Hari ini, Nayla menerima gajinya. Ia mendapat sift pagi. Sesaat sebelum pulang, Nayla menemui manager restaurant—ingin meminta ijin cuti tentunya.
“Selamat siang, Pak, saya Nayla. Boleh saya masuk?” Tanya Nayla sesudah mengetuk pintu dan membukanya sedikit.
“Iya, Nayla, masuklah,” jawab pak manager.
Nayla melangkah masuk, pak manager mempersilahkannya untuk duduk.
“Ada apa, Nay?” tanya pak manager.
“Maaf, Pak, apa saya bisa minta ijin cuti?”
“Berapa hari, Nay?”
“Kira-kira, seminggu, Pak,” jawab Nayla.
“Lama sekali. Ada acara penting apa, sampai kamu minta ijin cuti seminggu?”
“Nggak ada acara penting, Pak, saya mau—”
“Mau ke India apa nikah?” tukas pak manager yang sontak membuat Nayla terkejut sekaligus malu.
“Bapak, tahu?” lirih Nayla.
Pak manager mengangguk sembari menyunggingkan senyumnya, “tahu, Nay, satu restaurant heboh, masa saya nggak tahu.”
Nayla tersenyum kikuk, ia menunduk, kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Ia sungguh tak menyangka jika berita kedekatannya dengan pria asing sudah tersebar ke semua karyawan dan bahkan bosnya sendiri juga sudah mengetahuinya.
“Jadi, kamu beneran mau nikah?” Pak manager kembali bertanya.
“Enggak, Pak,” sela Nayla cepat, ia menggeleng keras. “Eh, maksudnya belum, Pak. Saya masih mau ke India, bertemu keluarganya,” sambung Nayla.
Pak manager menyandarkan punggungnya pada kursi, jari-jari tangannya saling bertaut. Pandangannya lurus kepada Nayla. “Sebenernya bapak nggak mau kasih ijin cuti lama, karena peraturan di sini kan cuma bisa cuti hanya tiga hari saja. Tapi karena kamu jarang ngambil cuti, ya, sudah tidak apa-apa, kamu boleh cuti seminggu.” Pak manager tersenyum simpul.
“Bapak juga nggak mau nyiksa orang jatuh cinta, kok.” Ledeknya.
Nayla tersenyum malu mendengar ucapan pak manager. “Iya, terima kasih, Pak. Saya permisi.” Nayla beranjak berdiri, ia melangkah menuju pintu.
“Tunggu, Nay,” panggil pak manager.
Nayla berhenti, ia memutar tubuhnya, “iya, Pak?”
“Kalau pacaran jangan lama-lama, buruan nikah. Bapak tunggu undangannya,” kata pak manager yang lagi-lagi membuat Nayla malu di buatnya.
“I-iya, Pak, permisi.” Jawab Nayla terbata-bata. Ia kembali memutar tubuhnya dan melanjutkan niatnya, keluar ruang kerja pak manager.
Nayla menutup pintu, satu telapak tangannya berada di dada. Mengatur napasnya, tentu Nayla merasa gugup. Semua ucapan pak manager jauh dari bayangannya, yang mungkin saja pak manager akan marah. Namun nyatanya tidak, pak manager justru mengijinkannya tanpa sedikitpun memarahinya. Tentu juga meledeknya.
Nayla melangkah, ia hendak ke ruang istirahat—ruang ganti—untuk mengambil jaket serta tasnya.
“Kenapa, Nay?” tanya Ryan yang memperhatikan wajah gugup wanita berhijab yang sontak berhenti ketika ia bertanya.
“Enggak. Aku pulang dulu, Yan.” Nayla melanjutkan langkahnya.
“Iya, deh, yang udah di tungguin kang ojek bule di depan,” ledek Ryan.
“Hah? Kang ojek bule? Siapa?” cerca Nayla yang kembali berhenti melangkah.
“Kang ojek bule India, tuh!” jawab Ryan seraya mengarahkan pandangannya ke arah Fahad yang berdiri di area parkir, di dekat motor yang pria itu sewa tentunya.
“Bisa aja kamu.” Nayla tersenyum. “Aku pulang duluan, Yan.”
“Iya, hati-hati, Nay. Pegangan yang kenceng kalau di bonceng,” ledeknya.
“Apaan, sih!” Nayla menepuk pundak Ryan. Ia melanjutkan niatnya, mengambil jaket dan tasnya.
Ryan masih memandang Nayla yang semakin jauh dari pandangannya. “Perlahan lepas, tapi masih ada kesempatan sebelum janur kuning melengkung.” Gumamnya yang menyemangati dirinya sendiri. Ryan memang menaruh hati pada Nayla, sejak pertama kali ia bekerja, ia sudah tertarik dengan gadis berhijab yang ia nilai sangat sopan dan lembut itu.
Sangat sulit untuk mendekati Nayla, gadis itu selalu menjaga jarak dari pria. Bukan sok cantik, Nayla hanya masih memikirkan Andi, adiknya. Ryan sadar akan hal itu. Sebab itulah, ia semakin mengagumi sosok Nayla.
Nayla segera menghampiri Fahad yang menunggunya.
“Hai, Sayang,” sapa Fahad begitu Nayla semakin dekat.
Nayla melempar senyum manisnya. Ia berdiri tepat di depan Fahad.
“Kita ke mall dulu, ya?” tanya Fahad.
“Sekarang? Tapi aku mau pulang, mandi dulu.”
“Nggak usah mandi, kamu udah cantik,” kata Fahad.
“Fahad ....” Nayla mencebik. “Kita pulang sebentar aja, aku masih pakai baju kerja.”
“Kamu pakai jaket, Sayang. Mau pakai kemeja aku?” tanya Fahad.
“Nggak lucu, ih!”
“Aku nggak lagi ngelucu.” Fahad mencubit hidung mungil Nayla. “Jadi, mau lanjut berdebat apa langsung ke mall aja?”
“Iya, udah, ke mall.” Pasrah Nayla.
keduanya segera menuju ke mall. Entah apa yang ingin di beli Fahad. Nayla hanya menurut. Toh, percuma saja jika ia membantah dengan sifat keras kepala Fahad.
***
Sesampainya di mall, mereka berdua memilih ke sebuah foodcourt terlebih dahulu karena Fahad merasa lapar.
Sembari menunggu makanan yang mereka pesan datang, Fahad berbicara kepada Nayla tentang keberangkatan mereka ke India.
“Sayang, kita berangkat ke India lusa. Aku sudah memesan tiketnya,” ucap Fahad.
Nayla yang tengah minum itupun dibuat tersedak oleh ucapan Fahad.
“Minum pelan-pelan, Sayang.” Fahad menepuk lembut punggung Nayla.
“Kenapa buru-buru, Fahad?” tanya Nayla yang tanpa sadar, kedua matanya menatap tajam kepada Fahad.
“Jangan melihatku seperti itu. Kamu mau makan aku?”
“Maaf,” kata Nayla. Sorot mata Nayla berubah, tak ada lagi tatapan tajam untuk Fahad. “Aku serius, Fahad. Kenapa buru-buru? Atau, kamu duluan aja. Aku nanti bisa nyusul.”
“Aku juga serius, Sayang. Aku nggak mau nunda. Kalau nunda, nanti kamu di ambil orang.”
“Ya, nggak gitu, Fahad. Kamu duluan aja, nanti aku nyusul.” Nayla tetap pada pendiriannya.
“Nggak boleh. Aku nggak kasih ijin kamu ke India sendirian. Itu bahaya buat kamu. Kamu belum tahu situasi di sana,” kedua alis Fahad saling bertaut, ia merasa kesal serta khawatir jika Nayla pergi ke India seorang diri.
Nayla menunduk, merasa takut akan sorot mata Fahad.
“Maaf, Sayang.” Fahad menyadari Nayla yang merasa takut. “Aku nggak bermaksud gitu, aku cuma nggak mau kamu ke India sendiri. Aku khawatir. Meskipun nanti kamu udah jadi istri aku, aku tetap nggak akan biarin kamu pulang pergi India-Indonesia sendirian. Itu terlalu bahaya buat kamu.” Jelas Fahad dengan lembut.
Nayla mengangkat wajahnya, menatap kedua manik mata Fahad dalam-dalam. “Aku takut,” lirih Nayla.
“Takut soal apa?” tanya Fahad.
“Aku ini siapa, Fahad? Aku nggak sepadan sama kamu. Aku takut kalau ibu dan dua adik ka—”
“Sayang,” tukas Fahad. “Ammi, Yasmin dan Yumna nggak pernah mempermasalahkan itu. Yang penting itu kita. Bagaimana kita bahagia dan bagaimana kita bisa bersama, menjalani semuanya berdua. Aku mohon, stop berpikir kalau kita ini nggak sepadan. Kita sama, hanya adat dan budaya saja yang berbeda. Kita sama di mata Allah. Apa aku boleh tanya sesuatu sama kamu?” tanya Fahad yang di jawab anggukan kepala oleh Nayla.
“Apa kamu pernah berpikir, kalau aku bakal ninggalin kamu? Kalau aku cuma memanfaatkan kamu? Kalau aku ini pria kurangajar, yang suka main-main dengan wanita Indonesia?” cerca Fahad.
Nayla tak menjawab, kedua matanya berada pada satu garis lurus dengan mata Fahad. Ya, Nayla tidak munafik. Memang ada sedikit rasa takut seperti itu di sudut hatinya. Dari sekian banyak cerita cinta dua negara, terlebih India-Indonesia, Pakistan-Indonesia, Banglades-Indonesia—yang ternyata berakhir penuh air mata, penuh drama, dan rasa sakit hati.
Tidak semua, tapi memang ada beberapa cerita cinta yang seperti itu. Entah dari pihak si pria atau si wanita yang menyakiti atau memanfaatkan. Nayla tahu, ada kisah penuh drama dan air mata di dalam kisah cinta dua negara. Namun, bukan berarti semua pria India itu buruk ... hanya beberapa, tergantung pribadi masing-masing.
kebisuan Nayla sudah menjawab pertanyaan Fahad. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya, satu jarinya mengetuk-ngetuk meja yang terbuat dari kaca itu.
“Aku nggak bisa maksa, supaya kamu nggak berpikir seperti itu. Itu hak kamu. Tapi—”
Ucapan Fahad terpotong, sebab seorang pelayan datang dan mengantarkan makanan yang mereka pesan.
Fahad kembali melanjutkan ucapannya setelah pelayan itu pergi.
“Sayang, seiring berjalannya waktu, kamu bisa melihat dan menilai. Aku ini serius atau enggak sama kamu. Jadi, aku mohon, lusa ikut aku ke India. Kamu bisa menilai semuanya setelah kamu menemui ammi dan kedua adikku.” Tutur Fahad dengan lembut.
“Tapi, kamu beli tiket pakai uang yang aku kasih waktu itu, kan?” tanya Nayla.
“Ya ampun! Iya, Sayang. Tiket kamu, ya, pakai uang kamu sendiri.”
“Ya, udah, aku ikut.” Nayla tersenyum, begitupun dengan Fahad.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Putri Nunggal
bapa pengertian sekali
2022-08-26
0
Shellia
Baru kali ini baca novel yg cowoknya India,kebanyakan kan kalo dicerita2 novel tuh luar negeri pasti Paris,Belanda,Inggris,Amerika nah kalau ini India. Lain dari yg lain yg pasti aku suka
2021-07-08
3