Lelah sekali aku hari ini. Aku tidur pada jam 9 malam. Ayah dan ibu sudah mengetahui soal pernikahan itu dari Tuan Raka dan Tuan Bima yang mengantarku pulang.
Betapa sialnya hidupku. Aku tidur lebih awal dan terbangun lebih awal. Ayah dan ibu sedang kalang kabut mempersiapkan diri untuk acara pernikahanku yang akan diadakan di rumah sakit. Kerusuhan mereka membuatku terbangun.
“Aku memetik banyak bunga untuk Fauziah mandi. Tubuhnya harus wangi. Dia akan menjadi pengantin hari ini.”
“Tuangkan saja minyak wangi dalam bak mandi.”
“Apa kau bodoh?! Kau ingin putri kita memiliki aroma seperti tukang minyak wangi di hadapan keluarga Tuan Raka?!” Itu suara Ibu.
“Astaga, kenapa para wanita serepot ini hanya untuk sebuah acara.”
Mereka sangat berisik. Aku bangun dan merenggangkan otot-ototku. Menguap dan mengucek mataku. Kulirik jam dinding.
JAM 4 PAGI!
Dasar tidak waras! Mereka bangun sepagi ini hanya untuk bersiap. “Ibu! Berisik sekali!”
“Apa kau sudah bangun?!” teriak ibu.
“Ini masih jam 4 pagi, apa yang kalian lakukan?!”
“Bangunlah! Cepat kemari!”
“Aku masih mengantuk!”
“Cepatlah! Atau kuseret kau ke sini!” Aaa. Berteriak sepagi ini. Bukankah ayam yang membangunkan orang. Malah orang yang membangunkan ayam.
Aku berjalan keluar kamar. Kutatap televisi baru yang terpajang di tempatnya. “Ayah! Apa kau membeli televisi baru?!”
“Itu dari Tuan Raka.”
“Kapan dia mengantarnya?!”
“Saat kau pergi kemarin. Ada orang yang mengantarnya menggunakan mobil. Dia juga mengganti dispenser, kompor, meja, lampu, sofa dan meja makan yang lebih besar.” Dia benar-benar menyogok orang tuaku. Tapi tak apa, sering-seringlah bertingkah seperti ini, Tuan Raka. Kesialanku untukmu adalah membuatmu bangkrut.
Kulihat ada begitu banyak bunga di atas meja. “Apa ini?”
“Gunakan bunga ini saat kau mandi. Tubuhmu akan wangi!”
“Ya, terserah kalian! Kepalaku sakit melihat tingkah kalian berdua!”
“Cepatlah mandi! Aku akan merias wajahmu!”
“Apa, mandi?! Lihat jam ibu! Buaya saja enggan menyentuh air di waktu se-pagi ini!”
“Aku menyuruhmu mandi bukan menjadi buaya!”
“Tapi—"
“Mandi!”
Ya ampun, aku berharap pernikahan ini cepat selesai. Aku sudah muak dengan seisi rumah ini.
Kuhempas langkahku menuju kamar mandi. Selesai mandi, wajahku dirias oleh ibu. Aku duduk di depan cermin besar di kamarnya. Ya, di kamarku tak ada yang semacam ini. Hanya ada cermin gantung.
“Pejamkan matamu!” perintah ibuku saat akan memasangkan benda hitam yang ia sebut eyeliner.
“Aaaaa. Sakit!” Kutepis tangan ibuku membuatnya tergores melintang ke jidatku.
“Aaarghhh! Fau! Kau ini. Lihat itu wajahmu! Tidak bisakah kau diam sebentar saja!” Ibuku memukul pundakku berulang kali.
Kulirik wajahku di cermin. “Ibu! Apa yang ibu lakukan pada wajahku?!”
“Dasar anak sialan! Kau yang memukul tanganku! Akan kulakukan dari awal. Diamlah!”
Memulainya dari awal. Hingga matahari memancarkan kekuatannya dari balik awan. Ibu baru menyelesaikannya.
“Buka matamu!” perintahnya. Kubuka mataku menatap wajahku di cermin besar itu.
“Ibu!” teriakku.
“Apa?!”
“Kenapa aku cantik seperti ini!” Plakk! Ibuku memukul lagi.
“Kau cantik karena aku yang melahirkanmu!” Ibu mengusap rambutku. “Tetapi kau menjadi sial karena, ayahmu!”
“Harusnya aku tak memiliki ayah seperti dia!”
“Benar, harusnya aku menikahi pria lain agar kau tak terlahir seperti ini.”
“Ehkem!” Ayah berdehem di belakang kami. “Apa maksudnya itu?”
“Simpan amarahmu! Kita akan menghadiri pernikahan Fauziah!” Ibu mengeluarkan alat catokan untuk merapikan rambutku. Ya, seumur hidup aku tak pernah menggunakannya.
Ibu menyisir rambutku terlebih dahulu lalu mencatoknya. Tiba-tiba, catokan itu tersendat di ujung rambutku. Ibu menariknya. “Aaaaa. Ibu! Sakit!”
“Apa yang kau lakukan pada rambutnya?!” teriak Ayah ikut panik.
“Aku mencatoknya! Bantu aku melepaskan rambutnya!” Semakin lama, catokan itu semakin panas. Rambutku meleleh karena terbakar.
“Ibu!” teriakku lagi.
“Jangan menangis! Aku sudah bersusah payah merias wajahmu!”
“Rambutku!”
Greeekkk!~
Ayah mengguntingnya. Rambutku yang mulanya panjang menyentuh pinggang. Kini menjadi sedada. “AYAH!”
...***...
Bagus, kami sudah sampai di rumah sakit. Dengan Tuan Bima yang menjemput kami.
Ada 4 orang paruh baya, 2 orang perempuan dan 1 orang penghulu di sana. Aku bisa menebak dengan mudah. Dua pria yang berada di sebelah penghulu adalah ayah dari Tuan Raka dan Tuan Bima yang akan menjadi saksi.
Wanita yang di sebelahnya adalah ibu dari mereka berdua. Sedangkan 2 orang perempuan itu adalah adik Tuan Bima. Karena Tuan Raka adalah putra tunggal.
Pernikahan ini akan dilakukan di hadapan nenek. Ibu duduk di dekatku. Sedangkan ayah duduk di antara aku dan Tuan Raka.
“Bisa kita mulai?” tanya penghulu. Tuan Raka mengangguk.
Apa yang harus aku lakukan? Apa hanya duduk diam saja di sini? Semoga tak terjadi kesialan lain selain rambutku.
Lama mendengar penghulu itu menasihati kami dan memberi tahu segala sesuatu mengenai pernikahan.
Salah seorang wanita antara Ibu Tuan Bima atau Ibu Tuan Raka itu memberikan mas kawin kepada saksi terlebih dahulu. Mataku terbelalak melihat mas kawin yang begitu banyak. Aku bisa kaya dengan sekejap hanya dengan menikahi Tuan Raka.
Akhirnya sampai pada sesi ijab kabul. Tubuhku bergetar. Dadaku secara tiba-tiba merasa tersendat dan sulit untuk bernapas. Aku mencoba untuk tenang. Jangan biarkan rasa gugup ini menjadi kesialan berikutnya.
“Mas kawinnya, 1 rumah lengkap. Perhiasan lengkap dan berlian seberat 58gram," ucap penghulu memberitahukannya pada ayahku. Aku menganga melirik ibu. Ia pun juga sama menganga terkejut mendengar mas kawin itu.
Apa itu berlian setengah ons? Bagai mendapat harta karun di tengah lautan. Semua wanita akan iri denganku.
“Baiklah kita mulai ijab kabulnya.” Penghulu mempersilakan ayah dan Tuan Raka bersalaman. Mereka pun bersalaman dan ayah mengucap ijabnya.
Ayah menarik napas panjang. “Saudara Raka Al Hafiz Dinantara bin Arga Dinantara, Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya bernama Fauziah Sekar Sari binti Sulaiman dengan mas kawin satu unit rumah lengkap, perhiasan lengkap dan berlian 58gram, tunai.”
Kini giliran Tuan Raka yang mengucapkan kabulnya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Fauziah Sekar Sari binti Sulaiman dengan mas kawin tersebut, tunai.” Ia mengencangkan salamnya saat mengucap tunai.
“Bagaimana para saksi?” tanya penghulu di hadapanku.
“Sah! Sah!” jawab kedua saksi.
“Alhamdulillah.” Mereka semua mengucapkannya. Aku terdiam saja dadaku semakin merasa sempit untuk bernapas.
Penghulu meminta kami untuk menandatangani buku nikah. Setelah itu Tuan Raka memasangkan cincin berlian biru yang kemarin kami beli di tanganku. Aku mencium tangannya, layaknya seorang istri. Belum sempat ia mencium keningku. Tiba-tiba pandanganku menghitam. Aku jatuh pingsan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
wew... malah pengsoy..
2022-01-07
0
💕Rose🌷Tine_N@💋
si jubaedah ya...
org mah nikah tuh bahagia..ini mah malah pingsan...ampun ah..
gmn nanti klw malam pertamanya🤣🤣🤣🤣🤣
2021-12-07
2
Nazka Aditya
kunaon atuh fauziah ... make pinsan sagala....😧😧😧
2021-10-16
0