“Mbak, emang ada yang lagi ngejar-ngejar, ya?” tanya Andi dengan mulut yang mengunyah makanan. Seusai menyelesaikan tugas kuliahnya, serta Nayla yang selesai melipat baju ... kini keduanya tengah menikmati makan malam bersama.
“Bukan Mbak, temen kerja,” jawab Nayla sesantai mungkin. Ia tak ingin Andi menaruh curiga oleh pertanyaannya.
“Masa?” selidik Andi.
“Terserah kalau nggak percaya sama Mbak,” ketus Nayla.
Andi kembali bertanya, “Mbak, besok sift siang, kan?”
“Iya. Kenapa?”
“Paginya, Mbak di rumah apa pergi kemana, gitu?”
“Oh, iya. Besok Mbak pergi ke rumah temen. Udah janjian.”
“Tuh, kan ... di bilang juga apa, pasti ada sesuatu sama, Mbak,” seru Andi. “Siapa, sih, Mbak? Kasih tahu Andi-lah, kenalin, kek.”
“Apaan, sih, kamu?!” Nayla beranjak, ia berjalan ke arah dapur—tidak ingin Andi melihat wajahnya yang memerah karena malu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan Nayla pun sudah menunaikan kewajibannya—salat isya'. Lagi, Nayla melihat ponselnya dan tidak ada satu pesan pun dari pria yang ia tunggu, Fahad.
“Ah, udahlah, aku tidur aja.” Gumamnya.
***
Pukul empat pagi, Nayla sudah bangun begitu ia mendengar adzan subuh berkumandang. Nayla bergegas bangun dari tempat tidurnya, pergi ke kamar mandi. Selesai salat, Nayla tidak lupa untuk membangunkan Andi. Andi termasuk orang yang sangat susah di bangunkan, perlu berkali-kali Nayla memanggil dan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Setelah berhasil membangunkan Andi, Nayla kembali ke kamar dan melihat ponselnya, sudah ada pesan dari Afsal rupanya.
“Selamat pagi, Sayang. Maaf, semalam aku lelah dan mengantuk.”
“Hemm.”
“Apa kamu marah?”
“Aku nggak marah.”
“Jam berapa kamu ke sini?”
“Nggak tahu, mungkin jam tujuh atau jam delapan.”
“Baiklah, aku mencintaimu, Sayang ... Allah hafiz.”
Kok, isi pesannya udah kayak orang pacaran aja, sih? batin Nayla, ia tersenyum membaca isi pesannya dan juga pesan Afsal.
***
Nayla sudah siap berangkat ke hotel, menemui Fahad. Nayla tidak pandai berdandan—sebab ia memang tidak suka berdandan yang berlebih—hanya sekedar memoles wajahnya dengan foundation tipis, bedak, lalu lipstick warna peach favoritnya.
Andi sudah berangkat kuliah pukul setengah delapan tadi. Masih menunggu ojek online pesanannya, Nayla berulang kali melihat penampilannya dari pantulan cermin lemari pakaiannya.
“Udah rapi belom, sih? bedakku ketebelan nggak?” tanya Nayla pada dirinya sendiri. “Ah, udah pas, kok. Wangi juga,” gumam Nayla sembari menghirup aroma parfum yang ia semprotkan ke bajunya. Ia menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, melihat penampilannya.
Terdengar suara klakson ojek online yang ia pesan, menandakan bahwa ia sudah berada di depan rumah pelanggannya.
Nayla memang selalu memakai jasa ojek online untuk pergi bekerja jika Andi sedang tidak bisa mengantar dan menjemputnya.
“Makasih, Mas,” ucap Nayla pada tukang ojek seraya mengembalikan helm dan membayarnya.
“Iya, Mbak, sama-sama, jangan lupa bintangnya, Mbak,” tukang ojek tersebut menepiskan senyumnya.
“Siap, Mas.”
Nayla masih berdiri di depan hotel, melihat bangunan mewah di depannya, ia mengembuskan napas panjang. Nayla melangkah. Ia berhenti begitu merasakan getaran dari ponselnya yang ia genggam, tertera nama Fahad yang tengah memanggilnya.
“Kamu dimana, Sayang?” tanya Fahad begitu Nayla sudah menerima panggilannya.
“Fahad! Jangan panggil sayang!” geram Nayla yang kembali harus mendengar panggilan itu. ”Aku udah di depan hotel.”
“Aku di restaurant, kemarilah.”
“Iya.”
Mereka sama-sama mengakhiri panggilan.
Begitu melihat Nayla semakin mendekat, Fahad beranjak berdiri dan menyambut tangan Nayla. Tanpa sadar, Nayla menerima sambutan tangan Afsal.
“Kamu udah sarapan?” tanya Afsal sembari mendudukkan tubuhnya di kursi yang sebelumnya sudah ia duduki untuk sarapan.
“Hemm,” sahut Nayla.
Seorang pelayan datang, membawa segelas jus alpukat untuk Nayla dan kopi untuk Fahad.
“Apa kamu yang memesan jus ini?” tanya Nayla yang merasa heran.
“Iya, aku yang memesannya. Aku tahu kamu suka jus alpukat.”
“Oh.” Nayla membulatkan bibirnya, membentuk huruf O dengan sempurna.
“Baiklah, apa rencanamu untuk hari ini?” tanya Fahad.
“Nganter kamu ke bandara,” jawab Nayla setelah meminum jusnya.
“Apa?” kedua alis Fahad saling bertaut, terkejut akan jawaban Nayla. menghela napas panjang, dengan nada lembut Fahad mengatakan dan meyakinkan Nayla bahwa ia benar-benar serius dan ingin segera bertemu keluarganya. Jika perlu, sekarang pun ia sudah siap untuk bertemu keluarga Nayla, meminta ijin untuk menikahi wanita yang duduk di depannya ini.
“Kamu nggak percaya?” tanya Fahad yang di jawab gelengan kepala oleh Nayla.
Afsal menarik napas panjang, berdiri lalu menggandeng tangan Nayla menuju ke kamarnya. Menunggu lift terbuka, Nayla dengan nada yang terdengar takut, ia mengatakan, “aku nggak mau, Fahad.”
“Tenang, Sayang, aku cuma mau nunjukkin sesuatu yang aku bawa dari India,” tutur Fahad lembut.
Nayla diam, di pikirannya berkecamuk, berbagai pertanyaan muncul—yang membuatnya semakin bingung.
Nayla duduk di sofa, sedangkan Fahad sibuk mengambil koper dan terlihat mengeluarkan sebuah map yang tebal di sana. Afsal berjalan menuju sofa, dan duduk di samping Nayla. Ia mengeluarkan isi di dalam map tersebut.
“Lihat, aku membawa dokumen perceraianku dan membawa semua kartu identitasku.” Fahad membuka dokumen perceraian dan identitas dirinya, menunjukkannya kepada Nayla.
Nayla memandang semua dokumen yang ada di meja. Fahad kembali bangkit untuk mengambil laptopnya. Ia menunjukkan sebuah video yang di dalamnya terdapat ibu dan kedua adiknya yang jelas-jelas mengatakan bahwa ingin Nayla segera menjadi menantu dan kakak ipar untuk mereka. Iya, Nayla, Nayla Anjani. Itu nama yang mereka sebut.
Nayla terkejut dan lagi-lagi ia hanya bisa terdiam melihat semua ini.
Apa ini, Ya Allah? Bagaimana mungkin dia benar-benar mencintaiku dan bagaimana keluarganya bisa menerimaku? Aku ini nggak cantik, ataupun kaya. Aku nggak bisa di sandingkan dengan Fahad yang jelas-jelas adalah pria sempurna di mata para wanita. Aku nggak pantas untuk Fahad. Aku nggak pantas. Batin Nayla, ia tidak sadar ada bulir bening keluar dari sudut matanya, membasahi pipi.
Dengan sigap Fahad menghapus air mata Nayla dengan ibu jarinya. Ingin ia memeluk wanita yang ia cinta ini, namun ingatan di mana Nayla menolak di peluknya—kemarin—membuat ia mengurungkan niatnya itu, ia tahu Nayla tidak menyukainya.
“Sayang,” lembut Fahad. Nayla mengangkat wajahnya, melihat wajah pria yang ada di sampingnya ini.
Fahad bertanya_meminta penjelasan—alasan apa yang membuat Nayla tidak mau menikah dengannya dan alasan apa yang membuatnya tidak mempercayai ucapan cintanya. Nayla pun menjawab semua pertanyaan Fahad dan berharap pria itu bisa mengerti akan alasannya.
Nayla mengatakan bahwa dia (Fahad) dan dirinya sangatlah berbeda. Nayla pun menjelaskan perbedaan antara mereka berdua, bahwa Fahad adalah pria kaya dan terhormat, berpendidikan tinggi, apalagi perbedaan adat dan budaya mereka yang sangat mustahil—jika ada sebuah ikatan di antara mereka berdua. Dan ia hanyalah seorang pelayan restoran, tidak punya gelar sarjana seperti Fahad. Lalu bagaimana ia bisa bersanding dengan pria itu, juga bersosialisasi dengan mereka yang terhormat dan punya gelar terbaik di kampusnya dulu. Jangankan di hormati, tidak akan ada yang ingin berteman dengan gadis sepertinya, pikir Nayla.
Nayla menjelaskan dengan deraian air mata yang masih terus memaksa keluar—mengeluarkan semua rasa perih yang ada di hatinya.
Fahad meyakinkan Nayla bahwa harta dan tahta itu tidak penting baginya, luka masa lalu membuat ia lebih mementingkan perasaan—hati dan cintanya, daripada memikirkan status sosial.
“Nayla, aku nggak tahu sejak kapan aku jatuh cinta sama kamu. Aku cuma tahu kalau aku benar-benar cinta sama kamu.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
maura maira
jodoh tak kenal negara'nkpu sudah jodoh ibarat asam di gunung garam di laut hihihi benar kan
2022-09-02
0
Putri Nunggal
manis sekali
2022-08-24
0
Shellia
berarti si Afsal duren sawit dong
2021-07-08
1