!!" Suara berat Daffin mengejutkanku, membuatku tersadar bahwa aku sedang berada di istana raksasa jahat. Hal itu mengingatkanku pada sebuah film berjudul "Beauty and the beast", yang langsung menarik sudut bibirku.
"Kau begitu bahagia menjadi istriku, Nyonya kedua Stevano." sergah Daffin, melunturkan senyuman di wajahku.
"Haruskah aku memperlihatkan betapa tersiksanya diriku?" sindirku, kemudian mendaratkan bokongku tepat di sofa yang cukup jauh dengan tempat Daffin sedang berdiri.
Seringai jahat dan gelengan kepala menjadi jawaban Daffin atas sindiranku. Sepertinya aku harus mulai membiasakan diriku menghadapi sikap acuh Daffin. Dan sebenarnya, itu cukup baik untuk diriku. Walau dalam hatiku merasakan ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.
Langkah kaki seseorang yang menuruni tangga mengalihkan perhatian Daffin. "Ree?" Panggilnya pada wanita yang sedang berdiri di tengah tangga.
Wanita itu menatapku dengan tatapan yang aneh. Aku ingat, dia datang bersama Daffin di hari kematian kak Erlan. Ah, aku jadi ingin menangis kembali setiap mengingat hari paling menyedihkan dalam hidupku.
Sepertinya benar jika wanita itu adalah istrinya Daffin. Istri pertamanya Daffin maksudku, karena dengan sangat menyesal harus ku akui bahwa aku juga kini istrinya Daffin si Plankton.
Aku harus mempersiapkan diriku. Jika dia tiba-tiba menyerangku atau menarik rambutku, aku sudah siap untuk melawan.
Dia melanjutkan langkahnya menuruni tangga dan berjalan ke arah Daffin yang masih berdiri di tempatnya.
"Kau menepati janjimu, Daff." Satu kecupan mendarat di bibir Daffin, tanpa mengindahkan kehadiranku dan juga Shaka.
'Astaga!!! Apakah aku disini untuk menjadi penonton kemesraan kalian?'
Aku menoleh pada Shaka yang berdiri mematung tidak jauh dari tempat Daffin berdiri. Pria itu bersikap seolah tidak terjadi apapun di hadapannya. Mungkin dia sudah terbiasa menyaksikan "pertunjukan" seperti itu.
Sebaiknya aku juga mulai membiasakan diriku dengan polusi yang akan di sebarkan oleh Daffin dan juga istri pertamanya.
Tanpa sadar aku berdecak karena bosan merasa di acuhkan. Sungguh, aku tidak cemburu. Aku hanya tidak suka di biarkan seorang diri tanpa ada memperhatikanku.
Mereka akhirnya menyadari keberadaanku dan menghentikan kemesraan mereka yang tidak pada tempatnya.
Tatapan Daffin yang penuh cinta dan kehangatan terhadap istri pertamanya berubah menjadi tatapan membunuh saat dia kembali menatapku.
'Jika kau tidak menyukai diriku, mengapa kau memaksa untuk menikahi, Plankton?'
Aku tidak mau kalah. Aku membalas tatapan matanya dan mengumpat sesuka hatiku. Tentu saja hanya di dalam hatiku. Aku masih belum berani melawannya secara terang-terangan.
Istri pertama Daffin menghampiriku, masih dengan tatapan yang sama. Aku perkirakan dia berpikir aku sedang mengibarkan bendera perang kepadanya.
'Apa yang harus ku lakukan, Tuhan? Haruskah ku katakan bahwa aku membenci Daffin dan tidak menginginkan pernikahan konyol ini? Akankah dia membantuku melepaskan diri dari jeratan aneh ini?'
Saat sedang memikirkan jawaban tepat apa yang akan aku katakan pada istri pertama Daffin, ternyata jarak di antara kami semakin berkurang dan membuat wanita cantik itu sudah berada di hadapanku.
Aku langsung berdiri di hadapannya dan cukup tersentak saat dia tiba-tiba memelukku. "Selamat datang di rumah kita." ucapnya dengan penuh suka cita.
'Apa? Apa? Apa!!! Dia menyambut dengan senang hati madu beracun yang di bawa oleh suaminya sendiri.'
***
Aku masih menatap tidak percaya pada istri pertama Daffin yang merentangkan tangannya untuk menyambutku sebagai istri kedua suaminya.
Dia bahkan tersenyum dengan sangat bahagia dan terus saja berterima kasih pada Daffin yang ikut bahagia melihat kebahagiaan di wajah istrinya. Eh, tapi aku ini juga istrinya.
"Aku senang kamu mau menikah dengan Daffin." Istri pertama Daffin berpindah untuk duduk di sampingku.
'Senang apanya? Aku di paksa. Hei!!!'
Aku melemparkan tatapan terjahatku pada Daffin yang masih berwajah datar, tanpa berniat meluruskan segalanya.
"Namaku Zafreena, namamu ...."
"Ayasya, Nyonya," sergah Shaka, mewakili jawabanku.
"Ah, iya, Ayasya. Mulai sekarang kita akan hidup bersama di rumah ini." Sapuan hangat di punggung tanganku, membuatku sedikit merasa bersalah.
Aku sempat melirik Daffin yang tak bergeming sedikit pun, satu pertanyaan tiba-tiba muncul di kepalaku. Jika istri pertamanya tidak tahu namaku. Apakah Daffin juga tidak tahu namaku?
"Maaf, Nyonya -" ucapanku menggantung.
"Jangan memanggilku seperti itu! Kamu juga istrinya Daffin, panggil saja aku Reena." selanya.
"Baiklah, kak Reena."
Ya Tuhan, dia wanita yang sangat baik. Kenapa Daffin harus memberinya madu beracun sepertiku? Tidakkah cukup baginya hanya memiliki satu istri saja?
***
"Ini kamar tidur anda, Nyonya muda," Seorang gadis membukakan pintu untukku.
"Terima kasih, Rania," ucapku seraya melangkahkan kaki yang masih bertelanjang tanpa sepatu memasuki ruangan yang akan menjadi penjara bagiku.
Rania adalah pelayan pribadi yang di siapkan oleh Shaka untuk membantuku. Sebenarnya menurutku, Rania ini bukan pelayan tapi lebih seperti mata-mata untukku karena dia akan mengawasiku sepanjang siang dan malamku. Itu sebabnya aku memutuskan untuk berhati-hati padanya sebelum aku yakin dia berpihak padaku atau pada si Plankton itu.
"Silahkan, Nyonya muda!" Rania meletakkan sepasang sandal rumah di bawah kakiku. Aku menatapnya sekilas, kemudian memakai sandal yang sudah dia siapkan.
"Rania, tidak bisakah aku mendapatkan kamar tidur yang berhadapan langsung dengan rumahku?" tanyaku dengan penuh harap.
"Maaf, Nyonya muda, semua itu sudah di atur oleh tuan Shaka. Lagi pula ruangan yang anda maksud sudah di alih fungsikan menjadi ruang baca milik tuan Daffin." jelas Rania, tergurat sedikit simpati di matanya untukku.
Aku hanya bisa menghela nafas mendengar jawaban Rania. Untuk saat ini aku tidak bisa melakukan apapun selain menuruti semua keinginan Daffin, sampai aku tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Rania?"
"Iya, Nyonya muda,"
"Bisakah kau membantuku?"
Aku merasa, tidak ada yang salah dengan pertanyaanku. Namun, raut wajah Rania yang menegang membuatku yakin jika dia berpikir aku akan meminta hal yang aneh.
"Tenanglah, Rania! Aku hanya memintamu untuk membawakan makanan untuk Baby." terangku, sembari mengelus-elus perutku.
"Baby?" Rania terlihat kebingungan, sepertinya dia tidak tahu jika aku sedang mengandung.
"Iya. Untuk bayi yang ada di perutku."
"Oh, anda lapar, Nyonya muda?"
"Tidak. Baby yang ingin makan. Bukan aku."
Hallo semuanya 🤗
Jangan lupa jempol 👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan juga tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 agar author menyadari kehadiran kalian 😘
Share cerita Ayasya ini ke teman-teman dan kenalan kalian ya supaya banyak yang kenal dengan Ayasya 😍
Yang mau meninggalkan vote boollleehh banngeett 🥰
I ❤ U readers kesayangan kuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
MommaBear
Saya suka dengan alur cerita dan penggambaran masing2 karakter. Dalam dunia novel sah2 saja menciptakan kondisi yang belum pernah terjadi di dunia nyata. salut saya Thor dengan tulisannya 💞💞
2021-12-17
2
Rosa Dewi
aneh bacanya...buku nikah ada...siapa walinya ayasya...jelas buku nikahnya palsu...
2021-07-10
1
Anis Syafaah
masih belum ngerti alurnya, jadi dibaca aja dulu Sampek ngerti alurnya
2021-05-30
1