Aku dan kak Erlan baru saja pindah ke lingkungan ini sekitar beberapa hari yang lalu. Alasan kak Erlan memilih untuk tinggal disini tentunya karena aku.
Aku menyukai ketenangan, walaupun aku sangat cerewet tapi aku tidak suka jika ada banyak kebisingan di sekitarku.
Sebelum kak Erlan menikahiku, aku pernah melihat iklan property yang menawarkan sebuah hunian di tengah kota dengan nuansa yang sejuk. Dan yang paling membuat aku terpesona adalah danau buatan yang terletak di tengah-tengah lingkungan tersebut.
Aku menceritakan hal itu pada kak Erlan, maksudku hanya iseng saja. Sungguh aku tidak berniat untuk meminta kak Erlan membelikannya untukku. Namun, hati kak Erlan sangatlah sensitif. Ia lantas menguras seluruh tabungannya untuk membeli rumah yang aku inginkan.
Jujur saja, aku sangat bahagia saat kak Erlan mengatakan bahwa kami berdua adalah pemilik salah satu hunian yang ada di lingkungan ini.
Aku sempat mendengar om dan tante marah pada kak Erlan, tapi aku tidak mendapatkan jawaban apapun dari kak Erlan saat aku bertanya masalah apa yang membuat om dan tante sampai marah seperti itu.
Namun, rasa ingin tahuku terjawab begitu kami memutuskan untuk tinggal di sini, yaitu ketika aku menerima sebuah dokumen yang bertuliskan namaku di sana.
Dokumen sah kepemilikan rumah secara permanen, ternyata kak Erlan membeli rumah atas namaku. Aku pikir mungkin hal itu yang membuat om dan tante marah, tapi ternyata bukan itu masalahnya.
Begitu aku memeriksa semua dokumen itu satu persatu, aku yakin dengan sangat jika mataku pasti ingin melompat dari tempatnya ketika melihat banyaknya digit angka dari harga rumah ini.
Sungguh harga yang sangat mahal untuk ukuran sebuah rumah yang tidak terlalu besar, rumah ini bahkan hanya seukuran pekarangan depan panti asuhan milik nenek. Hanya saja, rumah ini memiliki desain yang modern dan unik. Di lengkapi dengan basement berukuran mini dan juga sebuah rooftop yang tidak begitu besar.
Aku akui rumah ini sangat indah, aku pun sangat menyukainya. Namun, dadaku terasa sesak melihat harga yang harus di bayar oleh kak Erlan hanya untuk sebuah rumah.
Aku sempat menyarankan pada kak Erlan untuk menjual kembali rumah yang baru saja dia beli, tapi kak Erlan menolak dengan tegas dan mengatakan bahwa harga rumah ini tidak sebanding dengan kebahagiaan yang aku berikan untuknya.
Bukannya aku besar kepala, tapi memang kak Erlan terlihat sangat bahagia setelah bertemu denganku. Nenek yang mengatakannya.
Orang tua kak Erlan meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat ketika mereka bertiga pergi berlibur, hanya kak Erlan yang selamat dari kejadian mengenaskan itu.
Setelah kejadian itu, kak Erlan di asuh oleh neneknya yang memiliki panti asuhan. Dan di sanalah aku dan kak Erlan pertama kali bertemu.
Aku melihat kak Erlan sebagai sosok pria yang sangat luar biasa sabar, dia sangat pengertian dan juga perhatian.
Nenek selalu mengatakan bahwa akulah yang telah menyembuhkan trauma di hati kak Erlan, tapi yang sesungguhnya adalah kak Erlan yang telah memberiku kehidupan yang sangat indah.
***
"Tuhan, kenapa Aca sayangku masih saja cemberut?" Aku menoleh pada kak Erlan yang sedang berjalan sambil menatap langit.
Aku memiringkan kepalaku dan ikut menatap langit. "Tuhan, kenapa kau ambil rasa marah Kak Erlan tersayangku? Harusnya kau sisakan sedikit rasa marah di hatinya agar dia menjadi manusia yang sedikit waras." sindirku dengan lirikan super tajam kepada kak Erlan.
Bukannya marah padaku, kak Erlan justru tertawa. Tak lama kemudian tangannya mendarat di kepalaku dan mengusap-usap rambut panjangku.
"Aku sudah kehabisan rasa marah, karena sudah kamu ambil semuanya." ucap kek Erlan dengan lembut.
Aku mendengus karena tahu itu bukanlah sebuah pujian. "Terserah kakak saja!" sungutku.
Aku berjalan mendahului kak Erlan, meninggalkannya yang masih tersenyum di belakangku.
"Aca? Sayang? Aca sayangku?" panggil kak Erlan mesra, tapi aku tetap tidak bergeming.
Aku berjalan dengan rasa marah yang terus membuncah di hatiku, alasannya hanya satu. Aku tidak suka kak Erlan selalu mengalah di hadapan orang lain, apalagi seseorang yang sombong seperti si tuan... tuan siapa, ya? Ah, karena dia tidak penting aku jadi lupa namanya.
Rasa marah terkadang membuat kita lupa arah, seperti yang terjadi padaku saat ini. Aku merasa aku sudah berjalan ke arah yang benar, tapi tiba-tiba kak Erlan berteriak di belakangku. "Sayang, itu bukan rumah kita!"
Aku mengerjap, menyadari bahwa rumahku tidak sebesar ini. Aku menaikkan pandanganku dan melihat sebuah rumah yang sangat besar di hadapanku. Rumah yang selalu menjadi pemandangan pertama yang kulihat setiap kali aku bangun tidur di pagi hari.
Bagaimana tidak? Rumah itu berada di seberang rumahku, dan karena ukurannya yang sangat besar membuat rumahku jadi terlihat seperti kandang kelinci.
Aku menatap sinis rumah itu. "Ya! Suatu hari aku akan memiliki rumah seperti ini." gumamku.
Aku membalikkan tubuhku dan melihat wajah tampan kak Erlan sedang menertawakanku.
'Untung saja kamu tampan, Kak, kalau tidak pasti sudah kulempari sandal !'
"Adik kecilku sepertinya tidak sabar ingin berkunjung ke rumah tuan Stevano dan mengucapkan terima kasih atas sarapannya pagi ini." Kak Erlan mengerlingkan matanya.
"Sarapan emosi!!!" sungutku, kemudian menyebrangi jalan menuju rumah kami.
"Aca sayang, tidak baik terlalu banyak makan emosi nanti kamu akan mudah lapar." oceh kak Erlan, walaupun dia tahu aku tidak memperdulikannya.
"Kalau lapar, tinggal makan." jawabku acuh.
Kak Erlan berjalan menyusulku untuk membukakan pagar rumah. "Silahkan masuk, Angry bird!" ucapnya dengan wajah yang tak lepas dari senyuman.
Aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan tak karuan.
***
Pertemuan pertamaku dengan pria menyebalkan itu sungguh membekas di relung hatiku yang selembut es krim.
Postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuatku merasa seperti kurcaci saat berhadapan dengannya. Di tambah lagi dengan suaranya yang terdengar sangat berat, ciri khas suara pria dewasa. Membuatku merasa semakin terintimidasi ketika dia membentakku. Dan yang lebih yang menjengkelkan bagiku adalah sikap kak Erlan yang tetap tenang menghadapi pria angkuh sepertinya.
Kak Erlan juga bertubuh tinggi dan kekar, tapi aku tidak pernah merasa takut saat berada di dekatnya. Mungkin karena kak Erlan selalu tersenyum dan berbicara dengan lembut. Aku bahkan hampir tidak pernah melihat kemarahan darinya.
Beruntungnya aku, memiliki suami seperti kak Erlan bukan seperti pria tiran itu. Aku harap, siapapun yang menjadi pendamping hidup pria itu sudah di anugerahi hati sekuat baja oleh Tuhan.
Hallo semuanya 🤗
Semoga kalian juga suka ceritanya Ayasya yang suka marah-marah ini ya 🥰
Aku selalu menunggu dukungan dan kasih sayang dari kalian semua lhoo readers kesayangan kuhh 😍
Jangan lupa jempol 👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan juga tolong tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 agar author tahu keberadaan kalian 😘
I ❤ U readers kesayangan author
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
J Ruby
keren banget 😘
2022-03-21
1
Evi
sukses cerita nya
2021-06-05
0
Rinine Gendut
masih nyimak.. bagus.. sepertinya
2021-06-03
0