Dhatu berlari sekencangnya menuju rungan, ia sudah terlambat karna motor yang mogok. Salahkan saja dirinya yang teledor dan tak mengecek bensin yang sudah berada di garis merah. Tatapan tajam diterima Dhatu begitu ia membuka pintu kaca ruangannya. Dhatu tersenyum sembari mengangguk pelan, lalu berjalan pelan-pelan ke mejanya.
"Ini udah kedua kalinya kamu terlambat, Tu."
Suara itu milik Mira, supervisor yang mengawasinya. Dhatu tersenyum kikuk, lalu mengintip melalui layar komputer. "Maaf, Mbak. Saya yang salah, Besok janji nggak telat lagi."
Mira berdecak sebal, tanpa merespon ia kembali memfokuskan pandangan pada layar komputer di depannya. Dhatu meringis dibuatnya. Tepukan pada lengan membuat Dhatu menoleh ke samping, Krisna tersenyum padanya dan berbisik pelan; "Nggak usah dimasukin hati. Dia nggak dapat jatah dari suaminya."
Perkataan lelaki itu mampu membuat senyum menghiasi wajah Dhatu. Dhatu mengangguk, lalu mengucapkan terimakasih tanpa suara. Lelaki itu mengacungkan kedua jempol sebelum mengembalikan fokusnya pada layar komputer, Dhatu melakukan hal yang sama. Ia harus segera memulai pekerjaan yang tertunda.
Sesungguhnya, bekerja sebagai kustomer servis di perusahaan elektronik bukanlah hal yang sulit. Bagian terberatnya adalah saat harus menerima komplain berat dari konsumen yang belum mendapatkan kunjungan servis, ataupun produk yang rusak berulang kali.
Dhatu menikmati pekerjaannya. Yang ia lakukan hanya mengangkat telpon, menerima keluhan, mendata, dan juga membuat laporan harian. Lagipula, upah yang diterimanya tiap bulan cukup lumayan. Akan tetapi, Mira kerap menekan dan berusaha mencari kesalahannya. Jika tak membutuhkan uang untuk menyambung hidup, sejak lama Dhatu memilih hengkang dari perusahaan.
Menit demi menit berlalu, kini Krisna dan Dhatu menghabiskan waktu di rooftop kantor, menikmati makan siang sederhana sembari berbagi cerita. Seniornya itu baik, namun Dhatu tak ingin terjebak dalam rasa yang salah, ia tahu benar jika Krisna memang baik pada semua orang. Sejak awal perkenalan, Dhatu sudah memasukkan nama Krisna ke dalam daftar hitam pria yang akan dinikahinya nanti. Bukan karna lelaki itu playboy, hanya saja terlalu baik, dan kerap membuat orang salah paham.
"Gimana keadaan Mama kamu, Tu?"
Dhatu menghentikan suapannya. "Baik, Mas."
"Masih dirawat di rumah sakit, Tu?"
Dhatu mengangguk lemah. "Masih, Mas. Aku mau ambil cuti juga takut nggak disetujui Mbak Mira. Makanya aku lebih memilih datang telat. Kewalahan aku, Mas."
Krisna mengangguk-angguk mengerti. "Nggak usah dipaksain, Tu. Lebih baik ajuin cuti, daripada dinyinyirin terus-terusan."
Dhatu tampak berpikir sesaat. Namun hal itu tak mudah. Mengingat bagian mereka kekurangan orang karna pemecatan massal yang terjadi. Mira orang yang berambisi dan lebih baik menginjak bawahan demi mendapatkan penilaian yang baik.
"Kayaknya, nggak dulu, Mas."
"Kalau butuh sesuatu, jangan segan-segan ya, Tu."
Dhatu mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Wanita mana yang tak 'kan salah paham jika lelaki itu sangat baik, bukan? Hati wanita lemah dan mudah terjebak dalam kebaikan yang diterima, Dhatu tak menyangkal jika sulit rasanya untuk tak menyukai Krisna yang baik hati yang berwajah manis.
***
Dhatu memotong apel, lalu mengulurkannya pada ibunya yang terbaring lemah. Inilah kegiatan baru Dhatu, menjaga ibunya hingga malam, lalu ayahnya akan datang dan menggantikan dirinya. Dhatu adalah anak satu-satunya, hingga tak bisa mengharapkan orang lain untuk bergantian menjaga ibunya yang tengah sakit tipes.
"Tu ... Mama ada permintaan."
"Akan ku kabulkan tiga permintaan," ucap Dhatu tersenyum lebar sembari membuat angka tiga dengan jarinya. Ibu wanita itu tertawa melihat puterinya yang periang dan suka berkelakar.
"Mama serius, Tu."
Dhatu meletakkan sisa apel di tangannya ke meja sebelah ranjang rumah sakit, lalu menatap ibunya lekat-lekat. "Mau apa, Ma? Lagi pengen makan sesuatu ya? Bilang aja, pasti Dhatu kabulin. Kalau masalah mengabulkan permintaan Jin Dhatu jagonya."
Lagi-lagi tawa wanita itu pecah. Dhatu tersenyum senang melihat ibunya yang sudah tampak membaik. Wanita itu menggenggam tangan Dhatu dan menatap ke dalam manik matanya, membuat rasa cemas mulai merasuki relung hati Dhatu. Apa ini tentang penyakit, Mama?
"Tunggu dulu, Ma. Apa mama bukan sakit tipes? Ada sesuatu yang harus Dhatu ketahui?" Dhatu tak mampu menyembunyikan getara pada nada suaranya.
Wanita paruh baya itu tertawa kecil."Kamu kebanyakan nonton sinetron."
Dhatu menggeleng. "Sinetron azab, Ma."
Keduanya kembali tertawa. "Kayaknya, susah banget buat kamu serius."
"Mama mau minta apa?" kali ini Dhatu berusaha serius mendengarkan permintaan ibunya.
Dian—ibu kandung Dhatu—mengeratkan genggaman tangannya. "Mama mau kamu menikah."
Dhatu terdiam, lalu tawanya pecah. "Mama lagi kena sindrom lelah ditanyain kapan anaknya nikah, ya?"
Dian mencubit hidung mancung Dhatu dengan gemas. "Mama serius."
Tawa Dhatu sirna melihat kesungguhan di dalam mata ibunya. "Jangan bercanda, Ma. Calon aja nggak punya, gimana bisa nikah?"
Dian menggeleng. "Mama ada calonnya."
Dhatu membelakkan kedua mata dan mulutnya terbuka dengan tak anggun. "Mama mau jodohin Dhatu?"
Dian mengangguk antusias. "Ingat Om Sanjaya?"
Dhatu mengangguk pelan. Lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan di usia senjanya, siapa yang tak mengingat lelaki itu. Apalagi Sanjaya kerap berkunjung ke rumah mereka dan menghadiahinya banyak barang. Tentu saja, Dhatu menolak, namun bukan Sanjaya namanya jika tak bisa membuat Dhatu menerima pemberian lelaki itu dengan semua cerita sedih yang entah benar atau hanya karangan semata. Dhatu cocok dengan lelaki humoris itu dan suasana menghangat jika keduanya tengah bercerita. Sanjaya adalah ayah keduanya.
"Ya, ingetlah."
Dian tersenyum puas. "Bagus." wanita itu mengusap lembut wajah Dhatu, "Mama pernah berjanji akan memberikanmu sebagai menantunya dan sekarang dia menagih janji itu."
Jantung Dhatu hampir saja lepas dari tempatnya saat mendengarkan perkataan wanita itu barusan, namun Dhatu berusaha menghibur dirinya sendiri dengan tawa garing. "Bercandanya nggak lucu, Ma."
Dian menggeleng. "Mama serius."
Keheningan menenggelamkan keduanya. Jantung Dhatu seakan lepas dari tempatnya. "Aku bahkan nggak pernah bertemu dengan anak Om Sanjaya. Gimana bisa mama meminta kami menikah?" Dhatu melepaskan genggaman tangan wanita itu dan menatap ibunya nanar.
Amarahnya memuncak dan ia kesal bukan main. Zaman sudah maju, namun mengapa ibunya masih mau menjodohkannya. Terlebih lagi, ia tak mengenal dan belum pernah bertemu dengan lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu. Mereka tak saling mencintai. Bukankah cinta adalah harga mati untuk memulai sebuah hubungan? Semua ini tak terasa benar.
"Mama dan papa pernah berjanji pada Om Sanjaya untuk menyerahkanmu sebagai menantu mereka. Kamu tahu sendiri kalau keluarga mereka sudah banyak membantu kita. Kamu bisa kerja di perusahaan sekarang dan langsung jadi karyawan tetap juga berkat Om Sanjaya, 'kan?"
Dhatu menatap ibunya sendu. Ia tahu benar jika keluarga mereka sudah menerima banyak kebaikan dari Sanjaya, termasuk dirinya sendiri. Akan tetapi, semua itu bukan alasan untuk memaksa dua orang asing hidup bersama. Bagaimana bisa mengikat janji pada orang yang sama sekali tak ia kenal?
"Pilihan ada ditanganmu, tapi mama mau kamu tahu. Kerhormatan kami juga ada di dalam genggamanmu, Dhatu."
Hidup memang selalu dihadapi dengan banyak pilihan, namun bukan hal ini yang Dhatu inginkan untuk menjadi salah satunya. Dhatu menatap ibunya nanar dan keduanya saling berpandangan dalam diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Hendra Setiawan
𝚗𝚖𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚗 𝚍𝚑𝚊𝚝𝚞 𝚗𝚙𝚊 𝚝𝚑𝚘𝚛𝚛
2022-05-15
0
Riski Amelia Riski Amel
visual ny mna torr pgen lihat
2021-07-10
0
Astrid Riyan
org tua gak mkir ankx apakah bisa bahagia dgn prjdhan????andaikn trjdi di dnia nyata,, mndingan bercerai drpda mnghrgai org tua yg msuk ke jlan yg slah.
2021-07-05
0