Pagi-pagi sekali, Dhatu sudah menyelesaikan pekerjaannya sebagai istri oleh pria yang tak menganggapnya demikian. Dhatu menatap sepiring nasi goreng dengan telur dadar di atasnya dengan sedih karna yakin jika makanan itu pun tak mungkin disentuh lagi. Ia tak mau bersusah payah menyiapkan makan siang lagi. Toh, ujung-ujungnya dirinya lah yang harus menghabiskan makanan yang tak dibawa lelaki itu. Dhatu menyantap sarapannya seorang diri, menikmati kesunyian yang biasa menemaninya.
Suara langkah kaki menuruni anak tangga, membuat Dhatu cepat-cepat menghabiskan makanannya. Sekilas ia melirik jam yang melingkar di tangannya. Jarum pendek menunjuk ke angka enam. Dhatu tak bisa menyembunyikan kebingungannya. Bukan dirinya yang terlalu siang berangkat kerja, namun lelaki itu yang kepagian.
Dhatu mengakhiri perdebatan mereka tadi malam dengan penuh drama. Dhatu berteriak histeris, mendekati lelaki itu, dan menatapnya menantang. "Jika tau semua itu sulit. Lalu bagaimana denganku!" Dhatu segera pergi dengan dramatis saat meneriakkan kata-kata yang mengganjal di hati.
Sungguh lelaki itu tak mengetahui apa pun. Bahkan tak ingin mencari tau. Ia hanya mementingkan diri sendiri, hingga tak dapat melihat luka yang ditorehkannya pada hati orang lain. Egois!
Dhatu segera membersihkan piring kotornya dan hendak meninggalkan meja makan, namun lelaki yang kini sudah duduk pada kursi di balik meja persegi itu mencegahnya dengan memanggilnya dengan sebutan. "Hei!"
Dhatu hanya mematung dan tak membalikkan badan karna merasa tak suka dengan panggilan lelaki itu. Hubungan mereka memang hanya sebatas orang asing, namun lelaki itu mengetahui namanya. Jika memang lelaki itu mendadak amnesia, ia masih bisa melihat namanya di surat nikah mereka. Semudah itu.
Saat Dhatu hendak melanjutkan langkah, lelaki itu kembali memanggilnya, namun kali ini namanya lah yang disebut. "Dhatu."
Dhatu membalik tubuh dan menatap lelaki itu penuh tanya. "Mau apa lagi?"
"Duduklah. Bukankah seharusnya, istri menemani suaminya sarapan?"
Dhatu mematung di tempatnya berdiri. Apa teriakannya tadi malah telah merusak salah satu kabel yang ada di otak lelaki itu? Atau ini cara lelaki itu untuk memulai pertikaian baru di antara mereka? Dengan ragu, Dhatu berjalan mendekat dan duduk di hadapan lelaki itu.
"Ini nggak beracun, 'kan?" tanya Dirga sembari mengacak-acak nasi goreng di hadapannya.
"Aku masukkan racun tikus terbaik di negeri ini."
Dirga menyingkirkan makanan di hadapannya, sedang Dhatu memutar mata. Orang tidak waras mana yang akan percaya pada kata-katanya barusan? Dhatu tak peduli dan membiarkan apa pun yang lelaki itu ingin lakukan. Lelaki itu melipat tangan di meja dan menatap Dhatu dengan tatapan mengintimidasi.
"Mama akan menginap di sini selama seminggu. Mau mengobservasi katanya," ucap Dirga datar.
Dhatu tersenyum miris. Pantas saja lelaki itu bersikap tak normal hari ini. Ternyata, ada alasan di balik sikap lelaki itu. Dhatu tersenyum miris. Apa yang diharapkannya? Lelaki itu berubah baik dalam semalam? Entah mengapa walau sesaat Dhatu sempat berpikir jika lelaki itu mau berdamai dengannya.
"Lalu apa kaitannya denganku?"
"Bawa pakaianmu ke kamarku karna Mama akan menempati kamarmu yang sekarang. Mama akan datang sore setelah kita pulang kerja. Aku harap, kamu nggak kelayapan nggak jelas lagi hari ini. Oh ya, jangan harap aku mau pulang bersamamu. Pulang sebelum jam lima, izin dengan atasanmu, agar kita nggak perlu berpura-pura pulang bersama. Membayangkannya saja, membuatku merasa jijik."
Andai saja, lelaki itu tau caranya tak membuka mulut, maka mereka akan hidup damai sebagai orang asing. Entah mengapa lelaki itu selalu berusaha membuat hidupnya semakin susah. Tak bisakah lelaki itu tak mengatakan hal yang menyakitkan? Tak perlu berkata manis. Setidaknya, jangan mengucapkan kata yang akan menambah luka di hatinya yang rapuh.
"Hanya itu yang kamu mau?"
Dirga mengangguk, lalu segera berdiri dan meninggalkan Dhatu sendiri di meja makan yang kembali kosong. Jantung Dhatu kembali serasa diremas. Sampai kapan ia harus menahan perih yang diciptakan lelaki itu?
Dhatu tak ingin terus tenggelam dalam kesedihannya. Ia berdiri dan menutup kembali makanan yang hanya dijadikan alasan untuk memerintah Dhatu. Memberitahu semua keinginannya, lalu pergi begitu saja bagai orang tak berdosa. Dirga boleh membencinya, mengabaikannya, namun tak bisakah sedikit saja lelaki itu menghargai usahanya dan tak lagi membuang makanan hanya karna tak suka pada dirinya?
Menit demi menit telah berlalu, Dhatu menatap kamar yang tadi ditempatinya dan memastikan tak ada satupun barangnya yang tertinggal di sana. Ia tak mau mertua ataupun keluarganya menyadari ketidakakuran di antara dirinya dengan Dirga. Ia ingin menjaga hati orang-orang yang disayanginya, walau harga yang harus dibayarnya cukup mahal, menghancurkan hati sendiri. Tak mengapa membunuh hati yang memang sudah lama mati. Toh, tak 'kan ada yang peduli bagaimana perasaan dan apa keinginannya.
***
Dhatu tak bergeming di tempatnya berdiri. Hatinya kembali disayat-sayat ketika melihat pemandangan di depan matanya. Tak seharusnya, ia menerima ajakan Rina untuk makan siang di cafe seberang kantor karna terlalu malas membawa bekal. Seharusnya, ia tetap menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri walau tak membuatkannya untuk Dirga. Dhatu harus belajar memikirkan diri sendiri, berusaha belajar seperti lelaki egois yang tengah tertawa bahagia bersama seorang wanita di depannya.
"Dia CEO baru kita kan, Tu?"
Pertanyaan Rina membawa Dhatu kembali ke alam nyata. Dhatu mengarahkan pandangan ke arah lain, mencoba mengabaikan lelaki yang telah membuat hidupnya kacau.
"Kayaknya ke Kang soto yang tempat biasa aja yuk, Rin!"
Rina menggeleng tak setuju. "Kita baru gajian, Tu. Sekali-kali makan enak lah."
Rina segera menarik tangan Dhatu sebelum sahabatnya itu berubah pikiran. Ia mengajak Dhatu duduk di samping jendela dan memanggil pramusaji. Dhatu tak bisa lagi menghindar. Yang ia inginkan, hanyalah setengah hari tanpa rasa sakit yang menyiksa. Jika meminta satu hari mungkin terlalu sulit, maka setengah hari saja bisa ia dapatkan kedamaian hati, maka ia akan merasa sangat beruntung.
"Perhatiin deh, Tu. Beneran itu pak Dirga CEO baru kita, 'kan?" Rina seakan belum merasa puas karna pertanyaannya tadi belum dijawab oleh Dhatu.
"Sepertinya," ucap Dhatu tersenyum tipis.
"Yang bersamanya itu pasti pacarnya. Orang-orang kantor pasti pada kecewa karna idola mereka ternyata nggak jomlo." kekehan Rina tak mampu memperbaiki perasaan Dhatu yang kacau.
Andai Dhatu bisa mengungkapkan jika lekaki itu adalah suaminya, maka dirinya tak 'kan tersiksa seperti sekarang. Lagi-lagi, Dhatu hanya bisa tersenyum guna menutupi rasa menyiksa yang memenuhi hati.
Rina menumpukan tangan di meja, lalu meletakkan dagunya di sana dan menatap iri sepasang manusia yang duduk di seberang meja yang mereka tempati, sedang Dhatu tak mau bersusah payah menoleh ke arah yang sama.
"Seneng banget yang bisa jadi pasangan Pak Dirga ya, Tu? Lihat mata dan senyum lembutnya. Seperti semua itu ditujukan hanya kepada satu wanita. Padahal, di kantor dia selalu bersikap dingin, tapi lihat dia sekarang, dia terlihat seperti lelaki normal lainnya yang sedang dimabuk cinta."
Perkataan Rina membuat pedih menguasai hati Dhatu, sakit yang tercipta membuat dadanya sesak. Mengapa hatinya bisa sesakit ini? Harusnya , Dhatu mempersiapkan diri dengan keadaan ini. Selamanya, dirinya hanyalah bayangan. Tak boleh diketahui keberadaannya, tak boleh terlihat, dan tak punya hak untuk mengakui hubungan di antara mereka. Ya ... hanya bayang-bayang yang tak perlu dicari tau keberadaannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Amalia Elfishy
aq suka karakter bianca.. krn dia lbh kuat drpd skala sang suami 😆
2021-08-10
0
Mama VinKa
Dhatu gemes g ush skt ht lah cuek gt lo kok jd gemes sndr aq tuh
2021-07-25
0
zz
datunya terlalu lemah thor
2021-07-15
0