Langit sudah mulai menggelap. Dia belum juga kembali. Bagaimana keadaan ibunya. Belum 1 hari bertemu. Dia sudah terciprat kesialanku.
Aku berdiri di atas balkon. Membiarkan angin sore membasuh perasaan yang tak nyaman ini. Tatapanku melekat pada pagar utama dengan 4 orang security duduk di sana.
Kapan pagar itu akan dibuka? Kapan dia kembali? Separah apa celaka yang di akibatkan oleh tanganku? Sial, air mataku membludak lagi. Terus kumenahannya. Wajahku sudah cukup kusam akibatnya tadi.
Kau pembawa sial!
Kalimat itu melekat di otakku. Menjadi bumerang yang terus dimainkan dalam pendengaranku.
Siapa yang mau dilahirkan dengan keadaan seperti ini. Apa aku mengemis untuk mendapatkan semuanya. Jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk tidak lahir sama sekali.
Menjalani hidup seperti ini, lebih sulit dari apa pun. Aku ingin kembali ke rumahku yang dulu. Di mana aku tak menjumpai siapa pun. Selain ibu dan ayahku. Aku sudah terbiasa mendengar serapah dari mereka. Tapi, tidak dengan Tuan Raka.
Aku lebih menyukai dia yang tak banyak bicara. Namun, siapa aku? Itu haknya menyampaikan perasaan kesalnya. Bagaimana tidak? Aku mencelakai ibunya. Tapi bukan aku yang mencelakainya! Ibunya yang berusaha mencelakai aku.
Satu mobil berhenti di depan pagar. Pak Ijo membukakan pagar untuknya. Itu Tuan Raka. Aku berlari keluar kamar. Kami bertemu di ruang tamu.
“Ba ..."
“Nanti saja.” Ia memotong kalimatku. Berjalan menaiki tangga.
Bagaimana keadaan ibumu? Itulah yang ingin aku tanyakan.
Baiklah, mungkin dia masih merasa kesal padaku. Aku turut masuk ke dalam kamar. Ia sedang mengganti pakaiannya.
Astaga! Aku belum mandi sore ini. Tak apa, jangan mandi. Aku tak akan membuatnya kesal lagi.
Tuan Raka keluar dari ruang ganti. Kututupi tubuhku dengan selimut. Marahi saja aku Tuan! Jangan perlakukan aku seperti ini! Aku tak menyukai perasaan yang seperti ini!
“Ikutlah denganku!” perintahnya.
Apa? Ikut? Ke mana?
“Apa aku harus mengganti pakaianku, Tuan?” tanyaku.
“Tidak usah!” Ia menyeretku ke luar kamar. Tidak, ke luar rumah. Menyuruhku masuk ke dalam mobil.
Apa lagi sekarang? Apa aku akan diantar ke rumah orang tuaku? Astaga, sudah nasibku menjadi istri pembawa sial.
Di perjalanan. Aku yakin, tak kan ada kesialan yang terjadi padaku jika aku bersama Tuan Raka.
Eh tunggu sebentar. Apa tadi? Apa yang aku katakan? Tidak akan terjadi kesialan jika aku bersama dia?!
Agrh, tidak. Bagaimana dengan berenang di atas meja saat makan bersamanya.
Kalung putus, hingga leher kuterluka.
Neneknya hampir mati karena aku.
Sepatu termahal di dunia rusak di hadapannya.
Terjatuh saat foto prewedding.
Rumahnya hancur karena aku.
Sekarang apa lagi? Ibunya terjatuh dari atas tangga. Aaaa. Kesialan ini memang tak ada obatnya.
“Kita mau ke mana Tuan?”
“Aku akan mengobati kesialanmu itu!” jawabnya.
Apa?! Baru saja aku menyebut kesialan ini tak ada obatnya.
“Kita ke dokter sekarang!” lanjutnya.
“Dokter?! Ini bukan penyakit Tuan!” bantahku. Gila apa dia ini.
“Kita periksa dulu!”
“Periksa apa?! Kutukan tidak bisa dijelaskan secara ilmiah!”
“Biar dokter yang menjelaskannya.”
“Terserah kau saja! Lakukan saja apa yang kau mau, Tuan! Terserah kau!” Untungnya dia sudah tidak marah soal ibunya.
Akhirnya kami sampai di rumah sakit. Tempat di mana nenek dirawat. Tuan Raka membawaku ke sebuah ruangan kecil di sudut rumah sakit. Terdapat pria beruban dengan kacamata di wajahnya, tengah menatap fokus layar komputer.
“Selamat malam, Dok.” Tuan Raka duduk di hadapannya. Aku berdiri termenung. Ia menarik tanganku. Ikut duduk di sampingnya.
“Mas Raka. Ada yang bisa saya bantu?” Dokter itu melepas kacamatanya.
Tuan Raka menghela napasnya berat. Kenapa dia ini? Memangnya aku ini kenapa. Mengidap penyakit stadium akhir?
“Ada yang aneh dengan dia, Dok," ucap Tuan Raka menunjukku. Ya, aku mengangguk saja. Aku sudah mengatakannya tadi. Terserah dia saja.
“Aneh bagaimana?” Dokter mengambil pulpennya. Bersedia mencatat sesuatu.
Baik, baiklah! Beberkan semua keanehanku! Buku tulismu tak kan cukup, Dokter! Setidaknya kau butuh buku setebal Wikipedia. Butuh 7 generasi untuk mencatatnya hingga selesai, ha ha.
Bragg!~ Tuan Raka menggebrak meja. Dokter itu terbelalak. Tersandar di kursinya. “Dia bisa merusak barang apa pun yang ada di sekitarnya, Dok!”
Tuan Raka kembali pada posisinya. “Dia bahkan bisa mencelakai orang hanya dengan sekali tatapan!”
“Maaf Mas Raka. Dalam ilmu kedokteran. Hal yang semacam ini ...”
Bragg!~ Dia mengagetkan dokter itu lagi. Apa sih yang dilakukan orang gila ini. “Dia bisa merusak lampu hanya dengan sekali tatapan! Dia juga bisa merusak televisi hanya dengan berlalu di hadapannya!”
Dokter menghela napasnya, menatapku. Kumiringkan tubuhku membelakangi Tuan Raka. Kugerakkan tanganku seolah berkata ‘jangan dengarkan dia, dia itu sinting!’.
“Saya perlu melihat gejalanya secara langsung.” Apa?! Melihat aku merusak lampu secara langsung?! Yang benar saja.
Mana bisa aku menunjukkan sisi kesialanku pada orang lain. Dia akan muncul secara tiba-tiba.
***
Bagus! Aku di kurung di dalam sebuah ruangan dengan kaca hitam di hadapanku, dan satu lampu tepat di atas kepalaku.
Benar-benar gila! Aaaa. Aku menjadi bahan eksperimen dokter gila itu. Ada apa sih di rumah sakit ini. Kenapa mereka banyak memperkerjakan dokter sinting seperti ini?!
Aku tahu, Dokter dan Tuan Raka sedang memerhatikanku dari balik kaca hitam ini. Tetap saja aku merasa sendirian di sini.
Aku mulai bosan. Menguap, mengupil, berbaring di atas meja, menggaruk kepala. Benar-benar seperti orang gila.
“Sudahlah! Lampu itu tidak akan rusak!” teriakku.
Tuan Raka membuka pintunya. “Kenapa tidak kau tunjukkan?!”
“Dasar bodoh! Dia tidak akan muncul begitu saja!” jawabku.
“Tidak mungkin. Cepat tunjukkan kepada dokter!”
“Sudah kukatakan. Dia tidak akan muncul begitu saja Tuan Raka yang terhormat!”
“Jangan berpura-pura lemah. Cepat tunjukkan!” Ia mendorong lenganku berkali-kali. Sangat memaksa untuk menjadikan kesialanku sebagai tontonan.
“TIDAK BISA!” teriakku.
Bhug!~ Lampu itu seketika meledak. Tuan Raka memelukku dalam kegelapan. Melindungi tubuhku dengan jaket levis yang ia kenakan. Serpihan kaca panas itu jatuh tepat di lengannya. Ia menarikku menjauh dan meringis.
Aku terdiam. Bisa kudengar suara detak jantung yang berdegup sangat kencang dan cepat. Entah itu detak jantungnya atau mungkin detak jantungku.
“Jangan lakukan hal semacam ini!” bisikku. “Kau yang menyuruhku untuk bersikap normal.”
Berat suara embusan napasnya bisa aku rasakan di kepalaku. “Soal ibumu. Dia yang mendorongku. Aku memegang teralis untuk bertahan. Untungnya ibumu tak sesial aku. Jika saja aku yang terjatuh, mungkin aku sudah mati saat ini.”
Cukup lama kami bertahan dengan posisi seperti itu. Untuk pertama kalinya jantung kami bertemu dengan jarak sedekat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
wow... meleduk lagi..😃
2022-01-07
0
Marni Dinarti
lanjut kk, ceritanya seru
2020-08-30
3
Setia Budy
lanjut kak
2020-08-30
1