Tak perlu menunggu jam empat untuk permisi pulang lebih cepat. Setelah jam makan siang selesai, Dhatu segera menghampiri meja Mira lalu meminta izin pulang. Wanita itu menceramahi Dhatu selama beberapa menit, namun kali ini Dhatu tak mau menyerah dari perdebatan dan nada sinis wanita itu. Sejak melihat pemandangan menyesakkan dada, mendadak ia kehilangan semangat bekerja. Ingin meringkuk di tempat tidur dan mengasihani diri sendiri tanpa seorang pun mengetahui lukanya. Hanya kamarnya lah tempat ternyaman di rumah yang ia tempati sekarang dan ia ingin kembali ke sana.
Dhatu segera melempar diri ke kasur begitu tiba di rumah. Ia menatap kosong langit-langit kamar. Ada rasa iri yang sedari tadi tak mau pergi dari hatinya. Betapa beruntung orang yang dicintai Dirga. Mendapatkan semua kelembutan dan juga perhatian yang tak malu-malu lelaki itu tunjukkan di tempat umum. Saat melihat keduanya Dhatu hanya bisa menyembunyikan diri selayaknya bayangan yang selalu berada di belakang Si pemilik. Tak berani menampakkan diri, bahkan tak mau berbicara sedikit kencang agar lelaki itu tak mengetahui keberadaannya. Sungguh, semua ini melelahkan.
Dhatu memejamkan mata, mencoba mengusir lelah pada hati, namun suara pintu yang dibuka kasar mengejutkannya. Ia berpikir sesaat, lalu berjalan ke arah pintu, dan membukanya pelan-pelan. Di sana, ia melihat sepasang anak manusia yang berciuman penuh nafsu. Dengan cepat, Dhatu menutup pintu kamarnya kembali secara perlahan agar tak ada yang mengetahui keberadaannya. Dhatu menutup mulut dengan kedua tangannya. Tak percaya, jika lelaki itu berani membawa wanita lain ke rumah mereka dan melakukan hal yang tak seharusnya. Ia tak cemburu, hanya saja ingin dihormati sedikit saja.
Ah ... siapa dirinya hingga pantas mendapatkan rasa hormat lelaki itu? Nyatanya, dirinya bukanlah siapa-siapa yang harus dianggap penting. Kaki Dhatu lemas, ia terkulai di lantai, air mata kembali membasahi pipi. Sejak awal pernikahan hingga detik ini, hanya tangis yang mewarnai harinya. Mungkinkah, ini saatnya untuk menyerah daripada terus-terusan merusak hati dengan kebencian dan juga luka.
Lama Dhatu bersembunyi dalam kamar, hingga tertidur di lantai yang dingin. Ia menggeliat dan rasa sakit menyiksa sekujur tubuhnya. Dhatu menatap jam dinding dan terkejut saat sadar jam sudah menunjuk ke angka empat. Yang artinya, sebentar lagi mertuanya akan datang. Dhatu segera berlari ke lemari, lalu menepuk pelan kening. Ia lupa, jika pakaiannya sudah tak ada lagi di sana. Ia harus pergi ke lantai atas dan membersihkan diri. Dhatu ragu memutar knop pintu. Takut-takut pemandangan yang sama akan ditemuinya ketika pintu terbuka.
Dhatu menggeleng. Masa bodoh! Ia harus bersiap daripada lelaki itu semakin marah dengannya. Dhatu menutup mata, lalu cepat-cepat membuka pintu kamarnya. Sedetik, dua detik, lalu detik ketiga ia memberanikan diri untuk membuka mata perlahan. Ia tersenyum lega saat tak menemukan siapapun di sana. Berarti keadaan sudah aman dan ia harus bergegas. Masih banyak yang harus ia lakukan. Setidaknya, ia harus menyiapkan makan malam untuk ibu mertuanya. Biarlah Dirga tak mau memakannya, tetapi ia tak bisa memperlihatkan kehampaan rumah tangga mereka pada wanita paruh baya yang akan berkunjung.
Dhatu segera berlari menaiki anak tangga dan membuka pintu kamar lelaki itu. Dhatu terperanjat dan segera membalikkan tubuh saat melihat Dirga sudah berada di kamar denga tubuh setengah telanjang. Hanya handuk putih yang membalut tubuh bagian bawahnya. Ia pikir, lelaki itu tak di rumah.
"Biasakan ketuk kamar orang saat mau masuk. Jangan nerobos gitu aja. Kamu harus tau batasanmu."
Dhatu berdesis sebal. Siapa yang tak tau batasannya? Justru lelaki itu yang telang melanggar semua batasan yang ada.
"Maaf, aku pikir, kamu belum pulang," ucap Dhatu tanpa menoleh ke arah lelaki itu. Dhatu sedang tak ingin bertengkar hari ini, hingga mengalah adalah solusi yang dipilihnya.
"Jangan banyak berpikir kalau nyatanya nggak ada satupun dari pikiranmu yang bisa diandalkan."
Lelaki itu berjalan melewati tubuh Dhatu dan berdiri di ambang pintu. "Mandi dan bersiaplah."
Dhatu mengangguk walau lelaki itu tak bisa melihatnya, sedang Dirga segera pergi keluar dari kamar. Dengan cepat Dhatu membuka lemari dan mematung saat melihat pakaiannya yang bersanding mesra dengan pakaian lelaki itu. Terlihat seperti lemari milik suami istri sungguhan. Sekilas, terasa bagai rumah walau semuanya hanya kesemuan belaka. Dhatu tersenyum miris, lalu segera mengambil pakaian yang dibutuhkanya. Ia tak mau lagi berpikir.
Menit demi menit berlalu. Dirinya sudah terlihat cantik dengan gaun selutut dengan motif bunga di bagian rok dan juga make up natural, yang membuat wajahnya tampak segar. Sesungguhnya, Dhatu tak ingin berhias, namun matanya tampak sembab karna tangisannya tadi dan ia tak mau membuka aib rumah tangga, walau kepada mertuanya sendiri. Biarlah semuanya berpikir, mereka hidup bahagia bagai cerita dongeng pengantar tidur yang kerap menjadikan pernikahan sebagai akhir bahagia bagi sebuah kisah cinta. Padahal, semua itu hanya omong kosong belaka.
Dhatu terpaku saat melihat makanan sudah diisi dengan berbagai macam lauk pauk yang tampak menggiurkan. Ia berjalan ke arah meja makan dan mengamati beberapa jenis makanan yang sudah tersaji di sana.
"Aku udah membeli makanan, biar nggak malu menyambut mama. Kamu lelet banget. Mandi berapa jam pun nggak guna kalau penampilanmu masih sama saja."
Suara lelaki itu datang dari belakang punggungnya. Dhatu tak mampu menahan diri lagi, ia membalik tubuh dan menatap lelaki itu penuh amarah.
"Lebih baik kamu diam saja, daripada nggak ada satupun kata-kata baik yang keluar dari mulutmu itu!"
"Apa ada satu hal yang di dirimu yang bisa membuat kata-kata baik keluar dari mulutku?" Dirga tersenyum mengejek, "beraktinglah dengan baik dan mungkin saja, aku akan mengucapkan hal baik padamu."
Keduanya saling menatap dalam diam, amarah menguasai hati Dhatu, namun ada sekelebat pedih yang menghamtam jantungnya. Suara bel rumah, segera membuat Dhatu pergi menuju pintu, namun secara tiba-tiba Dirga mencegahnya. Ia melingkarkan tangan Dhatu pada lengannya, lalu berjalan bersama menuju pintu rumah.
Wanita paruh baya itu tersenyum saat melihat keduanya yang tampak mesra. Dhatu segera memeluk tubuh wanita itu dan menanyakan kabar, begitupun dengan Dirga. Wanita itu tersenyum sembari menatap keduanya secara bergantian.
"Ternyata, kalian udah akur banget. Mama jadi lega dan nggak khawatir lagi."
Dhatu memeluk lengan wanita itu dan tersenyum manis. "Nggak usah dikhawatirin, Ma. Mas Dirga baik banget sama aku."
Wanita itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya dan memukul pelan lengan Dirga. "Tuh kan ... Mama udah bilang, Dhatu itu anak yang baik, kamu sangat beruntung mendapatkannya. Untung kamu nurut."
Dirga hanya tersenyum tipis, sedetik kemudian Dhatu menggandeng mertuanya masuk ke rumah mereka dan menanyakan kabar ayah mertuanya. Keduanya bercerita asyik, bagai sepasang anak dan ibu kandung. Pemandangan itu membuat Dirga terpaku. Saat dikenalkan pada Kana, justru ibunya terlihat kaku dan tak mau sedikit pun membuka diri, namun mengapa tidak seperti itu saat bersama Dhatu? Sungguh tidak adil dan ia membenci Dhatu dengan sepenuh hatinya. Wanita itulah alasan kehancuran dunianya dan ia akan membua wanita itu menyesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Upik Yupi
jangan salahin dhatu kasian
2021-12-13
0
RINA ARI
ko aku jd kesel yah ,,,ngliat tingkah si dirga thoooorr....maaf yah thort.
2021-08-22
1
Mama'nya Nahda Nahla
kau yg akan menyesal kampret
2021-07-11
0