Jam berapa sekarang? Aku tak bisa tidur. Ke mana pria sialan itu? Risau rasanya dengan keadaan tubuh seperti ini.
“Baiklah. Jam 10. Aku harus mengurusi Fauziah sebelum pergi besok.” Tuan Raka membuka pintu kamar. Ia tengah menelepon. Kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. “Dia sedang tidur. Aku ingin kau membantuku mengurusinya," lanjutnya.
Ia duduk di hadapanku. Suaranya terdengar jelas. “Aku tak bisa menyuruh para pelayan mengurusinya," ucapnya.
Siapa yang sedang ia telepon?
“Aku bersyukur dia sakit sekarang,” ucapnya lagi.
Apa?! Pria sialan ini ...
“Apa kau gila? Butuh proses untuk itu semua.”
Proses apa?
“Ini pertama kalinya aku bersama perempuan. Dia lebih cerewet dari nenek.”
“Apa? Sudahlah, jangan bahas mereka.”
Siapa?
“Aku tak memberitahu mereka soal pernikahan ini. Setelah aku pikir-pikir ... Mungkin lebih baik mereka tak mengetahuinya.”
Siapa yang tak tahu mengenai pernikahan ini? Apa dia memiliki wanita lain atau semacamnya? Apa?! Siapa yang mereka bahas.
Astaga hidupku! Sial sekali, belum sehari aku menikah, sudah diselingkuhi!
“Ucapkan terima kasih pada Ayahmu. Terima kasih sudah bersedia menjadi saksi nikahku. Aku tak peduli tentang warisan itu. Asalkan nenek sudah tak memaksaku untuk menikah. Mengancamku dengan warisan.”
Warisan? Apa sih maksudnya.
“Ambil saja jika kau mau. Hartaku sudah lebih dari cukup!” Ia terkekeh. Kubuka selimutnya. Tuan Raka terperanjat. Kutatap sinis pria gila itu. Ia terdiam 5 detik.
“O—oh iya. Dia sudah terbangun.” Dengan cepat ia mengakhiri obrolannya. Menaruh ponselnya di atas meja tanpa berkedip menatapku. Pandanganku masih menancap tajam di wajahnya.
“Siapa itu?” tanyaku. Dia hanya terdiam. “Siapa yang kau telepon?!”
“Bima.” Wajahnya terlihat panik. Apa yang sedang ia sembunyikan. Oh iya, warisan.
“Warisan apa yang kau bicarakan?” Ia tersentak mendengar pertanyaanku.
“Sudahlah bahas yang lain saja,” balasnya.
Mataku menyipit melirik ujung kaki naik hingga ujung kepalanya. “Warisan orang tuamu?!” tebakku.
Seketika air mukanya berubah. Wajahnya serius. “Aku membangun perusahaanku sendiri dari nol. Tanpa campur tangan orang tuaku!”
“Apa urusannya denganku? Aku hanya ingin tahu warisan apa yang tadi kau bicarakan dengan Tuan Bima.”
“Bukan urusanmu!” bentaknya.
“Kau membahas pernikahan sebelum membahas warisan. Jadi, aku berpikir itu ada hubungannya dengan pernikahan yang aku lakukan. Apa itu warisan orang tuamu atau bukan. Aku hanya menebaknya. Aku hanya ingin tahu apa itu ada hubungannya, dan warisan apa yang kau bahas tadi.”
Tuan Raka menarik selimut hingga menutupi kepalaku. “Tidurlah! Aku akan pergi bekerja besok!”
“Kerja?!” teriakku menyingkirkan selimut itu. Ia menaikkan alisnya. “Hari ini kau menikah, besok kau sudah bekerja?!”
“Memangnya kenapa?”
Aihs, dia berpura-pura bodoh. “Ah, Sudahlah, lupakan.”
“Kita tidak saling mencintai. Jangan mengharap sesuatu yang lebih dariku!”
Apa-apaan dia ini, terdengar seperti merendahkan harga diri seorang Fauziah Sekar Sari. Apa dia tak tahu aku bisa melakukan apa saja tanpa dia.
“Semoga matahari terbit lebih cepat! Agar aku bebas mengacau di rumah ini! Setidaknya aku bisa bergerak tanpa perintahmu!” tegasku.
“Akan kusuruh para pelayan menjaga pintu dan jendela kamar ini.”
“Apa?!” Keterlaluan sekali.
“Kau pengacau besar!” tegasnya.
“Akan kubuat konslet semua listrik yang ada di rumah ini. Terbakar sekalian!” protesku.
“Apa kau gila? Berapa uangku yang telah habis untuk menutupi kesialanmu?!” Beraninya dia mengungkit.
“Tuan Raka! Kau pria pendiam, kenapa kau malah bertingkah seperti ayahku?!” jeritku di hadapan wajahnya.
“Aku? Pendiam? Tidak ada pria yang tahan melihat kau mengacau! Aku hanya mencoba menahannya. Ternyata menahan amarah padamu harus menghabiskan uang sebanyak 1 triliun lebih.”
Kebohongan macam apa itu?
“1 triliun?! Apa yang telah kuambil darimu?! Kau yang memberikan semuanya!” bantahku.
“Aku tidak menghitung yang aku berikan. Tetapi kerugian akibat kesialanmu!” Lagi-lagi dia menatapku dengan alis naik sebelah.
“Apa?! Apa yang telah aku lakukan?! Lampu?! Kulkas?! Hanya barang-barang murah itu!”
Ah. Dia ini ... kenapa dia jadi seperti ini?! Belum satu hari menikah, sudah mengajak untuk bercerai.
“Cincin yang kau hilangkan kemarin! Sepatu termahal di dunia yang kau rusak!”
Oh iya, itu. Itu kesialanku. Kau benar Tuan Raka yang terhormat. Hina saja aku ini. Beberkan semua kesialanku. Kau malah terlihat seperti ibuku sekarang.
“Kau sudah sadar?” ejeknya.
Aihs. Untungnya kau tinggi. Kalau tidak sudah kupukul kepalamu.
“Lupakan!” Kutarik kembali selimutnya.
“Sepertinya energimu sudah cukup banyak untuk berteriak-teriak.” Dia terus mengejek.
Dia ini ...
“Aku akan tidur di sini,” ucapnya membuat bola mataku membesar.
Ada apa sih di otak pria gila ini?! Tadi dia bilang tidak saling mencintai. Kenapa ia ingin tidur denganku di kamar ini?!
“Terserah kau saja!” teriakku. Ya, lakukan apa pun sesuka hatimu.
“Untuk memastikan kau tak keluar dari tempat ini tanpa seizinku.” Tuan Raka ikut duduk di atas kasur.
Aku tak peduli alasannya Tuan Raka yang terhormat!
Ia ikut berbaring di sampingku. Mendorong tubuhku hingga ke tepian dengan sangat kasar. Tidak sih, aku yang lebay. Hanya sekali dorongan tubuhku sudah berada di pinggir kasur.
Ia menaruh guling sebagai batas jarak antara kami berdua. Membuat aku semakin menepi hampir terjatuh. “Aihs!” kesalku menarik selimut.
Ia berbaring menoleh ke arahku. Lihat itu dia meniduri 75% dari kasurnya. Sedangkan aku. 10% pun hanya muat untuk tubuhku saja.
“Kenapa kau harus tidur di sini?! Merusak kedamaianku saja!” gerutuku menggeser gulingnya mendekat ke arah dia.
“Bagaimana aku bisa meninggalkan istriku yang sedang sakit.” Ia mengejek lagi sambil terkekeh.
Menyebalkan sekali pria ini. Jika aku tahu dia seperti ini, tak kan kuterima pernikahannya.
“Menolehlah ke sebelah sana! Aku tak bisa tidur tanpa memeluk guling!” perintahku.
“Apa urusannya denganku?” bantahnya.
Astaga, pria ini ...
“Wajahmu mengganggu!” teriakku.
Tiba-tiba matanya terbelalak. “Bagaimana jika ini kisah cinta yang berawal dari benci menjadi cinta?”
Astaga. Berhentilah menjadi gila Tuan! Kau menurunkan harkat martabatmu di hadapanku.
“Kita tidak saling mencintai! Kau sendiri yang mengatakannya!” tegasku mempererat pelukan pada guling yang berada di dekapanku.
“Bagaimana akhir dari kisah kita nantinya? Apa kita akan jatuh cinta, apa kita bercerai?!” Dia menutup wajahnya dengan selimut seolah dia penasaran sekali dengan ujung dari kisah ini.
Derajatmu benar-benar menjadi (-9999) Tuan Raka!
“Kau akan menceraikanku setelah aku membakar rumah ini! Aku adalah pembawa sial! Aku akan membuat perusahaanmu bangkrut! Kau jatuh miskin! Dan kau ...” Dia membekap mulutku. Kupukuli tangannya berkali-kali.
“Ssttt!” Ia menempelkan telunjuk di bibirnya. “Jangan berisik! Aku mau tidur!” bisiknya melepaskan tangannya dengan perlahan dan menarik selimut hingha menutupi seluruh tubuhnya.
“Selamat malam dan selamat tidur Tuan Raka yang terhormat! Semoga tidur Anda nyenyak dan tak usah bangun lagi!” Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Menatap langit-langit kamar. Bhug!~ Lampu kamar tamu menjadi rusak dan meledak.
Tuan Raka membuka selimutnya. Ia mendongak menatap lampu yang mati. Hanya lampu tidur yang tersisa.
Aku tak akan mengeluarkan suara apa pun. Biarkan saja dia mau berkata apa. Terserah dia saja! Aku memang terlahir seperti ini!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Nazka Aditya
🤣😂🤣😂🤣😂
2021-10-17
0
sandranovia95
🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩🤩
2021-07-21
0
Dewi Irmayanti
senyum"sndiri dri awl bca😀😀😀
2020-12-22
1