“Ehemm.” Sari berdehem. “Nggak jomblo lagi, nih,” ledeknya bersama beberapa teman Nayla yang lain.
“Apaan, sih, nggak jelas banget,” kata Nayla sembari sedikit menundukkan wajahnya, merasa malu. Ia tetap melanjutkan langkahnya untuk masuk dan mulai bekerja.
“Nayla, tunggu.” Sari menyusul Nayla.
“Dia bukan cowok Indonesia, Nay? Cakep, ya? Terus kapan nyebar undangan?” tanya Sari yang ingin mendengar jawaban secara langsung dari Nayla.
“Udah, ah. Sana lanjut kerja, nanti Pak Manager lihat
bisa marah,” ucap Nayla, ia mendorong perlahan tubuh Sari agar cepat pergi untuknmelanjutkan pekerjaannya.
“Kenalin, dong, Nay.”
“Iya, kapan-kapan.”
***
Menjelang pukul sebelas siang, rintik hujan turun dengan derasnya. Aroma khas tanah yang basah itu menyeruak masuk ke indera penciuman semua orang.
“Bentar lagi pulang, malah hujan,” gerutu Nayla.
“Sayang, kamu pulang jam berapa?” Fahad mengirim pesan.
“Belum tahu,” balas Nayla.
“Telpon aku kalau udah mau pulang. Oke?”
“Iya.”
Tak lama, Nita—teman Nayla yang mendapat sift siang, datang—wanita itu melepas mantel hujan yang ia kenakan.
“Akhirnya kamu dateng juga, Ta, aku bisa pulang sekarang,” lega Nayla melihat Nita sudah datang.
“Iya. Maaf, Nay, hujannya deres banget, aku nggak berani bawa motor cepet.”
“Iya. Ya, udah aku mau ambil tas. Mau pulang.”
“Kan, masih hujan, Nay, naik apa kamu?” tanya Nita.
“Emm, itu, di jemput Andi, adikku,” jawab Nayla asal.
“Oh, hati-hati, Nay.”
"Iya."
Andi tidak menjemput Nayla, ia hanya ingin segera pulang agar Fahad tidak perlu menjemputnya. Lebih tepatnya, Nayla tidak ingin bertemu dengan pria itu. Nayla ingin sendiri, berusaha mencari jawaban atas perasaan yang masih abu-abu itu.
Nayla masih berdiri di teras restaurant, ia membuka aplikasi ojek online, mencoba memesan tukang ojek, atau juga taksi. Nayla melihat ke atas, langit yang masih saja terlihat mendung dan hujan pun semakin deras. Sebuah mobil berhenti tepat di depan Nayla, ia di buat terkejut begitu kaca mobil tersebut turun dan menampilkan Fahad yang duduk di balik kemudi.
“Ayo, Sayang.”
Ngapain pakai bawa mobil? Nggak sekalian bis aja!
“Sayang, ayo.”
“Hah?” Nayla masih berdiri di tempatnya semula.
“Kamu mau di bukain pintu?” tanya Fahad.
“Eh. Enggak. Iya, aku naik.” Nayla bergegas masuk kedalam mobil, berharap teman-temannya tidak ada yang melihat.
Fahad melakukan mobil, membelah jalanan yang masih di guyur oleh derasnya hujan. Sudah setengah perjalanan, tidak ada obrolan di antara mereka. Nayla memandang lurus ke depan, pun dengan Fahad yang fokus akan kemudinya.
“Sayang,” suara Fahad memecah kesunyian.
“Jangan panggil sayang, Fahad!” seru Nayla.
“Oke, sorry. Nayla, kenapa kamu diam?” tanya Fahad.
“Ngapain kamu bawa mobil?”
“Ini hujan, Sayang, gimana aku bisa jemput kamu kalau pakai motor,” jawab Fahad.
“Kalau hujan, nggak perlu jemput. Aku bisa pulang sendiri.”
“Sayang ....” Fahad mengiba, memohon agar Nayla tidak marah.
“Hemm, terserah,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah Fahad.
“Andi hari ini di rumah, kan? Aku bisa ketemu sama dia.”
“Hemm,” sahut Nayla.
“Aku mencintaimu, Sayang.”
Nayla berdecak kesal. “Fahad, jangan bilang kalimat itu. Aku nggak suka.”
“I love you, i love you, and i love you.” Fahad menoleh ke arah Nayla, tangannya mengarah untuk menarik hidung mungil wanita itu.
Nayla meringis, ia memukul perlahan punggung tangan Fahad. “Sakit, Fahad.”
Fahad kembali fokus pada kemudinya. “Lagian, ada yang bilang cinta malah nggak suka. Harusnya di balas, dong.”
“Aku aja nggak cinta, ngapain bales ucapan kamu,” kata Nayla.
“Masa? Yakin nggak cinta?” selidik Fahad sembari menepiskan senyumnya.
“Enggak.”
“Nggak salah, kan?”
“Ih, nggak gitu!” seru Nayla.
“Tapi, gini.” Fahad kembali menarik hidung Nayla lagi dengan gemasnya.
“Fahad, udah. Sakit. Fokus nyetir aja sana.” Nayla mencubit lengan Fahad.
***
Sesampainya di rumah, Andi dan Fahad berkenalan. Fahad orang yang cukup ramah, bahkan ia tidak terlihat seperti orang kaya saat di rumah Nayla. Ia tidak canggung ataupun risih di rumah Nayla yang sederhana itu. Andi memilih masuk ke kamar setelah Nayla selesai membersihkan diri, agar kakaknya itu bisa mengobrol secara pribadi dengan Fahad.
Bahasa Inggris nggak lancar, jadi obat nyamuk doang. Kan, mending masuk ke kamar. Pacaran sama hape. Batin Andi.
“Kamu mau keluar nggak? Kita jalan-jalan,” tanya Fahad.
“Hah? Kemana?”
”Mall atau cafe? Terserah kamu, Sayang.”
“Tapi—”
“Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu, Sayang, kamu bisa percaya sama aku.”
Nayla diam, di pandangannya sorot mata Fahad. Bukan, bukan Nayla takut seperti yang di maksud Fahad. Ia hanya ingin menjauh dari pria itu, agar perasaan itu tidak semakin nyata dan memenuhi hatinya.
“Tapi—”
“Sayang, ayolah, aku pengen nikmatin suasana Indonesia di malam hari.” Fahad memasang wajah melasnya.
Nayla menghela napas panjang. “Iya, iya.” Nayla pun luluh, merasa kasihan pada Fahad yang memang semenjak di Indonesia, ia belum pernah mengajak Fahad menikmati suara malam di Indonesia.
“Oke. Sekarang aku balik ke hotel, nanti aku jemput kamu.”
Nayla mengangguk.
***
“Cakep, ya, Mbak?” goda Andi pada Nayla yang baru saja menutup pintu, setelah Fahad kembali ke hotel.
”Iya. Eh, enggak. Biasa aja,” jawab Nayla.
“Bilang cakep juga nggak apa, Mbak. Pakai nutupin segala.”
Nayla tersenyum malu, pipinya merona. “Andi, nanti malem Fahad ngajak Mbak jalan, gimana?” tanya Nayla pada Andi.
“Iya pergi aja, Mbak, Andi berani kok dirumah,” jawab Andi. “Mbak, temenku nanti mau kesini,” imbuhnya.
“Cewek apa cowok?”
“Cowoklah, ambak, mana berani aku bawa cewej ke sini.”
“Iya. Jangan aneh-aneh, Andi,” pesan Nayla pada Andi.
“Iya, Nyonya Fahad.”
“Dih. Apaan, sih!” seru Nayla. “Udah magrib, sana pergi salat.”
“Siap, Nyonya Fahad.”
“Andi, ih!” kesal Nayla.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Rani
Untung muslim juga
2020-05-07
2
Jean Tuhumury
Lanjutt thor, seru nii
2020-04-19
3
Ramlah Syam
suka ceritanya
2020-03-05
2