“Tapi, kenapa harus dadakan gini, sih? Kamu aja baru datang.” Nayla berucap, ia menatap Fahad dengan tatapan bingung serta kesal.
“Aku nggak mau nunda niat baik, Sayang ... Allah nggak suka niat baik yang di tunda-tunda.”
“Tapi—”
“Nayla ....”
Nayla mengembuskan napasnya dengan kasar, ia mengangguk lalu beranjak berdiri. “Ayo,” ajak Nayla. Fahad tersenyum, ia berdiri lalu menggenggam tangan Nayla—keluar area mall untuk menuju rumah Mas Arif.
Keduanya kini sudah duduk di dalam taksi yang akan membawa mereka ke rumah Mas Arif dan Mbak Indah. Nayla diam, ia memikirkan bagaimana ia bisa terbang ke India dengan uang tabungan yang belum cukup untuk membeli tiket.
Nayla berusaha keras untuk menabung. Tak banyak yang bisa ia masukan ke dalam tabungan, sebab kebutuhannya dan Andi jauh lebih penting, pikir Nayla.
Nayla merogoh tasnya, ia mengambil ponselnya untuk menelpon Mas Arif.
”Mas, aku sama Fahad lagi otw ke rumah Mas. Mas di rumah, kan?” tanya Nayla begitu Mas Arif menerima panggilannya.
“Sama Fahad? Bukannya dia masih di India?”
“Iya, Mas, dia baru datang dan langsung ngajak ke rumah Mas Arif,” jawab Nayla.
“Oh, iya. Mas tunggu.”
“Iya, Mas.” Nayla mengakhiri panggilannya.
Taksi berhenti tepat di depan rumah sederhana Mas Arif. Keduanya turun dan langsung di sambut oleh Mas Arif dan Mbak Indah yang berdiri di teras rumah.
Mereka semua duduk di rumah tamu, berbincang dengan hangat, Nayla-lah yang menjadi penerjemah antara Mas Arif dan Fahad. Nayla juga mengatakan niat Fahad yang ingin mengajaknya ke Kashmir, India—untuk bertemu dengan keluarganya.
Setelah cukup lama, Nayla meminta ijin Fahad, ia ingin berbicara berdua dengan kakaknya. Fahad pun mengangguk, tersenyum kepada Nayla.
“Kamu beneran mau ke India ketemu keluarganya?” tanya Mas Arif, ia menatap Nayla dengan tatapan serius.
Nayla mengangguk, ia tak munafik. Ia memang ingin bertemu keluarga Fahad, lebih mengenal mereka.
“Mas, uang Nayla belum cukup buat beli tiket pulang, kalau buat pergi doang udah cukup. Iya, dua hari lagi emang gajian, tapi Andi gimana, Mas? Masa Nayla pakai semua uang itu buat Nayla sendiri. Nayla juga nggak mau beli tiket pakai uang Fahad, Nayla sama sekali nggak mau ambil uang sepeserpun dari kartu kredit yang dia kasih ke Nayla,” jelas Nayla dengan tegas.
Mbak indah masuk ke kamar, tak lama ia keluar lalu memberikan uang kepada adik iparnya, Nayla.
“Ini, Nay, pakai uang ini buat beli tiket pulang dan buat pegangan kamu di sana, kamu emang harus mengenal keluarga Fahad lebih dekat. Yang penting kamu tetap hati-hati di sana nanti.” Mbak Indah tersenyum saat memberikan uang tersebut kepada Nayla.
”Mbak, ini apa? Nayla nggak bisa terima ini Mbak, ini kan uang buat sekolah anak-anak Mbak Indah” Nayla mengembalikan uang tersebut.
“Bukan, Nay.” Mbak Indah kembali memberikan uang itu kepada Nayla. “Ini uang tabungan Mbak Indah sendiri. Sebenarnya Mbak nabung uang itu buat biaya pernikahan kamu nanti, Mbak Indah nggak mau lihat kamu nikah tanpa ada pesta ... Mbak nggak mau kamu merasa kehilangan orangtua saat kamu nikah nanti. Kamu masih punya kita semua, kakak-kakak kamu sebagai orangtua,” ucap Mbak Indah seraya memeluk Nayla, adik iparnya.
“Tapi, Mbak, ini banyak banget. Nayla nggak bisa teri—”
“Udah, nggak ada tapi-tapian. Itu buat kamu. Mbak nggak mau ada penolakan,” tukas Mbak Indah.
“Mbak Indah, makasih ya, Mbak.” Nayla membalas pelukan Mbak Indah.
Nayla ke depan, setelah sebelumnya ia menghapus air matanya—meninggalkan Mas Arif yang menatap tajam ke arah Mbak Indah, istrinya.
“Sayang, kamu mulai kapan nabung uang itu?” tanya Mas Arif.
“Eh, maaf, Pa, aku nggak ngomong sama kamu. Aku udah lama aku nabung uang itu buat Nayla
Maaf, ya?”
“Kamu nggak sembunyiin sesuatu lagi, kan?”
Mbak Indah menggeleng, “cuma itu aja, kok.”
“Alhamdulillah, aku beruntung punya istri kayak kamu. Kamu selalu mikirin yang terbaik buat adik-adik aku.” Mas Arif memeluk istrinya dari samping.
“Pa, Nayla dan Andi juga adikku, mereka juga tanggung jawab aku. Aku nggak mau bikin almarhum bapak sama ibu kecewa lihat Nayla dan Andi yang hidup tanpa orangtua. Dan sekarang, kita sebagai kakak-kakaknya yang jadi orangtua buat mereka,” tutur Mbak Indah dengan tulus. “Lagipula, aku juga paham, kok,” imbuhnya.
“Paham gimana maksudnya?” Mas Arif mengerutkan keningnya.
“Paham. Kalau udah muji gini, kamu pasti ada maunya.”
Mas Arif terkekeh, “tahu aja kamu. Gimana? Sekarang?”
“Eh, Jangan ngaco. Di depan ada Nayla sama Fahad juga. Ayo, ke depan, nggak enak sama mereka.” Mbak Indah melepas pelukan suaminya, ia beralih menggandeng tangan Mas Arif dan berjalan ke ruang tamu.
Hari semakin malam, Nayla dan Fahad pamit pulang. Sebelumnya, taksi yang mereka tumpangi mengantar Nayla ke rumah terlebih dulu. Juga, Fahad akan mengambil koper miliknya yang ia tinggalkan di sana.
***
“Ehhem. Yang bentar lagi ketemu calon mertua,” goda Andi. Keduanya kini tengah duduk bersama di depan tv, menikmati camilan dan teh hangat. “Deg-degan ya, Mbak?” tanya Andi.
“Enggak, B aja.”
“Eh, masa? Belum ke India aja, mukanya udah kelihatan tegang gitu dari tadi.”
Nayla sedikit memiringkan duduknya, menghadap adiknya. “Andi, kamu nggak apa Mbak tinggal ke India?” tanya Nayla dengan tatapan lembutnya.
“Iya, Mbak, nggak usah khawatirin Andi. Harusnya Andi yang khawatir, Mbak pergi kesana sendiri. Ya, meskipun sama fahad ... tapi kan Mbak baru pertama kali ini ke sana.”
“Kalau Mbak ada uang, Mbak pengen ajak kamu sekalian.”
“Andi nggak apa kok di rumah sendiri, udah gede ini. Andi janji, Andi bakal jaga kepercayaan Mbak Nayla. Lagian Andi kan kuliah, Mbak, mana bisa ijin. Sebentar lagi mau ujian juga,” tutur Andi.
“Mbak belum sempat ke rumah Mas Irfan (kakak kedua) sama Mbak Mita (kakak ketiga), nih. Mbak baru ngomong di telpon, tentang Fahad.”
“Nanti aja kalau Mbak udah mau berangkat ke India, main ke rumah Mas Irfan sama Mbak Mita. Oh, iya, Mbak ... tadi Mas Irfan transfer uang buat Andi, katanya buat pegangan.”
“Iya, simpan aja uangnya.”
“Mbak, keluar, yuk? Cari makan, Andi yang traktir.” Andi mengangkat alisnya dua kali sembari menepiskan senyum jenakanya.
“Songong ya, yang baru di transfer uang sama Mas Irfan.” Nayla memukul pelan lengan Andi. “Tapi ya udah, yuk? Sebentar, Mbak pakai hijab dulu.” Nayla beranjak masuk ke kamar, mengambil hijab
“Buruan!” seru Andi. “Nggak usah pakai dandan segala, Mbak kan nggak ketemu sama Fahad.” Andi keluar rumah, ia mulai menyalakan mesin motornya.
“Iya, iya. Emangnya, Mbak pernah dandan menor,” sahut Nayla yang terburu-buru mengunci pintu rumahnya setelah selesai mengaitkan jarum pentul ke hijab segiempat yang ia kenakan.
“Berisik, ayo buruan.”
Nayla naik ke motor, Andi pun melajukan motornya. Mencari makanan untuk santap malam mereka.
“Mie ayam ya, Mbak? Andi pengen makan mie ayam,” kata Andi.
“Kirain mau ngajak makan di restaurant, taunya cuma mie ayam.”
“Males, ah. Nanti Mbak pesen yang mahal lagi.” Andi tertawa kecil. “Setiap hari udah kerja di restaurant, masa makan malam juga mau di restaurant. Nggak bosen apa? Warung pinggir jalan kan juga enak,” imbuhnya.
“Iya, iya. Mbak juga udah lama nggak makan mie ayam.”
Andi menghentikan motornya begitu mereka sudah sampai di tempat tujuan. Keduanya duduk saling berhadapan.
***
Hai, terima kasih sudah bersedia membaca sampai di part ini. Saya tidak hanya menulis di sini, silakan kunjungi Instagram saya di @ummy_wachida_
Di sana, tertera judul cerita dan platform tempat di mana saya membuat karya lainnya. Terima kasih ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
nuna❤️
masyaAllah bgt punya kk ipar kaya Mbak indah ❤️ ❤️❤️
2023-03-26
0
Shellia
ya ampun baiknya mbk Indah kek kakak iparku
2021-07-08
0
Nur jee.
di bab ini nama Afsal semua thor nulisnya gk ada nama Fahad hehee
2020-08-09
2