"Nenek sedang apa? Kok kayaknya serius banget?" ujar seorang kakek yang langsung menghampiri istrinya itu. Ia sedang sibuk menatap bingkai foto yang terletak di dinding-dinding jalan menuju lantai atas.
Dinding itu dipenuhi oleh berbagai macam figura, terdiri dari gambar Ardi sewaktu kecil hingga dia sudah menikah. Nenek Asima sedang asyik membersihkan debu-debu yang menempel di pigura itu.
"Nggak terasa ya kek, ternyata cucu kita sudah besar, bahkan sudah punya istri. Mungkin.... sebentar lagi kita akan diberikan cucu olehnya." Nenek asima berceletuk riang sembari menorehkan senyum di bibirnya sehingga tampaklah kerutan-kerutan di wajahnya yang sudah mulai nampak jelas.
"Ya iyalah nek. Nggak mungkin lah Ardi kecil terus. Nenek ini gimana sih" protes sang kakek. "Nenek mah ada-ada saja." Senyum di bibirnya juga ikut mengembang.
"Bertahun-tahun Ardi sudah berada di depan kita, kek. Sejak kepergian ayah dan ibunya. dan sekarang kita sudah mempunyai cucu menantu. Semoga kedatangan menantu kita di rumah ini bisa menambahkan kebahagiaan untuk kita semua," ucap nenek dengan nada serius.
"Amin" sahutan kakek membuat nenek diam untuk beberapa saat.
Dari Ardi kecil hingga dewasa nenek Asima selalu menyimpan kenangan tentang Ardi lewat figura yang sudah ia tempelkan di dinding-dinding jalan menuju lantai atas. Ia ingin mengingat semua momen saat kebersamaannya bersama dengan cucu kesayangannya itu.
Mulai dia pintar ngoceh-ngoceh, berlatih tengkurap berlatih duduk, berlatih berjalan, berlatih buang air sendiri hingga berlatih makan sendiri tanpa disuap oleh nenek maupun kakek. Yah, mereka menyaksikan semuanya itu.
Sejujurnya dalam hati, kakek dan nenek sangat iba melihat Ardi yang tidak merasakan kasih sayang dari ibu dan ayahnya sejak kejadian saat itu di mana dirinya masih berumur 3 bulan.
Untung saja kakek dan neneknya sehat-sehat saja sehingga mampu merawat dan membesarkan dia hingga saat ini Bahkan usaha mereka pun tidak pernah gagal. Hingga saat ini pun, si Kakek tetap saja masih bekerja karena ia ingin menyiapkan sesuatu yang akan diwariskan kepada Ardi cucu satu-satunya di keluarga mereka.
"Sudahlah nek, tidak usah kita mengingat kejadian silam karena itu sungguh menyayat hati apalagi kalau sampai Ardi tahu kalau dia sudah ditinggal oleh ayah dan ibunya sejak kecil. Bila dia sampai tahu, mungkin dia akan sangat sedih dan murung. Kakek nggak mau itu terjadi Nek."
"Lagian saat ini cucu kita sudah bahagia karena dia sudah menikah, meskipun usianya masih muda tapi aku yakin pasti suatu hari nanti ia akan menjadi orang yang sukses karena aku, kamu dan ada istrinya yang akan mendukungnya dalam setiap cita-cita bahkan pekerjaannya nanti," timpal si kakek.
"Aku ingat saat pertama kali Ardi mulai bisa bicara, dan kata yang pertama kali keluar dari bibirnya adalah mama. Bahkan ia memanggilku dengan sebutan mama dan kamu papa. Tapi.... setelah dia dewasa dan setelah kita menceritakan akhirnya dia memanggil kita dengan kakek dan nenek."
"Semestinya memang begitu, karena kita bukanlah ayah dan ibunya. Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak kandung ku sendiri meskipun dia bukan lahir dari rahim ku. Tapi dia lahir dari rahim menantuku, menantu yang begitu lembut baik dan juga bersahaja."
"Tapi entah kenapa, kita harus dipisahkan oleh maut. Kita yang lebih tua malah ditinggalkan olehnya di dunia yang fana ini. Aku berharap suatu saat nanti, aku akan menceritakan sepenuhnya kepada Ardi tentang ayah dan ibunya."
"Karena yang ia tahu selama ini adalah bahwa ayah dan ibunya meninggalkannya dikala dia sudah mulai bisa berjalan, sudah mulai bisa berucap sudah mulai bisa naik sepeda roda tiga."
Nenek Asima kembali mengusap figura yang di dalamnya adalah gambar Ardi - hanya Ardi sendiri. Figura itu besar dan tampaklah wajah Aldi yang begitu imut saat dia masih kecil. Lalu tangan si nenek Asiima kembali beralih kepada figura yang lain, figura yang berisikan gambar Ardi saat dia sudah mulai berusia remaja.
"Meskipun Ardi sudah menikah tapi di hati nenek dia masih bocah kecil yang masih butuh kasih sayang dan perhatian dari nenek dan kakek seperti kita. Dia masih bocah ingusan yang apabila ada kodok melompat ke kakinya maka dia akan menangis histeris."
"Sepertinya nenek salah. Ardi sudah besar, mana mungkin dia takut kalau ada kodok yang melompat di kakinya? Aku yakin itu," celetuk si kakek. Ia tidak terima kalau nenek menganggap cucunya itu masih bocah ingusan. "Cucuku sudah besar dan dia juga nggak penakut," protes si kakek.
"Aku yang lebih tahu bukan kau, karena aku yang 24 jam menjaga dia di rumah," gerutu nenek Asima.
"Jadi maksudmu aku enggak berperan dalam membesarkan cucuku? Akulah yang berperan karena aku yang mencari nafkah untuk kalian termasuk cucuku," rengek si kakek.
"Memangnya kau, apa yang kau kerjakan? Kau kan hanya sibuk bekerja dan bekerja malah nggak ikut main sama kami saking sibuknya" ujar nenek asima. "Bahkan dulu sering sekali kau lebih memilih pekerjaan daripada keluarga. kau membiarkan kami kesepian di rumah. Ah sudahlah, sudah berlalu juga."
"Kau kan tahu aku bekerja untuk kalian kalau misalnya aku nggak bekerja kita mau makan apa waktu itu, kalau aku libur bisa-bisa aku nggak akan bawa uang untuk pulang ke rumah dan aku nggak bisa bayangkan kalau kalian berdua nggak makan. makanya aku terpaksa harus lembur supaya cukup untuk menghidupimu dan juga cucuku. Makanya jangan pernah ucapkan bahwa hanya kaulah yang berperan penting dalam membesarkan dan menjaganya. Aku nggak terima."
Sang kakek meninggalkan nenek, dia merasa kesal karena nenek membandingkan dirinya yang seolah-olah tidak berperan dalam membesarkan cucu kesayangan mereka. "sudahlah aku pergi saja dari hadapanmu kau terus membanding-bandingkan aku dengan dirimu, seolah-olah kau lebih berjasa."
Seketika nenek Asima menyesal dengan apa yang baru saja diucapkannya. Yah, iya merasa bahwa dirinyalah yang lebih berjasa dan itu tidak pantas dilakukan. Ia tersadar dengan apa yang baru saja diucapkan, itu membuat hati sang kakek sakit. si nenek pun mengejar suaminya itu.
Pertengkaran atau perdebatan kecil-kecil begini sering terjadi di antara mereka tapi itu bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap bertahan dalam menjalani mahligai rumah tangga ini hingga mereka di usia yang sudah senja ini.
Karena menurut dia dalam berumah tangga tidak ada yang namanya tamat selalu selalu dan selalu akan belbarat menaiki tangga setelah sukses dari tangga pertama lalu naik lagi ke tangga kedua begitu seterusnya. jika tidak sukses menaiki tangga pertama maka otomatis tangga yang kedua nggak akan bisa dilalui.
Begitupun dalam berumah tangga. tahun pertama bila bisa dilalui dengan ikhlas dan kuat maka tahun-tahun berikutnya atau tangga berikutnya akan bisa dilalui juga dengan tantangan yang lebih besar dari sebelumnya.
"Kakek, tunggu aku dong. Masa sih gitu aja ngambek." Si nenek berjalan pelan-pelan dengan punggung yang sudah mulai membungkuk sedikit mengejar suaminya itu. Tapi si Kakek tidak menghiraukannya alhasil membuat si nenek tidak berhenti dan terus mengejar hingga masuk ke dalam kamar.
"Idih si Kakek cepat banget ngambek nya dari dulu kayak gitu nggak pernah berubah," sindir si nenek saya sudah berhasil menyusul si Kakek ke dalam kamar.
Sementara itu sang kakek sedang duduk di tepian ranjang. Ia tak mau melirik sedikitpun kepada si nenek. "Dia tadi yang banding-bandingin aku dengan dirinya sekarang malah dia yang bilang aku ngambek. dasar perempuan selalu saja benar dan aku tidak bisa melawan mereka," gerutu si kakek.
"Maaf ya kekk karena aku sudah melukai hatimu. iya aku tahu kalau kau juga berperan dalam membesarkan cucu kita Ardi. kaulah yang pontang-panting mencari uang yang agar kita bisa bertahan. hingga kau bisa membuat suatu perusahaan dan yang sampai saat ini masih berdiri tegak di tengah-tengah kota di tengah-tengah persaingan bisnis saat ini."
"kakek, kaulah yang terbaik. Aku berdoa semoga nanti cucu kita mengikuti jejak mu. Aku berharap Ardi bukanlah orang yang mudah putus asa meskipun diterpa banyak oleh cobaan, karena kakeknya adalah pria yang sangat kuat dan tangguh yang tak pernah menyerah ditengah-tengah ujian meskipun ujian itu sangat sulit."
"Terima kasih ya kek atas semua pengorbananmu. Tanpamu aku mungkin tidak bisa hidup, tanpamu mungkin diri kita nggak akan seperti sekarang ini. Kaulah pahlawan di keluarga ini. dan kau juga lah pahlawan di dalam hatiku," timpal si nenek.
Senyumnya cerah merekah, membuat si kakek yang melihatnya juga ikut tersenyum. Bahkan rasanya jantungnya ingin meledak karena ia sangat merasakan bangga. Bangga karena sang istri ternyata memujinya. alhasil si ngambek pun hilang begitu saja. suasana kembali cair seperti sediakala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Rozh
lup u
2021-02-13
0
BELVA
dpt salam dari
#gadis imut diantara dua raja
mksh ya ka
2021-02-07
0
Susi Ana
jempol hadir, mampir ya
2020-12-10
1