Orang tuaku memang sudah kehilangan akalnya. Bagaimana bisa aku diberikan begitu saja pada pria yang baru mereka jumpai. Apa alasan pria itu ingin menikahi gadis pembawa sial seperti aku?
...***...
Di meja makan. Ayah dan Ibu menjamu Tuan Raka untuk makan siang di rumah kami. Ibu memasak makanan dengan sangat banyak hingga meja terasa sesak. Menaruh tangan pun sudah tak muat lagi.
“Bisa Anda ceritakan, mengapa Anda ingin menikahi putri kami?” Ayah menaruh nasi di piring Tuan Raka. Mereka semua bersikap santai. Aku? Bagaimana dengan aku? Wajahku seperti mangga muda hasil maling. Masam, kecut dan dipenuhi banyak dosa. Bisa-bisanya mereka memberikanku kepada orang segampang itu.
“Izinkan saya mengobrol dengan Fauziah, selesai makan nanti," ucap Tuan Raka penuh sopan dan santun. Padahal baru beberapa menit yang lalu, ia mengatakan bahwa aku ini kampungan.
Huek, ingin aku muntah di piring makannya.
“Silakan!” Ayah langsung menjawab saja tanpa bertanya terlebih dahulu kepadaku. Entah aku mau atau tidak. “Silakan, silakan-silakan Tuan. Bawa pulang juga boleh, silakan.” Ayahku mempersilakan dengan antusiasme yang melambung jauh ke angkasa, menembus Galaxy Andromeda dan jajaran angkasa lainnya. Aku tak tahu ada apa di atas angkasa sana.
“Ayah!” Lagi-lagi ia seperti itu.
Memangnya aku ini apa?
“Soal pernikahannya—" Ibu terdiam, mendengar suaraku.
“Ibu!” bentakku.
Ia menghela napas dan mengusap dadanya yang terkejut akibat bentakanku. “Apa? Apa?! Kau bahkan membuat komporku rusak hanya dengan berjalan di dapur ini! Lihat dispenser itu! Sudah tidak berfungsi karena kau mengambil air minum semalam!” Bahkan ia menepuk dispenser yang sudah diwajibkan untuk mengendarai gerobak rongsokan.
“Aargs!” Geram sekali aku. Tidak perlu kau beberkan semuanya di hadapan pria sombong ini.
“Apa aku harus menaruhmu di tengah hutan, agar tidak ada yang rusak lagi?” gerutu Ibuku.
“Jadi begini Fau. Kau sudah dewasa—" Ayah menoleh ke arahku.
“Baru 20.” Kali ini kalimat ayah yang kupotong.
“20 itu sudah dewasa," bentaknya.
“Terserah kalian saja!” teriakku. “Berikan aku nasi!” perintahku mengangkat piring. Menyodorkannya kepada ibu.
Plak~
Sikutku mengenai sendok sayur. Terpental ke wajah Ayah yang berada di hadapanku. Tepat di jidatnya. Membuat tanda sebesar bakso. Bakso beranak.
“FAAUUU!” Wajah ayah menjadi basah dan berminyak. Tuan Raka tersenyum menahan tawanya.
“Kenapa Ayah tidak menghindar?!” ucapku menutupi segala dosa yang aku perbuat.
“Ini sudah ke 3 kalinya Fau!” bantah Ayahku membersihkan wajahnya.
“Jika sudah 3 kali, harusnya ayah bisa mengantisipasi.” Balas terus dan lawan tanpa kata bersalah.
“Kau menyalahkan aku?!” teriak Ayahku.
“Tidak! Biar aku mengelapnya.” Aku berdiri mengambil tisu. Meja itu terlalu penuh hingga tanganku susah menggapainya.
Brag~
Aku berenang bersama tumpukan lauk di atas meja. Tanganku terasa melepuh. Menyentuh nasi panas. “Aaaaaaarghhhh!”
Semua piring dan alat makan berhamburan cuma-cuma di lantai. “FAUZIAAAAH!” Ibu mengiringi teriakanku.
...***...
Aku didorong ke dalam kamar bersama Tuan Raka. Pintu itu dikunci oleh Ibu.
Sialnya aku! Kenapa harus di hadapan pria ini. Astaga, bagaimana ekspresiku saat berenang di atas meja tadi. Memalukan sekali.
Aku duduk di meja belajarku yang sudah lama tak digunakan lagi. Menopang wajah sambil menutup mata dengan tangan kiriku. “Cepat katakan apa yang ingin kau katakan. Jika sudah selesai, silakan ke luar. Aku akan tidur!”
“Aku akan mengganti semua peralatan yang rusak di rumah ini.”
Kubuka mataku, memutar tubuh, menatapnya. “Jika kau hanya ingin menyombongkan diri..."
“Tidak.” Ia memotong kalimatku. “Aku membutuhkan seorang istri.” Mataku terbelalak mendengar kalimat itu.
“Ah?! Apa kau gila. Berapa umurmu?!” jeritku.
“22 tahun.”
“Menikah di umur 22 tahun. Apa kau gila?!” Terus menjerit di hadapannya.
“Itu adalah permintaan dari nenekku. Nenekku sakit-sakitan. Ia ingin melihatku menjadi pengantin,” jelasnya.
“Nikahi saja nenekmu!” bantahku.
“Apa kau bodoh?” Dia terkekeh seolah aku ini sedang melawak.
“Kau sudah 2 kali mengatai aku. Bersiaplah terciprat kesialanku!” Berani sekali dia mengejek Fauziah Sekar Sari. Mau mati dia hari ini?
“Aku tidak peduli. Bagiku kau hanya ceroboh. Tidak ada manusia sial.” Wah wah, benar-benar ingin mati dia.
“Iya terserah kau saja! Jangan salahkan aku jika nanti nenekmu mati setelah bertemu denganku!” tegasku menepuk meja.
Pria itu membulatkan matanya. “Apa kau pernah melakukannya?”
“Tidak.” Tuan Raka menghela napasnya mendengar hal itu. “Tetapi, ayahku selalu takut mati jika kusentuh.”
“Hmm.” Ia tersenyum. “Apa kau sering bertengkar dengan ayahmu?”
“Setiap hari! Bisa kau lihat betapa sialnya aku. Orang tuaku saja sudah tidak tahan merawatku.”
“Baiklah, jika mereka tak tahan merawatmu. Biar aku yang merawatmu.”
“Ah?! Gila!” Apa yang dia inginkan dariku?
“Aku akan merawatmu. Memberi apa yang kau inginkan. Mengganti semua kerugian yang telah kau perbuat di rumah ini.”
“Untuk apa kau melakukan itu semua?”
“Menikahlah denganku. Demi nenekku.”
“Apa aku gila? Menikah dengan pria yang baru aku temui.”
“Besok aku akan membawamu ke rumah sakit. Bertemulah dengan nenekku.” Dia Berjalan membuka pintu. Sialnya pintu itu masih terkunci.
“Ibu! Ayah!” Aku turut menggedornya. Bukan aku yang sial. Merekalah yang sialan. Orang tua itu ... benar-benar ingin membakar isi dadaku!
“Keluarlah dari jendela!” perintahku.
“Ah?” Ia mengernyitkan keningnya.
Kubuka jendela kamar. “Keluarlah lewat jendela Tuan Raka!”
“Apa kau yakin?”
Astaga, kenapa? Apa dia tak pernah melakukan hal semacam ini?
“Kakimu cukup panjang untuk naik ke atas ini. Keluarlah!” perintahku. Perlahan-lahan ia mengeluarkan kakinya sesuai perintah.
Brag!~
Ia terjatuh dan mengotori jas serta sepatunya. “Hahaha. Rasakan itu! Itu adalah balasan karena kau mengejekku kampungan dan bodoh.”
“Tidak,” ia berdiri. Membersihkan telapak tangannya. “Ini adalah kesalahanku yang tidak berhati-hati.”
“Terserah kau saja Tuan Raka!”
“Baiklah. Aku pulang dulu. Sampaikan salam dengan orang tuamu,” ucapnya berjalan mendekati mobilnya yang terparkir di halaman rumahku. “Jangan lupa besok!”
“Terserah kau saja!" teriakku. Ia berlalu. Kututup kembali jendela itu dengan rapat. Kuperbaiki gordennya.
Astaga! Demit! Ayah dan Ibu berada di belakangku dengan ekspresi seperti ingin menerkamku. Kutepis tangan mereka. “Apa yang kalian lakukan?!” teriakku.
“Apa kau mengusirnya?! Atau kau mendorongnya ke luar dari jendela itu?! Atau kalian bercium hingga ia terjatuh ke jendela?!!” jerit mereka berdua. Memang orang tua gila ini ingin menularkan kegilaannya kepada gadis baik seperti aku.
“Argghh! Bisa pecah kepalaku menghadapi kalian. Keluarlah! aku ingin tidur." Kulentikkan jariku seolah mengusirnya.
“Apa?! Kau mengusir kami?!” bentak Ayahku.
“Iya! Sebentar lagi aku akan pergi dari rumah ini! Keluarlah! Biarkan aku menikmati malam-malam terakhirku di sini."
Ayah dan ibu saling bertatapan. Melongok. Alisnya bergerak-gerak.
Apa yang diakukan oleh mereka berdua? Seperti orang bodoh saja.
“Apa yang dia katakan padamu?" tanya Ibu.
“Besok aku akan pergi menemui neneknya dan membahas pernikahan. Apa kalian puas?!” tegasku.
“Ini adalah pertama kalinya kau berguna bagi kami." Ibu tersenyum girang. “Mari kita rayakan, ayah!” Ajak Ibu mengedipkan matanya.
“Mari kita rayakan di kamar!” teriak Ayah merangkul Ibu dan membawanya keluar dari kamarku.
Beraninya seperti itu di hadapanku. Dasar tidak waras! Kuhempas tubuhku di atas kasur. Menatap langit-langit dan berpikir.
Bagaimana jika aku benar-benar membunuh Neneknya bila bertemu besok?
.
.
...***...
.
.
Nah loh gimana kalo mati beneran? Jangan lupa like dan komen ya. Auhtor ga banyak nuntut kok. Cuma ngemis aja. ngemis like, wkwk. See you to next bab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
like dong... I like comedy
2022-01-07
0
Tri wiji Mulyani
agak gila
2021-10-31
0
Nazka Aditya
sial bangets sih kamuuuu fauuuu....!!!
2021-10-16
0