Keesokannya, Nayla kembali bekerja seperti biasa. Hari Minggu, restaurant sudah pasti ramai oleh pelanggan. Ia bahkan tidak sempat memegang ponselnya—sekedar melihat apakah ada pesan masuk. Saat jam istirahat, Nayla hanya makan dan menunaikan kewajibannya, salat lima waktu.
Waktu pulang sudah tiba, Nayla sudah berdiri di depan restaurant. Di raihnya benda pipih di dalam tas selempangnya yang sejak pagi tidak ia sentuh sama sekali. Mata Nayla membulat dengan sempurna, ia berseru marah sekaligus terkejut begitu membaca pesan dari pria India itu, Fahad.
“Hah?! Fahad, kamu ngapain, sih?!”
Doni, salah satu teman Nayla ... mendekat dan mengapa Nayla yang terlihat kebingungan. “Nay, ada apa? Kenapa kamu kelihatan bingung?" tanyanya.
“Eh! Enggak, Don, aku pamit pulang duluan.” Nayla mempercepat langkah kakinya, berjalan menjauh dari area restaurant.
Kedua alis tebal milik Doni saling bertaut, “ada apa sama, Nayla?” tanyanya pada diri sendiri.
***
Nayla sudah duduk di dalam taksi online yang ia pesan untuk mengantarnya ke bandara. Sesampainya di bandara, Nayla mengedarkan pandangannya—mencari pria yang ingin sekali ia maki-maki.
Perlahan, Nayla mendekati pria yang tengah duduk di kursi ruang tunggu, memangku komputer lipat.
“Fahad?” panggil Nayla lirih, ia belum terlalu dekat dengan pria itu. Nayla semakin mendekat, kembali memanggil nama pria berhidung mancung, berkulit putih bersih itu. “Fahad?”
Fahad menoleh, tersenyum. Ia meletakkan laptop miliknya ke kursi, lalu berjalan mendekati Nayla. Tanpa permisi, tanpa salam, Fahad berhambur mendekap tubuh Nayla dengan erat. “Akhirnya kamu datang.”
Nayla terkejut oleh pelukan Fahad. Berulang kali ia mencoba melepaskan pelukannya, namun percuma ... dekapan tubuh Fahad membuat ia tak bisa berkutik sedikitpun.
“Aaww!” pekik Fahad. Cubitan yang di daratkan Nayla pada perut pria berbrewok tipis itu berhasil membuat pelukan itu terlepas.
“Pergi, kembali ke negaramu! Sekarang!” seru Nayla.
Fahad menghela napas panjang, ia meraih pergelangan tangan Nayla. Namun, gadis berhijab cokelat itu segera menepisnya. “Jangan pegang-pegang!” kata Nayla.
“Nayla, kita duduk dulu, aku mau bicara sebentar.”
Satu tangan Fahad ia ulurkan, mempersilahkan Nayla untuk duduk. Nayla memejamkan matanya sekejap, menarik napas panjang, lalu menuruti permintaan Fahad, ia duduk.
Fahad menyusul Nayla, ia juga duduk di sampingnya.
“Nayla, aku nggak mau kembali ke India sebelum kamu mengatakan, iya. Aku nggak peduli tentang apapun, aku cuma tahu, aku mencintaimu,” ucap Fahad yang hendak memegang kepala Nayla dan langsung di tepis oleh gadis itu.
“Jangan pegang!” serunya.
“Oke, maaf.”
Nayla diam, ia bingung apa yang akan ia lakukan. Tak lama, seorang petugas keamanan menghampiri mereka dan berkata, “permisi, Mbak, Mister ini udah lama menunggu. Dia udah dateng jauh-jauh, Mbak, kasihan kalau di tolak.”
“Hah?” Nayla di buat melongo oleh ucapan petugas tersebut.
Mister-mister. Di kira Mister Tukul jalan-jalan apa?
Lagian, ini Mas petugasnya, di ceritain apa coba sama Fahad, sampai bilang gitu ke aku. Batin Nayla.
“Oh, iya, Mbak, Mister Fahad belum makan sejak datang tadi, katanya dia mau makan sama, Mbak,” sambung petugas tersebut.
“Kenapa panggilnya Mister, sih? Geli, Mas, dengernya,” kata Nayla pada petugas.
“Iya, Mister, masa saya mau panggil dia ‘Mas’ sih, Mbak? Kan lucu,” jawabnya.
“Terserahlah.”
Nayla merasa iba melihat Fahad yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah berada di bandara—yang ternyata belum memakan apapun. Nayla mengalah, hatinya pun luluh lalu ia mengajak Fahad ke sebuah hotel yang tidak jauh dari rumahnya.
Hari ini, biar dia beristirahat dulu, besok aku akan menyuruhnya segera kembali ke India.
***
Sampai di hotel, Fahad menentukan sendiri seperti apa kamar yang ia inginkan. Setelah lock card ia terima, Fahad mengajak Nayla untuk ikut bersamanya menuju kamar.
“Ayo,” ajaknya. Tangannya hendak meraih tangan Nayla.
Nayla menolak, menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh. “Aku nunggu di sini aja, habis itu kita pergi ke restaurant untuk makan,” kata Nayla.
“Apa kamu takut? Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu, percaya sama aku, Sayang,” tutur Faha yang membuat Nayla melotot ke arahnya.
“Sayang?! Jangan gila,” seru Nayla. “Panggil namaku, jangan panggil sayang seperti itu.”
“Kenapa? Aku memang mencintaimu dan menyayangimu.”
“Fahad, stop!”
Fahad terus memohon, hingga Nayla mengatakan ‘iya’, untuk ikut ke kamar yang sudah di pesan olehnya
Fahad menaruh kopernya di atas kasur, ia membuka koper tersebut, mengeluarkan baju ganti. “Aku mandi cuma sebentar, tunggu di sini dan jangan nyoba buat kabur.” Fahad memberi peringatan yang sebenarnya terdengar bagaikan sebuah perintah di telinga Nayla.
Nayla tidak menjawab, ia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah—kemanapun asal tidak bersitatap dengan Fahad.
“Oke, Sayang?” tanya Fahad.
“Hemm, Oke,” sahut Nayla tanpa sadar. “Eh. Jangan manggil ‘sayang’, Fahad!” sambung Nayla dengan kesalnya.
Fahad berjalan masuk ke kamar mandi, ia tersenyum bahagia bisa bertemu dengan Nayla, akhirnya.
Sembari menunggu Fahad mandi, Nayla mengirim pesan pada Andi, adiknya.
“Andi, Mbak masih ada urusan. Kamu di rumah aja, ya? Jangan kemana-mana, jangan lupa makan. Oh, iya, minta tolong sekalian angkat jemuran, ya? Udah mendung ini.”
Tak butuh waktu lama, Andi segera membalas pesan Nayla. “Iya, Mbak, jemuran udah Andi angkat dari tadi. Mbak, di mana? pulang jam berapa? biar Andi jemput.”
“Mbak di rumah temen, Ndi, nggak usah di jemput, Mbak nanti naik ojek aja pulangnya, makasih udah di angkat jemurannya.”
“Iya. Mbak, hati-hati.”
“Iya, Ndi.”
Ada perasaan takut, takut jika Fahad akan melakukan sesuatu di luar dugaan. Bagaimanapun juga, Fahad adalah pria asing yang baru ia kenal—lebih tepatnya, mereka baru saja bertemu. Akan tetapi, Nayla tidak bisa egois dan jahat. Ia merasa harus menemani Fahad untuk saat ini. Sebab pria itu belum tahu daerah Kota Jakarta dengan baik. Sebagai tuan rumah, tentu Nayla harus bersikap baik pada Fahad.
Nayla menyingkirkan pikiran jahat yang berlarian di benaknya. Pikiran bahwa Fahad adalah pria yang tidak baik, pria yang suka memanfaatkan seorang wanita. Sudah tentu Nayla berpikiran seperti itu. Hanya berdua, di dalam kamar hotel. Tidak baik memang, tapi kembali lagi ... Nayla bukan wanita dengan hati yang tega, ia memutuskan untuk tetap bersama Fahad—saat ini—bukan berarti ia adalah wanita gampangan, ia akan tetap berhati-hati dan menjaga diri.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Putri Nunggal
wah wah nekad juga ya tu cowok, kalau dah kepincut mah sejauh apapun tetap dilewati
2022-08-24
0
Shellia
lanjut
2021-07-07
1
Teh Ai..
ko jd fahad sih...bukan ny afsal ya
udh 3x baca gk bosen
cuma kagok ka dr afsal jd fahad😁😁
2020-08-28
1