Setelah mengabari Andi jika ia akan pulang terlambat, Nayla mengambil buku menu—melihat daftar menu makanan hotel. Ia memutuskan memesan satu spaghetti dan dua steak, tak lupa ia juga memesan dua jus jeruk. Satu steak ia minta untuk di bungkus, karena ia akan membawa pulang, untuk Andi .
Terdengar, suara pintu kamar mandi terbuka, seketika pandangan Nayla tertuju pada sumber suara tersebut.
Masha Allah indahnya ciptaan-MU, handuk masih di leher dan rambut basah yang masih acak-acakkan aja, dia udah cakep. Nayla terdiam, matanya masih menyorot pria berkebangsaan India di depannya itu.
Eh, astagfirullah, ampuni aku Ya Allah. Jangan sampai terpesona Nayla, jangan sampai! Nayla seketika tersadar saat Afsal tersenyum kepadanya. Nayla memalingkan wajah, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Menggemaskan! Batin Fahad.
Bel pintu terdengar, membuyarkan kesunyian antara Nayla dan Fahad. Nayla mengambil dompet di dalam tasnya, beranjak menuju ke pintu dan membukanya.
Fahad yang melihat petugas hotel membawa makanan, dan Nayla yang mengeluarkan beberapa lembar uang pun langsung berkata pada Nayla.
“Apa yang sedang kamu lakukan? itu makanan untukku, kan? aku akan membayarnya,” ucap Fahad.
Nayla menoleh sejenak ke arah Fahad, ia hanya diam dan tetap membayar dengan uangnya.
“Nayla.”
“Fahad.”
”Kamu pikir ini cuma makananmu? aku juga lapar!” sungut Nayla sembari melotot pada Fahad.
Fahad hanya tersenyum. Ia paham bahwa Nayla masih marah dan terkejut atas kedatangannya.
Nayla bergegas menaruh semua makanan di atas meja, ia mengambil satu piring spagheti lalu duduk di bawah—lesehan—di samping meja. Fahad juga ikut duduk di bawah, di samping Nayla.
“Ngapain?” tanya Nayla.
“Mau nikahin kamu.”
Nayla berdecak kesal. “Aku tanya, kamu ngapain duduk di bawah?”
“Oh.” Fahad tersenyum, bukan ia tidak tahu apa maksud dari pertanyaan Nayla, ia memang sengaja menjawab seperti itu. “Aku mau makan sama calon istriku, di sampingnya. Nggak salah, kan?”
“Salah. Aku bukan calon istri kamu,” dengus Nayla.
“Eh, iya. Bukan calon istri, tapi calon Ibu untuk anak-anakku nanti.”
“Fahad!” seru Nayla.
“Apa?”
“Buruan dimakan!”
“Iya, Sayang ....”
Nayla berdecak kesal, ia memilih tidak menyahuti ucapan Fahad dan memakan spaghetinya.
***
Seusai makan, Nayla pun berpamitan akan pulang, sebab waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Tangan Fahad menarik tangan Nayla, mencegah ia pulang.
“Aku mau pulang, besok aku balik ke sini lagi,” kata Nayla dengan suara terendahnya.
“Nayla, bisakah kamu memberiku nomer WhatsApp-mu?” tanya Fahad yang tak di jawab oleh Nayla, tidak dengan ucapan ataupun gelengan—anggukan kepala. “Ayolah, aku udah di sini, gimana kalau aku hilang? Siapa yang akan aku hubungi.” Fahad memasang wajah melasnya.
Apaan, sih! Emangnya kamu anak kecil yang diajak Ibunya ke tempat rame terus ilang, gitu?!
Nayla meraih ponsel yang masih di genggam Fahad, mengetik nomer WhatsApp-nya lalu menyimpannya dengan nama, Nayla. “Ini, sudah. Sekarang aku mau pulang.”
Fahad menerima ponselnya kembali, tersenyum lalu berkata, “baiklah, terima kasih dan hati-hati, Sayang.”
”Jangan memanggilku seperti itu!” seru Nayla yang kesal oleh panggilan ‘sayang’ yang di lontarkan Fahad. “Panggil Nayla,” imbuhnya.
“Iya, Nayla,” jawab Fahad, ia memberi penekanan pada ucapannya. “Sayang,” sambungnya dengan lirih dan Nayla tak dapat mendengar.
Nayla mengucap salam seraya melangkahkan kakinya, keluar kamar. Fahad pun membalas salam Nayla, ia masih saja memandangi Nayla hingga wanita itu menghilang dari balik pintu lift.
***
Sesampainya di rumah, Nayla menuju sofa ruang tamu, sejenak ia berbaring di sana, tangannya mengarah memijat keningnya yang terasa sedikit pusing.
Andi yang baru saja keluar dari kamar, melihat Nayla yang berbaring di sofa itu pun segera mendekat, bertanya pada saudarinya itu. “Mbak Nayla, kenapa? Sakit? Ayo, Andi antar ke dokter, Mbak.”
“Enggak. Mbak cuma capek, habis mandi juga hilang capeknya. Ini dimakan, Ndi.” Nayla menyodorkan steak yang berada di meja—yang ia bawa.
”Apa ini, Mbak?”Andi membuka bungkusan kresek yang terdapat satu kursi steak tersebut. “Kok, cuma satu, Mbak?” tanyanya.
“Mbak tadi udah makan di sana, itu buat kamu. Mbak mandi dulu, ya?” Nayla beranjak, masuk menuju kamar untuk mengambil handuk.
***
Nayla masih di kamar, menunggu waktu maghrib, terdengar suara notifikasi pesan WhatsApp. Nayla mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur, di sampingnya.
“Apa kamu di rumah?” isi pesan tersebut.
“Iya.” Nayla tidak bertanya, siapa pemilik nomer yang mengiriminya pesan, dari nomer kode +91 saja ia sudah tahu bahwa itu adalah nomer WhatsApp milik Fahad.
“Sayang.”
Nayla mengembuskan napasnya dengan kasar, lagi-lagi pria itu memanggilnya seperti itu
”Jangan memanggilku seperti itu, Fahad."
“Udah waktunya salat, Allah hafiz [¹].” Balas Nayla lagi.
“Allah hafiz, Sayang.”
***
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, Andi dan Nayla berada di ruang tv bersama. Nayla sibuk melipat pakaian, sedangkan Andi sibuk dengan laptopnya, mengerjakan tugas kuliah.
Andi adalah anak yang ramah dan tidak suka macam-macam. Ia sadar jika ia melakukan hal yang salah, maka yang paling terluka dan sedih sudah pasti kakak perempuannya ini, Mbak Nayla.
Bukan berarti tiga kakaknya yang lain tidak peduli, hanya saja Andi lebih dekat dengan mbak Nayla-nya. Karena kesibukan, mereka tidak bisa bertemu dengan ketiga kakak mereka yang lainnya. Terkadang, Andi akan mampir ke rumah salah satu kakaknya jika ia merindukan keponakannya. Nayla sangat jarang, sebab ia lebih memilih di rumah setelah pulang bekerja.
“Mbak?” suara Andi memecah kesunyian.
“Hemm?”
“Mbak, lagi mikirin apa, sih? Dari pulang kerja mukanya kayak stres, gitu. Dimarahin bos, ya?”
“Enggak,” singkat Nayla. ”Andi, kalau kamu jatuh cinta sama cewek, terus cewek itu nolak kamu gimana? Masih kamu kejar apa nyerah aja?” tanya Nayla tiba-tiba.
“Hahaha.” Andi tertawa mendengar pertanyaan Nayla.
“Andi, Mbak serius,” kesal Nayla, adiknya itu justru menertawakan pertanyaannya.
”Mbak Nayla, lagi jatuh cinta?” Andi bertanya, masih tertawa.
“Enggak.” Nayla berkilah. “Jawab aja pertanyaanya, nggak udah melebar ke mana-mana.”
“Kalau Andi, sih, pasti kejar terus, Mbak. Nggak peduli berapa kali dia nolak, Andi pasti kejar terus. Kalau Andi udah dapetin dia ... baru, deh,” jawaban Andi menggantung.
“Baru apa?” penasaran Nayla.
”Baru, deh! Andi buang. Salah sendiri sombong banget jadi cewek.” Andi kembali tertawa.
“Awas kalau kamu berani kayak gitu sama cewek. Mbak bakal gantung kamu di pohon toge!” ancam Nayla, ia menunjuk Andi dengan sorot mata tajamnya.
“Bercanda, Mbak, bercanda. Lagian, Andi kalau jatuh cinta nggak bakal sama sembarang cewek, Mbak. Nggak asal cakep doang dan nggak bakal main-main sama hati anak orang,” tutur Andi.
Nayla menepiskan senyumnya, puas oleh penuturan dan pemikiran adiknya tentang jatuh cinta dan tentang seorang wanita.
Nayla melihat ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Tak satupun ada notifikasi pesan ataupun telpon dari Fahad.
Eh. Ngapain aku nungguin WhatsApp dia? kurang kerjaan banget.
***
[¹] Allah Hafiz \= sampai jumpa. Kalimat itu biasa di gunakan oleh Muslim India ketika mereka mengakhiri sebuah pertemuan, pesan, dan telepon.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Putri Nunggal
iiih ngambeukan terus tar jd bucin akut lo
2022-08-24
0
Putri Nunggal
😂😂😂
2022-08-24
0
Putri Nunggal
yang bener nama tokoh cowoknya fahad atau afsal? jd binggung aku
2022-08-24
0