Di sebuah bangunan yang sudah terbengkalai, pemimpin kelompok yang tadi menyerang Pangeran Li Wei dan gadis muda itu berlutut di hadapan sang tuan dengan tubuh penuh luka. Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya, membasahi lantai kayu yang berdebu.
Sementara itu, orang yang memerintahkannya berdiri membelakangi, raut wajahnya tampak memerah karena emosi yang membuncah. Dengan gerakan cepat, ia berbalik, matanya menyala penuh kemarahan, dan langsung menendang pimpinan kelompok tersebut hingga terpental jauh, membentur dinding kayu yang rapuh. Suara retakan kayu terdengar nyaring, menambah kesan suram ruangan itu.
"Dasar bodoh! Menghabisi satu orang saja, kalian tidak becus!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan kosong.
"Maafkan kami, Pangeran. Jika saja tidak ada yang datang membantunya, kami pasti sudah membawa orang itu ke hadapan Anda," ucap pimpinan kelompok dengan nada yang terputus-putus seraya memegang dadanya yang terasa sakit dan sesak.
Di sudut ruangan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari jendela yang pecah, suara napas berat terdengar jelas. Pemimpin kelompok itu berusaha bangkit, namun rasa sakit di tubuhnya membuatnya terjatuh kembali. Ia menatap sang tuan dengan mata penuh ketakutan dan penyesalan.
Sang tuan, dengan langkah berat dan penuh amarah, mendekati pemimpin kelompok yang tergeletak di lantai. Setiap langkahnya menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam.
"Kalian benar-benar tidak berguna," katanya dengan suara rendah namun penuh ancaman. "Aku tidak butuh alasan. Aku butuh hasil."
Pemimpin kelompok itu menggigil, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan kemarahan sang tuan.
"Kami akan mencoba lagi, Pangeran. Kami tidak akan gagal lagi," katanya dengan suara serak.
Sang tuan berhenti, menatap pemimpin kelompok itu dengan tatapan dingin.
"Kalian tidak akan mendapatkan kesempatan kedua," katanya sambil mengangkat tangannya. Dalam sekejap, dua pengawal bayangan muncul, menyeret pemimpin kelompok itu keluar.
Setelah mereka keluar, sosok pangeran itu berdiri dengan berpangku tangan ke belakang. Raut wajahnya tampak dingin dengan senyum licik.
"Aku pastikan, suatu hari nanti kau tidak akan bisa lolos dari genggamanku," gumamnya pelan.
***
Malam telah berlalu, dan hari baru pun datang. Sinar matahari pagi mulai memancarkan cahayanya, menghangatkan seluruh negeri dengan lembut. Di dalam istana, tepatnya di sebuah kamar yang begitu mewah dan elegan, Putri Mei Yin dan ayahnya, Kaisar Dayu, sedang duduk menikmati kudapan pagi dengan khidmat.
Ruangan itu dipenuhi dengan perabotan antik yang berkilauan, tirai sutra yang menjuntai, dan aroma teh melati yang harum. Suasana terasa hening, hanya ada suara kecapan halus dari mulut mereka yang menikmati hidangan.
"Apakah sudah ada kabar dari adik Ling, Ayah?" tanya Putri Mei Yin, memecah keheningan dengan suaranya yang lembut namun penuh kekhawatiran.
Kaisar Dayu, yang hendak menyumpit sayuran di hadapannya, terhenti sejenak. Ia menoleh ke arah putrinya, matanya menunjukkan kelelahan dan kecemasan yang mendalam. Setelah beberapa detik, ia menggeleng pelan dan kembali menyumpit sayuran tersebut, memasukkannya ke dalam mulut dengan gerakan lambat. Rasa sayuran yang segar dan renyah seolah tidak mampu mengusir kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya.
"Anak itu, selalu saja bertindak sesuka hati," ucap Putri Mei Yin dengan nada kesal, suaranya bergetar menahan amarah. "Ayah, jika adik tidak kembali hari ini juga, biar aku saja yang menggantikan pernikahan ini."
"Jaga batasanmu," bentak Kaisar Dayu dengan suara yang tegas dan penuh wibawa. Putri Mei Yin yang duduk segera beranjak dan berdiri anggun seraya menundukkan kepala, rambutnya yang hitam legam tergerai indah di bahunya. "Ini adalah wasiat dari mendiang ibunya, Mei Ling, dan permaisuri Li, untuk menikahkan mereka dengan salah satu pangerannya," ucap sang kaisar dengan nada terdengar geram, matanya menyiratkan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
"Maafkan putrimu ini, Ayah, yang sudah melewati batas," jawab Putri Mei Yin seraya membungkuk hormat, suaranya kini lebih lembut dan penuh penyesalan. Tetapi, di lubuk hatinya yang paling dalam, dirinya sangat membenci adiknya itu.
Di luar istana, kehidupan terus berjalan. Para pelayan sibuk dengan tugas mereka, sementara para prajurit berjaga dengan waspada. Namun, di balik kemewahan dan ketenangan istana, ada bayangan penindasan yang selalu mengintai, siap menghancurkan kedamaian kapan saja.
***
Sementara di tempat lain, pangeran Li Wei dan seorang gadis muda baru saja selesai menikmati sarapan yang disediakan oleh tabib tua. Aroma teh hangat dan mantau yang baru saja diangkat dari kukusan masih tercium di udara.
"Bagaimana lukamu?" tanya pangeran Li Wei dengan nada acuh tak acuh, matanya menatap kosong ke arah jendela.
"Sudah tidak sakit lagi," jawab gadis itu sambil menyuapkan sepotong mantau ke mulutnya. "Oh iya, apakah pakaian ini kau yang beli?" tanyanya, sambil memandang pakaian baru yang dikenakannya.
"Tidak. Aku tadi menemukannya di belakang toko obat ini," kilah pangeran Li Wei, memalingkan wajahnya ke sembarang arah sambil menyeruput teh hangat yang mengepul di cangkirnya.
Sebelumnya, saat ia terbangun dari tidur, tanpa sengaja pandangannya langsung bertabrakan dengan sosok gadis muda yang masih terlelap di sampingnya. Cahaya pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah jendela, menerangi wajah gadis itu yang tampak damai. Namun, pangeran Li Wei segera menyadari bahwa pakaian gadis muda itu berlumur darah. Tanpa berpikir panjang, ia pun berinisiatif untuk mencari pakaian baru.
Pagi-pagi sekali, pangeran Li Wei sengaja pergi ke toko kain yang baru saja buka. Udara pagi yang segar menyambutnya saat ia melangkah cepat menuju toko. Dengan langkah mantap, ia segera masuk dan mulai memilih pakaian yang sudah jadi.
"Tuan, bisakah Anda memilihkan pakaian untuk seorang gadis yang umurnya sekitar 17 tahun? Tingginya segini," kata pangeran Li Wei sambil mengangkat tangannya dan mensejajarkan dengan bahunya.
"Sebentar. Saya akan mengambilkan beberapa setel pakaian yang cocok dengan gadis ini," ucap pria tua pemilik toko dengan ramah.
"Terima kasih, tuan!" balas pangeran Li Wei dengan sopan.
Pemilik toko itu pun berlalu. Tak menunggu waktu lama, ia kembali dengan membawa beberapa setel pakaian dengan warna yang beragam. Tanpa banyak berpikir, pangeran Li Wei langsung mengambil salah satu pakaian berwarna hijau muda.
"Yang ini saja. Cepat bungkus," titahnya dengan tegas.
"Anda memang memiliki selera yang bagus, tuan. Ini sangat cocok untuk gadis itu. Pasti akan terlihat sangat cantik," imbuh pemilik toko dengan senyum lebar. Namun, pangeran Li Wei hanya diam membisu, bersikap acuh tak acuh.
Pemilik toko itu segera membungkus baju tersebut dengan kain halus dan menyerahkannya pada pangeran Li Wei. Setelah membayar, pangeran Li Wei langsung pergi, meninggalkan toko dengan langkah cepat.
"Terima kasih pangeran !" gadis itu tersenyum lebar dan sedikit mencondongkan wajahnya ke arah pangeran Li Wei.
"Cepatlah. Kita harus segera kembali ," ucapnya. Lalu, ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Tabib tua yang sedang duduk di meja kerjanya . "Tabib, ini untukmu." Pangeran Li Wei memberikan sekantung uang perak pada tabib tua itu.
"Terima kasih, Tuan. Anda sungguh murah hati." Tabib tua itu menerima kantung uang yang di berikan oleh pangeran Li Wei.
"Ayo kita pergi," ajak gadis muda dengan raut wajah berseri-seri. Mereka beranjak dari sana. Saat keluar, matahari sudah sangat terang dan keadaan sekitar juga sudah mulai ramai. Seperti biasa, pangeran Li Wei kembali menjadi pangeran konyol dan polos.
Melihat tingkah laku sang pangeran yang memasang wajah polos dan konyol, membuat gadis muda itu tertawa.
"Pangeran, sejak kita keluar dari istana kita belum saling mengetahui nama. Kalau boleh tahu, siapa nama Pangeran?" tanya gadis muda itu. Sebenarnya, dia sudah tahu siapa nama Pangeran itu, namun dia tengah menguji pria dihadapannya itu. Dengan watak dan kepribadiannya, dia tidak akan mau menyebutkan nama.
"Aku... Aku..., untuk apa kau tahu namaku, itu tidak penting bagimu." Sikapnya seketika berubah yang tadinya terlihat biasa saja, kini malah terlihat garang.
"Yasudah. Jika pangeran tidak ingin memberitahu , aku tidak akan memaksa," balasnya tidak kalah ketus.
Kemudian, saat keduanya sedang berjalan, tiba-tiba prajurit dari kerajaan Tang datang dan langsung menghampiri mereka berdua.
Prajurit itu segera memberi hormat kepada Pangeran Li Wei.
"Salam Yang Mulia Pangeran. Kaisar memerintahkan Anda, untuk segera kembali ke istana," ujar salah satu prajurit.
Pangeran Li Wei mengangguk, raut wajahnya terlihat takut.
"Baiklah, kita akan segera kembali," jawabnya. Ia kemudian menoleh ke gadis muda di sampingnya, "Maaf, sepertinya kita harus berpisah di sini."
Gadis muda itu mengangguk, meskipun ada sedikit kekecewaan di matanya. "Tidak apa-apa, Pangeran. Semoga kita bisa bertemu kembali," ucapnya dengan senyum tipis.
Pangeran Li Wei tersenyum lembut, "Terima kasih. Jaga dirimu baik-baik." Ia kemudian berbalik dan berjalan cepat mengikuti prajurit yang menunggunya.
Gadis muda itu menatap punggung Pangeran Li Wei yang semakin menjauh, hatinya berdebar-debar.
"Kau memang tidak pernah Xiao Wei," gumamnya pelan.
Saat Pangeran Li Wei dan prajuritnya menghilang di kejauhan, gadis muda itu menghela napas panjang. Ia kemudian berbalik dan mulai berjalan kembali. Baru beberapa langkah, seorang pria dengan mengenakan pakaian pengawal khusus, sudah berdiri di hadapannya.
"Salam hormat, Tuan Putri. Yang Mulia Kaisar memerintahkan Tuan Putri, untuk segera kembali ke Kerajaan Tang," ucap sang pengawal membungkuk hormat.
"Baiklah !".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments